Bagikan:

JAKARTA - Niat pemerintah orde baru (Orba) mengejar pertumbuhan ekonomi demikian masif. Keran investasi dibuka selebar-lebarnya. Narasi tanah untuk pembangunan pun menggema. Namun, narasi itu kian bermasalah. Alih-alih menyejahterakan, pemerintah orba justru acap kali merampas tanah milik rakyat. Pada pembangunan Waduk Kedung Ombo, misalnya. Ribuan warga kehilangan segalanya. Dari rumah, profesi, dan tanah. Mereka dipaksa memilih jalan sendiri: mengungsi atau dianggap simpatisan PKI.

Tiada yang memungkiri peran Soeharto bagi pemulihan stabilitas ekonomi Indonesia. Sebagai presiden, Ia banyak mengambil tindakan terukur. Terutama untuk memperbaiki ekonomi yang morat-marit pasca Orde Lama.

Penggunaan jasa teknokrat pembangunan yang terkenal dengan sebutan Mafia Berkeley, salah satunya. Sekumpulan profesor dan pakar ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) yang mayoritasnya adalah lulusan University of California, Berkeley itu memberi warna baru dalam paradigma pembangunan ekonomi Indonesia. Pun siasatnya bermacam-macam.

Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Jepang, Tomiichi Murayama. (Foto: Wikimedia Commons)

Ragam konsesi pun ditebar oleh pemerintah Orba. Dari konsesi pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan pengadaan tanah untuk ragam proyek pembangunan. Tujuannya mulia. Orba ingin pendapatan negara meningkat, tenaga kerja terserap banyak, dan roda ekonomi bergerak maju. Karenanya, keran investasi terbuka selebar-lebarnya.  

Nyatanya paradigma pembangunan ekonomi yang dianut terlihat baik hanya di atas kertas belaka. Beda hal dengan di lapangan. Eksploitasi berlebih kerap menyisahkan masalah. Hutan Indonesia jadi rusak. Pun konflik perampasan lahan yang diperhalus dengan bahasa “pembebasan lahan” semakin menjadi-jadi. Artinya, kepentingan rakyat dikesampingkan. Sementara kepentingan kelompok atau perusahaan diutamakan.

“Ketergantungan kepada pemodal asing dimulai dengan perjanjian kerja sama dengan International Monetary Fund (IMF), yakni organisasi internasional yang bertanggung jawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara-negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara.”

“Masuknya modal asing secara masif sangat didukung oleh pemerintah Orde Baru yang ditopang oleh para Mafia Berkeley. Kemakmuran ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki akses terhadap pemerintah. Keberhasilan swasembada beras yang merupakan keunggulan dari program pemerintah tidak berlangsung lama karena penerapan kebijakan yang tidak konsisten,” ungkap Muhammad Ilham Arisaputra dalam buku Reforma Agraria di Indonesia (2021).

Militer Amankan Investasi

Pemerintah Orba menjamin betul kelancaran investasi. Militer pun diturunkan sebagai siasat. Yang mana, siasat itu digunakan untuk memberi rasa aman dan nyaman kepada pengusaha. Atau bagi mereka yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Tapi kebijakan itu tidak untuk kalangan jelata. Mereka sering dijadikan korban dalam serangkaian investasi. Apalagi investasi yang membawa narasi tanah untuk pembangunan.

Tanah-tanah dari rakyat sering diambil alih dengan paksa. Padahal, tanah itu berarti sekali bagi rakyat untuk menopang hidup sehari-hari. Alih-alih peduli pemerintah Orba cenderung mengagendakan pembebasan lahan.

Prosesnya jelas jauh dari kata adil. Ganti ruginya kecil, kadang tidak ada gati rugi sama sekali.  Pembebasan lahan, pikir pemerintah. Kejahatan terhadap bangsa, kata rakyat. Semuanya karena militer hanya dijadikan alat untuk memuluskan investasi. Tak lebih.

 “Setiap pengusaha yang ingin melakukan investasi atau meminta izin bisnis di Indonesia, mesti mendapatkan izin dari militer dan Soeharto. Militer dibutuhkan untuk mengamankan modal yang masuk dan juga untuk melakukan represi kepada masyarakat yang menolak daerah tempat tinggalnya dialihfungsikan menjadi tempat bisnis baru.”

“Izin terhadap Soeharto juga diperlukan untuk menjamin kelangsungan bisnis seorang pengusaha. Soeharto memang tak terlibat langsung pemberian izin. Biasanya orang terdekatnya yang akan menghubungkan dengan Soeharto. Lantas, lazimnya, Soeharto tak hanya meminta fee, tetapi juga akan meminta saham kepada perusahaan yang akan diberikan izinnya,” tandas Virdika Rizki Utama dalam buku Menjerat Gus Dur (2020).

Ganti Rugi Tanah Dipangkas Calo

Narasi tanah untuk pembangunan kemudian mencuat kembali pada 1985. Pemerintah Orba berencana membangun sebuah waduk di perbatasan tiga kabupaten di Jawa Tengah: Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Waduk Kedung Ombo namanya.

Lahan yang dibutuhkan kala itu mencapai 6.500 hektar untuk membendung lima aliran sungai. Waduk itu sejatinya untuk pengadaan Pembangkit Listrik tenaga Air berkekuatan 22,5 Megawatt. Lebih lagi, Waduk Kedung Ombo diprediksi dapat mencukupi kebutuhan air dari 70 hektar sawah disekitarnya.

Pemerintah Orba percaya diri dalam membangun Waduk Kedung Ombo. Lagi pula komponen pendanaaan untuk waduk Kedung Ombo telah disiapkan matang-matang, Sebagian besar akan menggunakan dana telah disiapkan dari kas utang luar negeri dari Bank Dunia sebesar 156 juta dolar AS, Bank Exim Jepang 25,5 juta dolar AS, dan sebagiannya lagi dari APBN. Biang masalahnya mulai muncul ketika pemerintah terpaksa harus melanggengkan pembebasan lahan milik rakyat.  

 “Tahun 1985-1991, pembangunan waduk Kedung Ombo berjalan. Yayak Yatmaka –aktivis—merasakan hikmah dari ulangan materi gunung-hutan. Bersama Romo Mangun dan pengasuh pondok pesantren Pabelan K.H. Haman Ja’far. Ia mendampingi warga Kedung Ombo yang bertahan di lokasi pembangunan. Ujung-ujungnya warga diisolir, dengan perintah tembak di tempat bagi penyusup dari luar. Penguasa waktu itu bersiasat, warga akan beranjak karena habis bekal.”

“Dengan keahlian sebagai Wanadri (pencinta alam), Yayak slimpat-slimpet turun-naik bukit antar obat. Nyawa taruhannya. Pembangunan Waduk Kedung Ombo (1985-1991) menenggelamkan 37 desa di 7 kecamatan wilayah Kabupaten Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk. Warga dipaksa menerima ganti rugi Rp250 per meter2. Lebih dari 40-an warga mati tenggelam,” beber Rusna Nondi dalam buku Setitik Cahaya di Kegelapan (2014).

Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. (Foto: Wikimedia Commons)

Konon, ganti rugi pembebasan lahan sebenarnya berbiaya besar. Tapi yang diterima oleh warga sebaliknya. Jumlah yang diterima terlampau kecil. Berembus kabar ganti rugi lahan yang sesuai skema Bank Dunia mencapai Rp10 ribu per meter2.

Lalu dipangkas menjadi Rp3 ribu. Anehnya ganti rugi yang sampai ke warga hanya sebesar Rp250. Rakyat pun melakukan protes. Sekalipun pemerintah Orba menganggap sepi saja. Sebagai balasan, pemerintah Orba mulai memainkan perannya untuk mengawal investasi dengan melanggengkan kekuatan militer.

Warga yang bertahan untuk tanahnya terkena intimidasi. Bahkan, banyak di antara penolak pembangunan waduk dikategorikan sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Karenanya, KTP mereka diberi tanda eks tapol. Padangan itu nyatanya tak sesuai dengan realita. Banyak di antara warga yang menolak tak memahami apa itu Komunisme. Apalagi menjadi bagian dari PKI.

Sikap Soeharto sendiri turut dipertanyakan warga. Ia justru berdiri membela investasi. bukan rakyatnya sendiri. Malahan, Soeharto ikut menebar narasi bahwa mereka yang ikut menolak terafiliasi dengan paham komunis. Yang mana, para penolak dianggap sebagai pengkhianat bangsa.  

“Presiden Soeharto sendiri dalam pidato pembukaan Waduk Kedung Ombo mengatakan dirinya memahami bahwa orang atau warga yang tidak mau menerima pembangunan Waduk Kedung Ombo disusupi oleh komunis,”ungkap Ikrar Nusa Bhakti ·dalam buku Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru (2001).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.