Sejarah Pengaturan Lalu Lintas Jakarta: Three in One, Siasat Mengurai Kemacetan yang Kurang Efektif
Papan informasi kawasan pembatasan penumpang, Three In One di Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada tahun 2007. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Ragam hajatan internasional pernah digelar di Indonesia. Pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok pada 1992, salah satunya. Presiden Soeharto dan Orde Baru (Orba) menginginkan KTT Non Blok sebagai bagian perjuang politik dan ekonomi Indonesia. Sekalipun keadaan ekonomi tak baik-baik saja.

KTT Non Blok dipersiapkan dengan baik. Jakarta sebagai tuan rumah ikut berbenah. Perihal kemacetan, terutama. Karenanya, kebijakan Three in One digulirkan di beberapa ruas jalanan Jakarta.

KTT Asia-Afrika dianggap pijakan awal hadirnya hajatan internasional di Indonesia. Indonesia kala itu berhasil mengundang banyak negara Asia-Afrika untuk duduk bersama dalam satu waktu. Keberhasilan Indonesia dalam pelaksaan Asia Afrika yang berlangsung di Bandung pada 1955 menggelegar ke mana-mana.

Segenap negara Asia-Afrika diuntungkan. Utamanya Indonesia. Ragam kerja sama politik dan ekonomi terjadi. Apalagi banyak negara yang awalnya belum merdeka didukung oleh segenap peserta Asia-Afrika. Semua itu membuat KTT Asia Afrika diperhitungkan oleh seisi dunia.

Pemandangan kemacetan sehari-hari lalu lintas di Jakarta. (Wikimedia Commons)

Gaung keberhasilan KTT Asia-Afrika tak lantas berakhir dengan pemerintahan Orde Lama digantikan oleh Soeharto dan Orba. Pemerintah Orba pun tak mau kalah dengan mengadakan pula hajatan besar lainnya. KTT Non Blok, namanya. Sebuah acara yang diperuntukkan kepada negara yang sama sekali tak memihak antara blok barat atau timur.

Persiapan penyelenggarannya pun dilakukan dengan sebaik-baiknya di Jakarta. Segela macam fasilitas dan infrastruktur dimatangkan demi menyambut KTT yang berlangsung pada September 1992. Sekalipun kondisi ekonomi Indonesia kala itu sedang morat-marit. Persiapannya tetap jalan. Semua itu demi sebuah kebanggaan Indonesia sebagai negeri berdaulat.    

 “Walaupun Indonesia seperti dikatakan oleh kepala negara selalu "low profile" dan ‘dalam keadaan prihatin tetapi prihatin yang baik’ dunia melimpahkan kepercayaan: Karena memang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara, katakanlah sebagai suatu totalitas atau dalam arti makro, di mata dunia berhasil dalam memanfaatkan pinjaman-pinjaman luar negeri.”

Low profile dan prihatin tidak menjadi penghalang bagi Indonesia untuk menyelenggarakan KTT Non Blok yang sangat bergengsi, dilihat dari persiapan serta fasilitas yang disediakan, sebagai pertanda, bahwa sebagaimana dalam hal pembangunan nasional, Indonesia pun secara sungguh ingin membangun suatu dunia baru,” tulis M.O. Tambunan dalam Majalah Dharmasena berjudul Gerakan Non Blok: Dari Politik ke Ekonomi (1992).

Kebijakan Three in One

Upaya persiapan itu membuat banyak pihak kebagian kerjaan. Antara lain pemerintah pusat, daerah, Dinas Pekerjaan umum, dan lain sebagainya.  Semuanya kebagian tugas demi menyukseskan Jakarta sebagai tuan rumah dari hajatan KTT Non Blok.

Salah satu fokus penting dari persiapan KTT adalah menghadirkan kebijakan car pooling atau yang populer dengan Istilah Three in One. Sebuah kebijakan yang mengharuskan pengguna mobil berbagi perjalanan –tiga orang di dalam mobil-- menuju satu arah tujuan di ruas jalan tertentu.

Kebijakan itu digadang-gadang dapat mengurai kemacetan, menekan penggunaan kendaraan pribadi, dan juga hemat bahan bakar. Aturan Three in One lalu dilaksanakan pertama kali pada Agustus 1992. Jalan-jalan yang menjadi fokus adalah Jalan Sudirman, Merdeka Selatan, Jalan Gatot Subroto, dan M.H. Thamrin.  

Akan tetapi, aturan Three in One hanya dibatasi pada jam sibuk pagi hari. Dari pukul 06:30 hingga 10.00 WIB. Alih-alih berhasil, kebijakan Three in One mendapatkan protes dari sana-sini. Orang-orang banyak yang kebingungan dengan kebijakan itu karena minim sosialisasi. Belum lagi pemerintah Orba tak memiliki ajian untuk membatasi penjualan mobil di Jakarta atau menghadirkan transportasi umum yang layak.

The Three in One rule has created a new social problem in Jakarta, namely the presence of jockeys. (Special)

Pun ada pula yang menyebut penerapan waktu yang terbatas adalah pangkal masalah utama dari Three in One. Sebab, waktu yang terbatas itu membuat pemilik mobil akan melawati rute yang sama setelah jam Three in One berakhir. Artinya kemacetan tetap ada. Alhasil, kebijakan itu hanya dianggap angin-anginan. Sekalipun kemudian kebijakan Three in One bertahan hingga 2016.

“Sementara itu menanggapi masalah kemacetan lalu lintas di ibukota Jakarta masih dihadapi sepanjang tahun, Ketua DPRD, M.H. Ritonga menegaskan harapan di tahun 1993 ini Pemda DKI Jakarta harus mampu menetapkan konsep yang jelas untuk menangani kemacetan lalu lintas di ibukota.”

“Menurutnya, pengoperasian lajur khusus bus di jalur cepat dan kebijakan Kombinasi Pembebanan dan Pengendali Lalu lintas (KPPL) dengan sistem Three in One’ dianggap oleh Ritonga tidak mampu menyelesaikan masalah. Karena itu disaranakan untuk ditinjau kembali. Mantan Kapolda Metro Jaya ini juga mengatakan bahwa kebijakan transportasi dan lalu lintas di DKI Jakarta tidak bisa hanya sepotong-sepotong, tetapi harus serentak, sehingga memperoleh hasil yang optimal,” tertulis dalam laporan Majalah Legislatif Jaya berjudul Optimis di Tahun 1993 (1992).