Memori Genosida Etnis Rohingya dan Kecaman ke Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Penasihat Negara Myanmar era 2016-2021. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Dunia mengutuk keras kekerasan dan genosida etnis Rohingya di Myanmar. Pemerintah Myanmar dan pemimpinnya, Aung San Suu Kyi jadi orang yang paling bersalah. Suu Kyi yang mulanya dielu-elukan sebagai simbol perlawanan terhadap kekerasan, justru diam saja.

Suu Kyi seharusnya punya kapasitas menghentikan kekerasan. Opsi itu tak diambilnya. Seisinya dunia pun marah. Gelarnya sebagai penjaga perdamaian disanksikan. Semua itu karena Suu Kyi justru berpihak pada junta militer, dibanding etnis Rohingya.

Tiap konflik pasti punya pemicu. Konflik pemerintah Myanmar dan Etnis Rohingya pada 2017, misalnya. Konflik bersenjata itu mulanya hadir di awal tahun karena Tentara Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA) ingin wilayah Rakhine merdeka. Semuanya kian tegang karena ARSA mulai bersitegang dengan pemerintah Myanmar.

ARSA pun bertindak kelewat batas. Mereka melanggengkan penyerangan secara membabi buta di pos perbatasan Rakhine, Myanmar. Konflik itu membuat tentara hingga polisi yang sedang berjaga merenggang nyawa.

Pemerintah Myanmar pun merespons penyerangan bak ajakan perang. Empunya kuasa melanggengkan agresi militer skala besar. Alih-alih hanya menargetkan kelompok militan, pemerintah Myanmar justru menarget warga sipil beretnis Rohingya. Dari orang tua hingga anak-anak.

Pengungsi etnis Rohingya di sebuah tempat pengungsian di Bangladesh. (Anadolou Agency)

Pemerintah Myanmar sama brutalnya seperti ARSA. Mereka menyerang etnis Rohingya secara membabi buta. Imbasnya ke mana-mana. Korban meninggal dunia dari peristiwa itu lebih dari 400 orang. Rumah mereka dihancurkan dan harta mereka dirampas.

Kondisi itu membuat ratusan ribu etnis Rohingya yang selamat memilih melarikan diri dari negaranya. Antara lain ke Bangladesh. Tindakan brutal itu menarik perhatian dunia. Mereka mengutuk pemerintah Myanmar yang melanggengkan narasi pemusnahan ras atau genosida kepada etnis Rohingya.

Pemerintah Myanmar pun berkelit. Pemantik konfik justru dimulai dari ARSA. Empunya kuasa menganggap serangan kepada ARSA – kemudian etnis Rohingya—sebagai sebuah respons. Sekalipun yang jadi korban banyak dari warga sipil beretnis Rohingya.

“Empunya kuasa belum menyebutkan berapa banyak warga non-Rohingya yang terbunuh selama setahun terakhir di Rakhine. Namun, data dari pejabat setempat menunjukkan bahwa jumlah totalnya lebih dari 50 orang. Tindakan keras militer dimulai setelah pemberontak Rohingya menyerang pos polisi dan kantor tentara pada bulan Agustus 2017.”

“Penyerangan itu menewaskan sekitar selusin personel keamanan dari pihak Myanmar. Selama bertahun-tahun, masyarakat Rohingya menghadapi penganiayaan yang meluas oleh militer Myanmar, yang telah menggiring banyak orang ke kamp pengungsian. Pemerintah Myanmar membatasi akses mereka terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Kebanyakan dari mereka telah dicabut kewarganegaraannya, padahal Rakhine adalah rumah mereka,” terang Hana Beech dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Rohingya Crisis ‘Could Have Been Handled Better,’ Aung San Suu Kyi Says (2018).

Kecam Aung San Suu Kyi

Peristiwa genosida yang dilanggengkan membuat citra pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi jatuh pada level terendah. Ia yang dulunya pernah dielu-elukan sebagai ikon penentang rezim militer berubah seketika. Semuanya karena Suu Kyi dianggap diam saja melihat kekerasan yang menimpa etnis Rohingya.

Khalayak dunia sebenarnya tak melupakan jasa Suu Kyi yang pernah berdiri melawan eksistensi junta militer era 1988. Ia mampu menggelorakan protes tanpa kekerasan dan berhasil. Suu Kyi pun dielu-elukan bak pahlawan hingga membawa partainya, National League for Democracy (NLD) menang Pemilu 2012.

Suu Kyi yang anak dari seorang Pahlawan Myanmar, Aung San memang tak dapat jadi presiden karena berbenturan dengan konstitusi. Ia memiliki suami orang asing. Namun, apapun jabatan Suu Kyi di pemerintahan, ia dianggap sebagai pemimpin besar Myanmar sesungguhnya.

Sekalipun Suu Kyi hanya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sekaligus Penasihat Negara pada 2016. Namun, narasi itu dirusak dengan hadirnya kekerasan dan genosida kepada etnis Rohingya pada 2017. Seisi dunia mengutuk langkahnya yang diam saja melihat kekerasan yang terjadi. Padahal, ia mantan aktivis anti kekerasan.

Seisi dunia meminta seluruh penghargaan internasional yang pernah didapat oleh Suu Kyi dikembalikan. Utamanya, Nobel Perdamaian. Suu Kyi dianggap tak layak lagi disebut ikon perlawanan terhadap kekerasan. Narasi itu dilanggengkan karena Suu Kyi dan junta militer justru akrab terkait Rohingya.

Demonstrasi menentang Aung San Suu Kyi di depan Kedutaan Besar Myanmar di Kuala Lumpur, Malaysia pada 25 November 2011. (The Independent)

Suu Kyi dengan terang-terangan berada di pihak militer, bukan kepada etnis Rohingnya. Pesan itu dilanggengkan Suu Kyi kala menghadiri sidang Mahkamah Keadilan Internasional di Den Haag, Belanda pada 11 Desember 2019. Ia mengelak pemerintah Myanmar melakukan genosida.

“Aung San Suu Kyi, di luar dugaan, datang ke Mahkamah Keadilan Internasional (IC) di Den Haag, Belanda, untuk menghadapi gugatan Gambia, yang menuduh Myanmar melakukan genosida. Konselor Negara Myanmar dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991 ini dikritik dunia internasional karena berdiam diri atas dugaan pembersihan etnis di negaranya yang menyebabkan lebih dari 740 ribu warga Rohingya lari dan sebagian besar mengungsi ke Bangladesh.”

“Kejutan Suu Kyi berikutnya adalah apa yang disampaikannya di depan Mahkamah pada Rabu, 11 Desember lalu. Dia membantah adanya genosida dan menyebut terusirnya ratusan ribu warga Rohingya seusai peristiwa serangan 25 Agustus 2017 itu sebagai ekses operasi militer menghadapi milisi bersenjata yang meminta otonomi atau merdeka: ARSA,” ungkap Abdul Manan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Suu Kyi di Depan Mahkamah (2019).