JAKARTA - Hari ini 104 tahun yang lalu, atau tepatnya 19 Februari 1918, Batavia (kini: Jakarta) dilanda banjir besar. Seluruh kawasan hampir terendam banjir. Kerugian pun bejibun. Peristiwa itu membuat pemerintah kalang kabut. Burgerlijke Openbare Werken (BOW) alias Jawatan Pekerjaan Umum (PU) utamanya. Mereka gagal menghalau banjir. Imbasnya orang-orang di Batavia kemudian memplesetkan BOW menjadi Batavia Onder Water: Batavia di bawah air.
Batavia menjadi salah satu kota di Nusantara yang akrab dengan banjir. Musibah itu bahkan telah melekat pada Batavia sejak fase awal penjajahan Belanda. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen pernah merasakan kalang-kabutnya mengatasi banjir.
“Begitu pula, banjir memusingkan para Gubernur Jenderal Belanda. Dari Jan Pieterszoon Coen sampai A.W.L Tjarda van Starkenborgh Stachoewer juga gagal mengatasi banjir di Jakarta (dahulu: Batavia),” ungkap tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab dalam buku Batavia Kota Banjir (2009).
Boleh jadi Coen berhasil menancapkan kolonialisme Belanda di Indonesia. Tapi tidak dengan mengatasi banjir. Ia gagal total. Kegagalan mengatasi banjir itu berlanjut kepada gubernur jenderal selanjutnya bak warisan. Kondisi itu diperparah oleh sikap penjajah yang melulu memikirkan keuntungan, sementara segi ekologis diabaikan.
Buktinya investasi yang mengekspoitasi hutan secara besar-besaran dilakukan. Mereka membangun lahan pertanian, perkebunan, dan pabrik secara tak bertanggung jawab. Akibatnya, banyak pohon-pohon ditebang untuk pembukaan lahan-lahan. Hasilnya dapat ditebak. Hujan datang, Banjir pun tak dapat ditahan.
BACA JUGA:
Pada banjir Batavia 19 Februari 1918, misalnya. Banjir itu merendam hampir seluruh kawasan di Batavia. Pemerintah kota Batavia langsung mengambil sikap dengan mengadakan rapat darurat. Kerugian yang alami akibat banjir cukup besar. Warga Batavia banyak yang terjebak banjir. Kemudian, pemerintah kolonial terjun langsung untuk memberikan bantuan.
“Kondisi banjir yang melanda Batavia telah mendorong dewan kota mengadakan rapat pada tanggal 19 Februari 1918, pukul 19.15. Rapat dibuka dan dipimpin buurgemeester (walikota) Bischop. Hadir dalam rapat 11 wakil Eropa dan 3 wakil bumiputra, sedangkan wakil Tionghoa dan Arab tidak hadir.”
“Dalam rapat tersebut pemimpin dewan kota pertama-tama menyampaikan turut berduka melihat penduduk dilanda banjir Kedua, pertolongan yang sudah dilakukan adalah ibu-ibu telah membagikan barang dan makanan,” tutup Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal (2010).