Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 34 tahun yang lalu, 14 Januari 1989, pemerintah Orde Baru (Orba) secara resmi mengaliri air sungai --Sungai Uter dan Serang-- ke Waduk Kedung Ombo. Aliran air itu membuat 37 desa di tujuh kecamatan ternggelam di Jawa Tengah. Dari kecamatan wilayah Boyolali, Sragen, hingga Grobogan.

Sebelumnya, pembangunan Waduk Kedung Ombo dinilai penuh kontroversi. Orba memanfaatkan kuasanya untuk melakukan pembebasan lahan dengan harga yang murah. Militer pun digerakkan untuk menjamin keberhasilan pembebasan lahan.

Soeharto dan Orba memiliki ajian penting dalam memajukan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mereka menggunakan ekonom lulusan Universitas California Berkeley untuk melanggengkan kestabilan ekonomi. Mereka kemudian dijuluki sebagai Mafia Berkeley.

Upaya itu berhasil. Dampaknya dapat dirasakan dalam waktu yang cukup lama.  Mereka mampu mengubah kiblat ekonomi Indonesia yang awalnya condong ke blok timur, kini melulu ke blok barat. Namun, stategi itu nyatanya memiliki efek samping.

Indonesia jadi ketergantungan dengan utang luar negeri dan pemodal asing. Itulah yang terlihat kala Indonesia mewacanakan pembangunan proyek stategis. Pembangunan Waduk Kedung Ombo, salah satunya.

Waduk Kedung Ombo yang terletak di tiga wilayah kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Sragen, Boyolali, dan Grobogan. (Kementerian PUPR)

Kala itu, Waduk Kedung Ombo direncanakan Orba menggunakan dana dari kas utang luar negeri. Antara lain dari Bank Dunia sebesar 156 juta dolar AS, Bank Exim Jepang 25,5 juta dolar AS, dan sebagian lagi dari APBN.

Dana itu dirasa cukup untuk melakukan pembebasan lahan. Namun, pemerintah Orba ogah rugi. Militer pun digunakan untuk meneror warga supaya mau menjual tanahnya dengan harga murah. Praktek itu memancing kecaman banyak pihak. 

“Kedung Ombo memang sebuah rangkaian cerita yang warna-warni. Proyek bendungan Sungai Serang ini mulai digarap 1984. Bendungan ini dibangun untuk pengendalian Kali Serang yang sering mengamuk di musim hujan, menjadi sumber air irigasi bagi 10.000 hektar sawah, dan bisa memberikan tenaga listrik 22.5 MW.”

“Lahan yang diperlukan untuk proyek waduk ini 5.000 hektar hingga 6.167 hektar di antaranya dibutuhkan untuk areal genangan. Dari jumlah itu, 4.163 ha berasal dari tanah rakyat -- sawah, kebun, atau pekarangan. Selebihnya berupa tanah negara. Waduk Kedung Ombo ini meliputi tiga kabupaten, Sragen, Boyolali, dan Grobogan,” ungkap Putut Trihusodo dan kawan-kawan dalam laporan di Majalah Tempo berjudul Mereka yang Bertahan di Kedung Ombo (1991).

Penolakan terhadap pembangunan Waduk Kedung Ombo bergaung di mana-mana. Tokoh nasional seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Romo Mangun ada dalam barisan itu. Pemerintah Orba diminta mereka untuk menyudahi perihal ketidakadilan dalam kasus pembebasan lahan untuk Waduk Kedung Ombo.

Protes itu tak digubris Orba. Mereka meneruskan pembangunan. Pun akhirnya, Waduk Kedung Ombo secara paripurna dialiri air pada 14 Januari 1989. Aliran air itu kemudian menenggelamnya puluhan desa. Akibatnya, warga setempat banyak yang kehilangan rumah hingga penghasilan. Pun Waduk Kedung Ombo baru diresmikan pada 1991.

“Pembangunan Waduk Kedung Ombo (1985-1991) menenggelamkan 37 desa di 7 kecamatan wilayah Kabupaten Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk. Warga dipaksa menerima ganti rugi Rp250 per meter persegi. Lebih dari 40-an warga mati tenggelam,” beber Rusna Nondi dalam buku Setitik Cahaya di Kegelapan (2014).