Rezim Militer Myanmar Direncanakan Hadiri Sidang di Mahkamah Internasional, NUG Khawatirkan Pengakuan Internasional
Pemimpin rezim militer Myanmar Jenderal Senion Min Aung Hlaing. (Wikimedia Commons/Mil.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar mengeluhkan rencana kehadiran perwakilan rezim militer Myanmar, dalam dengar pendapat di pengadilan tinggi PBB di Den Haag, Belanda pekan depan, memberikan pengakuan internasional tanpa kedudukan hukum.

Sidang akan membahas sengketa yurisdiksi yang timbul dari klaim Gambia yang diajukan pada tahun 2019 di Mahkamah Internasional (ICJ), menuduh Myanmar melakukan genosida terhadap populasi minoritas Muslim Rohingya.

Sebelum jatuhnya pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi ke dalam kudeta militer setahun yang lalu, dia membantah tuduhan genosida terhadap militer yang dibawa oleh Gambia yang didukung oleh 57 negara Organisasi untuk Kerjasama Islam (OKI).

Sekarang, perwakilan junta diharapkan menghadiri sidang virtual di ICJ, yang menangani perselisihan antar negara, membahas keberatan awal terhadap yurisdiksi yang diajukan oleh Myanmar pada Januari 2021. Sidang akan dimulai pada Hari Senin.

Sejumlah badan PBB telah mengundang perwakilan junta ke pertemuan, meskipun militer Myanmar tidak memiliki kedudukan resmi di markas besar PBB di New York. Komite kredensial Majelis Umum PBB memutuskan pada Bulan Desember untuk menunda keputusan tentang masalah tersebut.

Kemudian, komite kredensial telah mengizinkan Kyaw Moe Tun, perwakilan pemerintah yang digulingkan dalam kudeta militer 1 Februari 2021, untuk tetap menjabat.

rohingya
Ilustrasi warga Muslim Rohingya. (Wikimedia Commons/Zlatica Hoke/VOA)

Anggota Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintahan paralel termasuk anggota parlemen yang digulingkan di pengasingan, mengatakan awal pekan ini, Kyaw Moe Tun, yang juga ditunjuk untuk mewakilinya di Den Haag, adalah "satu-satunya orang yang berwenang untuk terlibat dengan pengadilan atas nama Myanmar".

"Junta bukanlah pemerintah Myanmar," tegas Christopher Sidoti, seorang pengacara hak asasi manusia dan mantan anggota misi pencari fakta PBB di Myanmar, melansir Reuters 18 Februari.

"Junta tidak memiliki wewenang atau kemampuan untuk bertindak sebagai pemerintah Myanmar di dalam atau di luar negeri. Tetapi dengan tampil di hadapan ICJ, itulah yang akan coba dilakukan," paparnya Sidoti kepada Reuters.

"Rakyat Myanmar dengan jelas menolak junta, memperjelas bahwa militer tidak mewakili mereka," sebut Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, menyinggung serangkaian protes rakyat terhadap kekuasaan militer.

"Semua komunitas internasional, termasuk ICJ, harus mendengar ini, dan tidak memberikan legitimasi apa pun kepada junta," tandasnya.

ICJ belum mempertimbangkan manfaat dari tuduhan genosida. Suu Kyi pada Desember 2019 meminta Pengadilan Dunia untuk menolak klaim Gambia, menyangkal genosida dan mengatakan ICJ seharusnya tidak memiliki yurisdiksi. Tetapi, NUG mengatakan awal bulan ini mereka menerima yurisdiksi ICJ untuk mendengarkan tuduhan tersebut.

militer myanmar
Aung San Suu Kyi. (Wikimedia Commons/Kantabon)

Terpisah, sebuah sumber di pengadilan Den Haag mengatakan kepada Reuters bahwa perwakilan terdaftar untuk Myanmar adalah Ko Ko Hlaing yang ditunjuk junta, utusannya untuk koordinasi internasional, dan Jaksa Agung Uni Myanmar Thida Oo, yang akan mengepalai tim hukum beranggotakan delapan orang untuk persidangan.

Kedua pejabat tersebut, yang berada dalam daftar sanksi Departemen Keuangan AS, akan menggantikan Suu Kyi, yang setelah kudeta dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan menghadapi hukuman maksimum gabungan 150 tahun lagi dalam selusin kasus lain yang dibawa oleh militer.

ICJ menolak untuk menjawab pertanyaan Reuters tentang bagaimana memutuskan siapa yang dapat diakreditasi sebagai perwakilan negara dalam kasus di mana pemerintah suatu negara diperebutkan, mengacu pada buku pegangannya. Aturannya hanya menyatakan, komunikasi tentang perwakilan datang dari kementerian luar negeri atau kedutaan.

"Kehadiran junta di persidangan tidak memberikan legitimasi atau memvalidasi perwakilan militer di hadapan PBB," terang Shayna Bauchner, seorang peneliti untuk Human Rights Watch yang berbasis di New York.

Dia mengatakan, fokus yang lebih penting seharusnya adalah keadilan yang ditegakkan atas kekejaman terhadap Rohingya di Myanmar.

Untuk diketahui, lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras yang dipimpin militer pada 2017 dan dipaksa masuk ke kamp-kamp kumuh di seberang perbatasan di Bangladesh. Penyelidik PBB menyimpulkan bahwa kampanye militer telah dilakukan dengan "niat genosida".

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus menyatukan situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.