Bagikan:

JAKARTA - Kuasa Kiai Haji (K.H) Ahmad Dahlan mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar tiada dua. Semangat itu dialirinya dalam membangun Muhammadiyah. Ia ingin Muhammadiyah jadi wadah mengajak umat Islam menegakkan kebenaran dan melarang yang salah.

Namun, Muhammadiyah bukan ormas sempurna. Ormas itu justru pernah dikritik tak memihak rakyat kecil. Muhammadiyah jarang membela korban gusuran era Orde Baru (Orba). Dari korban gusuran proyek perumahan elite Tawang Mas hingga Waduk Kedung Ombo.

Keinginan Ahmad Dahlan belajar agama ke Makkah sudah bulat. Ia mendapatkan restu dari orang tuanya untuk hidup dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia berguru dengan banyak ulama sempat.

Hasilnya gemilang. Pria yang bernama asli Muhammad Darwis jadi memiliki khazanah pemikiran yang luas. Ilmu itu menjelma jadi oleh-oleh berharga yang dibawanya dari Makkah. Ia pun membentuk sebuah wadah perjuangan baru di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912.

Muhammadiyah, namanya. Pendirian Muhammadiyah dikhususkannya sebagai medium pembaruan Islam. Nafas Muhammadiyah pun jelas. Amar ma’ruf nahi mungkar, menegakkan kebenaran dan melarang yang salah.

K.H Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah. (Wikimedia Commons)

Al Quran jadi pedoman utamanya. Ayat-ayat Al Quran coba diamalkan secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Pun banyak orang mendukungnya. Pengikutnya kian bertambah. Muhammadiyah pun tumbuh jadi gerakan reformis-modernis.

Gerakan itu mampu mencerahkan dan memajukan ilmu pengatahuan. Tujuananya antara lain supaya kaum bumipurta dapat melawan kemiskinan dan kebodohan. Alih-alih hanya membangun sekolah, masjid, atau mengajar saja, Ahmad Dahlan kerap turun tangan memberikan contoh untuk melanggengkan kebaikan kepada sesama.

Mereka yang kurang mampu dibantu. Pun mereka yang yatim banyak dirangkul dan diberikan kesempatan mengakses pendidikan. Karenanya, penjajah Belanda sering kerepotan dengan pergerakan Muhammadiyah.

“Para mubalig (juru dakwah Muhammadiyah) itu membawa penerangan yang tiada ternilai harganya dan mereka mengajak supaya masyarakat memahami dan melaksanakan agama dengan menggunakan hikmah atau alam pikiran yang logis, rasional, dan sehat. Sesuai dengan tuntunan Kitab Suci dan Sunah Rasul. Muhammadiyah kemudian berkembang tidak hanya pada lapangan tabligh dan pengajaran.”

“Tetapi juga di bidang kemasyarakatan, seperti panti asuhan, rumah penampungan fakir miskin, balai pengobatan, rumah sakit, bahkan besar pula pengaruhnya di bidang politik. Terhadap gerakan dan amalan Muhammadiyah ini masyarakat Indonesia merasakan kegembiraannya karena memperoleh bantuan dalam kehidupannya yang dirasakan berat pada zaman penjajahan Belanda itu,” terang Sutrisno Kutoyo dalam buku Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah (2011).

Muhammadiyah Banjir Kritik

Muhammadiyah mulai menjelma sebagai salah satu ormas Islam besar di awal Indonesia merdeka. Muhammadiyah juga melanggeng-langgeng di dunia pendidikan. Sekolahnya ada di mana-mana, begitu pula simpatisannya.

Masalah muncul kala Soeharto dan Orde Baru berada di pucuk kekuasaan. Nyali Muhammadiyah dianggap menciut. Orba dianggap banyak membantu Muhammadiyah. Fakta itu membuat ajian membela kaum yang lemah tak lagi perlihatankan. Elite Muhammadiyah bak terjebat dalam budaya patuh kepada penguasa.

Narasi itu terlihat jelas ketika rakyat kecil banyak berkonflik dengan penguasa, Muhammadiyah bak diam seribu bahasa. Orba dengan kekuatan militernya mampu mengamankan investasi. Sekalipun rakyat harus jadi korban. Mereka kehilangan tanah, mata pencaharian, dan rumahnya digusur.

Ambil contoh dalam kasus penggusuran nelayan untuk membangun perumahan elite Tawang Mas di Semarang. Kemudian, kasus penggusuran untuk membangun Waduk Kedung Ombo pada 1985. Mereka yang terdampak pembangunan Waduk Kedung Ombo tak sedikit.

Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di Menteng, Jakarta Pusat. (Wikimedia Commons)

Korbannya mencangkup 37 desa di tujuh kecamatan wilayah Kabupaten Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk. Warga dipaksa menerima ganti rugi yang tak seberapa.

Kondisi itu membuat segenap rakyat Indonesia tergerak membantu. Uluran bantuan moral dan materil muncul dari segala macam elemen masyarakat. Nahdlatul Ulama (NU), apalagi. Bahkan petingginya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sampai turun ke lapangan berkali-kali ke korban gusuran Waduk Kedung Ombo.

Sikap Muhammadiyah sendiri dipertanyakan banyak pihak. Muhammadiyah dianggap memilih diam. Kritik pun tidak. Sikap itu jauh dari semangat amar ma’ruf nahi mungkar yang didengungkan pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan. Sekalipun Muhammadiyah baru mulai memilih posisi berseberangan dengan pemerintah pada 1994.

“Gaya kepemimpinan mereka dapat dilihat dari sikap Muhammadiyah terhadap kasus penggusuran nelayan miskin untuk proyek perumahan tidak mengkritik, membiarkan pihak lain melemparkan kritik atau keberatan terhadap pemerintah. Pada kebanyakan kasus penggusuran itu, nelayan miskin mendapatkan penggantian tidak layak.”

“Seperti contohnya kasus proyek pembangunan bendungan Kedung Ombo dan proyek pembangunan perumahan elite Tawang Mas. Kritik terhadap Muhammadiyah dilemparkan oleh seorang banyak orang. Pemimpin Muhammadiyah dianggap tidak mengambil tindakan apa pun untuk mempertahankan hak-hak hidup para nelayan tersebut dalam kasus Tawang Mas di Semarang,” ungkap Fuad Fachruddin dalam buku Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (2006).