Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 17 tahun yang lalu, atau tepatnya 18 Februari 2005, dua jurnalis Metro TV, Meutya Hafid dan juru kamera Budiyanto disandera Mujahidin Irak. Mereka diculik saat sedang menjalankan tugas liputan. Penculikan itu membuat keduanya pasrah kepada yang maha kuasa. Batas antara hidup dan mati tampak dekat. Sebab, kedua berada di medan pertempuan. Penyanderaan itu pun membuka mata dunia. Betapa nyawa sangat berharga, dibanding sebuah berita yang paling ditunggu-tunggu sekalipun.

Meutya Hafid adalah salah satu jurnalis andal tanah air. Kiprahnya dalam bidang jurnalistik tak perlu diragukan. Ia siap sedia meliput di mana saja. Demi terjaganya profesionalisme sebagai seorang jurnalis. Profesionalisme itu lalu diuji kala Meutya baru pulang meliput kondisi Aceh yang baru diterpa bencana tsunami.

Redaksinya, MetroTV mengutusnya untuk meliput pemilu pertama Irak pascakejatuhan Saddam Hussein. Meutya tak gentar. Sekalipun gerakan pejuang mujahidin Irak masih menjadi momok menakutkan bagi para pewarta berita.

Meutya pun berangkat ditemani oleh seorang juru kamera. Budiyanto namanya. Tujuan dari liputan antara lain untuk menyajikan berita yang berimbang terkait kondisi terkini Irak. Supaya berita terkait Irak tak cuma berisi narasi dari media luar negeri, terutama Amerika Serikat (AS).

Meutya Hafid. (Foto: 

Kedatangan Meutya dan Budiyanto memang saat kondisi Irak masih kurang kondusif. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Irak pun masih tutup. Nahas, pada saat perjalanan meliput peringatan Asyura –Peringatan kematian cucu Nabi Muhammad—di Karbala mereka disekap. Mujahidin Irak kemudian jadi yang bertanggung jawab atas penyekapan itu.   

"Selama masa penyekapan itu, aku belajar banyak hal, terutama dalam hal mensyukuri hal-hal kecil dalam hidupku. Di tengah gua yang berpenerangan sederhana itu, aku merasakan cahaya Allah menerangiku.”

“Aku merasakan dapat berinteraksi secara langsung dengan Allah. Merasakan kemesraan yang sangat dengan Allah. Itulah yang membuatku lebih tegar saat menghadapi sekapan," tulis Meutya Hafid dalam buku Spiritual Journey of Muslimah (2008).

Atensi Warga Dunia

Penyanderaannya mendapatkan atensi warga dunia. Doa dan dukungan supaya kedua jurnalis selamat muncul bersamaan. Pemerintah Indonesia pun melakukan segala daya upaya agar keduanya dapat diselamatkan.

Meutya dan Budiyanto sendiri mengakui dirinya amat ketakutan. Apalagi penyandera membawa senjata api jenis AK 47. Tapi keduanya tak putus asa. Berkali-kali, ia menjelaskan kepada penyandera bahwa dirinya berasal dari Indonesia. Yang mana, sikap politik Indonesia tak mendukung terjadi Perang Irak.

Lagi pula, Meutya dan Budiyanto keduanya beragama muslim. Setelah negosiasi yang alot dan dibantu pemerintah Indonesia, keduanya baru dibebaskan dihari ketujuh atau 168 jam. Meutya menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku berjudul 168 Jam dalam Sandera: Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak (2007). Sebagai bentuk pelajaran bagi jurnalis lainnya yang meliput ke daerah konflik.

“Suara penyiar MetroTV Meutya Hafid, Jumat pekan lalu, terdengar serak dan terbata-bata. Kali ini dia tidak sedang membaca berita, tapi-berpidato di Hotel Sahid, Jakarta, menandai peluncuran bukunya berjudul 168 Jam dalam Sandera. Itulah kisah ketika Meutya dan juru kamera Budiyanto disekap mujahidin di tengah gurun Ramadi, Irak, dua tahun silam.”

“Meutya dan Budi saat itu diberi tugas meliput berita di negeri seribu satu malam, setelah invasi pasukan Amerika dan sekutunya. Nahas itu datang dalam perjalanan meliput peringatan Asyura-peristiwa kematian cucu Nabi Muhammad-- di Karbala. Mereka dibebaskan melalui negosiasi alot antara pemerintah Indonesia dan kelompok mujahidin,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Buku Sandera (2007).

Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.