JAKARTA - Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Kedung Ombo banyak menyisakan luka. Pembangunan itu melanggengkan pembebasan lahan milik rakyat. Ribuan orang tekena imbasnya. Mereka terpaksa kehilangan rumah dan tanah. Itupun dengan ganti rugi yang relatif kecil. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berang. Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama (NU), ia memlih berseberangan dengan pemerintah Orde Baru (Orba). Gus Dur mengecam pemerintah Orba yang doyan serobot tanah rakyat. Keadilan harus ditegakkan, pikirnya.
Kemampuan pemerintah Orba dalam membangun negeri tak perlu diragukan. Dalam pembangunan Waduk kedung Ombo, misalnya. Waduk yang berlokasi di tiga kabupaten di Jawa Tengah –Sragen, Boyolali, dan Grobogan— memiliki ragam fungsi.
Waduk itu tak saja difungsikan untuk pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkekuatan 22,5 Megawatt. Tapi juga Waduk Kedung Ombo dipredisiksi dapat mencukupi kebutuhan air dari 70 hektar sawah disekitarnya. Semuanya sesuai dengan hasil studi kelayakan yang dilakukan departemen terkait. Dana sudah disiapkan, begitu pula tenaga ahli.
Pembangunannya dimulai pada 1985. Lahan yang dibutuhkan untuk waduk mencapai 6.500 hektar. Demi mencukupi luas tanah, pemerintah bersiasat. Empunya kuasa memakai ajian pembebasan lahan kepada sekitar 5 ribu kepala warga yang tersebar di 37 desa, terdiri dari tujuh kecamatan dalam tiga kabupaten (Boyolali, Grobogan, Sragen).
Mereka dipaksa dan diintimidasi untuk pindah. Itupun dengan ganti rugi yang relatif kecil. Bahkan ada yang tidak mendapatkan ganti rugi. Karenanya, banyak warga yang memilih bertahan dan terus menuntut keadilan.
“Hal ini kemudian menimbulkan ketidakseimbangan dalam Proyek Kedung Ombo. Pada satu sisi, urusan pekerjaan teknis dianggap sebagai prióritas utama dan dikoordinasikan dengan baik secara profesional. Namun pada sisi lain, aspek sosial proyek tersebut, seperti pembebasan tanah, kompensasi, dan skema permukiman kembali ditangani secara sembrono dan kurang pertimbangan.”
“Tim pembangunan, ahli teknik, dan para insinyur secara sederhana mengasumsikan bahwa kompensasi uang tunai akan meyakinkan setiap orang untuk menemukan lahan/tempat baru. Perlakuan tidak adil dalam bentuk intimidasi, penangkapan, interogasi, serta tekanan fisik oleh aparat militer digunakan untuk menekan pemberian kompensasi,” ungkap Frans Hendra Winarta dalam buku Pro Bono Publico (2013).
Konon, ganti rugi pembebasan lahan sebenarnya berbiaya besar. Tapi yang diterima oleh warga sebaliknya. Jumlah yang diterima terlampau kecil. Berembus kabar ganti rugi lahan yang sesuai skema Bank Dunia mencapai Rp10 ribu per meter2.
Lalu dipangkas menjadi Rp3 ribu. Anehnya ganti rugi yang sampai ke warga hanya sebesar Rp250. Rakyat pun melakukan protes. Sekalipun pemerintah Orba menganggap sepi saja. Sebagai balasan, pemerintah Orba mulai memainkan perannya untuk mengawal investasi dengan melanggengkan kekuatan militer.
Warga yang bertahan untuk tanahnya terkena intimidasi. Bahkan, banyak di antara penolak pembangunan waduk dikategorikan sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Karenanya, KTP mereka diberi tanda eks tapol. Alias pengkhianat bangsa. Pun Soeharto sendiri menyebut warga yang bertahan sebagai: mbeguguk ngutho waton (berkepala batu).
“Hasil studi Elsam dan Lawyer Committee for Human Rights ini menemukan banyak kasus pelanggaran HAM dalam pelaksanaan program tersebut. Dalam proyek waduk Kedung Ombo, pelanggaran HAM yang ditemukan sebagai berikut: Pertama, tak adanya musyawarah yang dilakukan pemerintah dalam proses pembebasan lahan.”
“Dalam penentuan harga, pemerintah secara sepihak menetapkan harga tanpa mendengar masukan dari masyarakat. Kedua, Intimidasi dan teror terhadap warga yang tak bersedia menerima ganti rugi serta tak mau mengikuti tawaran pemerintah untuk ikut program transmigrasi. Warga yang bertahan ini diberi ‘label’ pembangkang dan dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI),” terang Nusa Putra dalam buku Renungan Jalanan (2015).
Gus Dur Kecam Orba
Ketidakadilan rezim Orba acap kali memancing kecaman dari berbagai tokoh nasional. Gus Dur, salah satunya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1984-1999, sebelumnya dikenal mesra dengan Orba. Namun, nurani Gus Dur terbuka dengan melihat tingkah pemerintah yang banyak mengorbankan rakyat dalam menjalankan proyek strategis.
Gus Dur tak gentar. Ia melemparkan banyak kritik terbuka terhadap kebijakan rezim berkuasa. Termasuk dalam pembangunan Waduk Kedung Ombo. Dalam kasus itu, Gus Dur senantiasa memihak kaum yang lemah nan tertindas. Ia pun mendukung banyak perjuangan aktivitis-aktivis yang melawan proyek Waduk Kedung Ombo.
“Konsistensi saya ada pada penegakan HAM. Pada mulanya saya bergerak untuk mencegah kerusakan lingkungan yang diakibatkan keserakahan penguasa dan menyengsarakan rakyat. Seperti kasus Waduk Kedung Ombo dulu.”
“Saya bersama Romo Mangun, Arief Budiman, dan Gus Dur ikut membela hak-hak warga desa yang digusur demi kepentingan pembangunan waduk tersebut. Saya mengenal Gus Dur dan sering bekerja sama dengan beliau sejak akhir 1970-an. Gus Dur adalah salah seorang tokoh Islam Indonesia yang menjadi mata rantai penting yang menghubungkan LSM dengan kelompok Islam,” terang George Junus Aditjondro sebagaimana ditulis Nurjannah Intan dkk dalam buku Salahkah George Berantas Korupsi (2010).
Ia kerap terjun langsung membantu warga. Segala bentuk bantuan dikerahkannya. Dari tenaga hingga materi. Semua itu demi memulihkan mental korban yang tengah diintimidasi oleh rezim berkuasa. Gus Dur memahami bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari kasus Waduk Kedung Ombo. Apalagi berhembus kabar sebagian tanah yang disita pemerintah justru ada yang dijadikan lapangan golf mewah.
Bukti itu semakin memantapkan langkah Gus Dur mengecam kesewenang-wenangan Orba. Ia kemudian mengorganisir aktivis-aktivis, utamanya yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka diminta bersuara lebih keras kepada Bank Dunia yang memberi Indonesia utang untuk membangun Waduk Kedung Ombo.
“Gus Dur menyarankan agar sejumlah teman di Ornop (Organisasi Non Pemerintah: LSM) untuk menulis surat kepada Bank Dunia dan memberikan kepadanya garis besar rasa prihatin mereka dan meminta agar ia menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola proyek-proyek seperti itu. Walaupun surat ini merupakan prakarsa Gus Dur, namun bentuk akhirnya sedikit berbeda dari apa yang telah digambarkan, oleh karena kata-katanya lebih keras dan secara pribadi bersikap kritis terhadap Soeharto.”
“Karena itu, Soeharto menuntut Gus Dur agar meminta maaf, dan Gus Dur pun memenuhinya setelah ia menghadap Soeharto untuk berbicara mengenai surat itu. Namun demikian, kejadian ini membuat banyak pengkritik Gus Dur dalam NU secara terbuka mempertanyakan bukannya Gus Dur yang nanti akan menjadi semacam meriam liar yang akan membahayakan keselamatan semua warga NU,” tutup Greg Burton dalam buku Biografi Gus Dur (2013).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.