Pidato Kebudayaan Mochtar Lubis Tentang Sifat Orang Indonesia
Mochtar Lubis saat meliput Perang Korea pada 1950. (Dok. Keluarga)

Bagikan:

JAKARTA - Mochtar Lubis adalah tokoh pers yang jadi panutan seisi Indonesia. Pengamatan dan kritiknya kerap membuat penguasa Indonesia geram bukan main. Kritik keras itu memiliki konsekuensi besar. Ia pernah di penjara penguasa Orde Lama hingga Orde Baru (Orba).

Nyatanya, penjara tak mampu membungkam daya kritis Mochtar. Ia terus melanggengkan kritik kepada pemerintah. Pun sesekali ia pernah melempar kritik kepada satu Indonesia. Mochtar Lubis menyebut salah satu ciri orang Indonesia adalah hipokrit: munafik.

Dunia pers Indonesia pernah berjaya dengan kehadiran Mochtar Lubis sebagai jurnalis. Ia bak seorang legenda. Ia jadi contoh sempurna bagaimana jurnalis menjalankan fungsi kontrolnya. Alih-alih memilih dekat dengan pemerintah, Mochtar justru terus ikut nuraninya berpihak kepada rakyat Indonesia kritik kebijakan pemerintah.

Ia terkenal antikompromi. Sikap itu dilantunkan sedari pemerintahan Indonesia dalam kuasa Soekarno dan Orde Lama. Pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya itu kerap membuat telingga penguasa kepanasan.

Ia berani membeberkan kasus ketidakadilan, penyalagunaan kekuasaan, hingga penindasan rakyat era Orde Lama. Keberaniannya itu harus dibayar mahal. Mochtar kemudian diincar pemerintah untuk dibungkam.

Mochtar Lubis semasa muda. (Wikimedia Commons)

Surat kabarnya diberedel. Ia pun ditahan dalam waktu yang lama. Dari 1958 hingga 1966, atau ia bebas pada saat rezim Soekarno dan Orde Lama tumbang dan digantikan oleh Soeharto dan Orba. Mochtar pun tak lantas kapok melemparkan kritik ke pemerintah.

Ia lalu memandang Orba tak jauh lebih baik dibanding Orde Lama. Ia melihat sendiri bagaimana geliat korupsi semakin menjadi-jadi di era Orba. Kalau dulu korupsi di bawah meja, sekarang korupsi merajalela di atas meja.

Mochtar melanggengkan kritiknya tanpa pandang bulu. Barang siapa yang ingin merugikan negara, ia kritik. Utamanya, Ibnu Sutowo dan Pertamina. Pun ia kerap menganggap Pertamina era Orba sebagai gudangnya koruptor.

Daya kritisnya pun tak lantas hilang. Ia kerap menyoroti perilaku negatif pejabat Orba. Keberanian itu membuat Indonesia Raya yang dipimpinnya diberedel dan ia kembali merasakan dinginnya dinding penjara kembali pada 1975.

“Saya ditahan dua kali di rezim Bung Karno. Pertama, menjadi tahanan rumah selama 3,5 tahun. Keluar dari tahanan saya sempat ke Paris menghadiri konferensi pers. Tidak lama kemudian saya dimasukkan kembali ke Rumah Tahanan Militer (RTM) selama tiga tahun, karena dituduh terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Saat itu saya masuk dengan Anak Agung Gde Agung, M. Natsir, Princen, dipindahkan ke rumah tahanan di Madiun.”

“Setelah G30S/PKI dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1965, terus dibebaskan. Tahanan ketiga pada zaman Orde Baru saya ditahan satu kali. Kalau tidak salah dua bulan setelah Malari (Peristiwa 16 Januari). Sekitar dua atau tiga bulan. Saya lupa persisnya berapa bulan,” terang Mochtar Lubis sabagaimana disusun Ramadhan K.H. dalam buku Mochtar Lubis: Bicara Lurus Menjawab Pertanyaan Wartawan (1995).

Enam Ciri Manusia Indonesia

Daya kritis Mochtar Lubis nyatanya tak melulu di utarakan kepada pemerintah saja. ia juga kerap melempar kritik terhadap laku hidup orang Indonesia, yang dalam bahasa Mochtar disebut manusia Indonesia.

Kritikan paling keras pernah disampaikan Mochtar dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977. Pidatonya ditakdirkan membuat yang hadir kagum. Pun pendengar lainnya dibuat benci karena Mochtar bak mengolok-olok orang Indonesia.

Semuanya karena Mochtar dalam pidatonya berani mengelompokkan enam ciri manusia Indonesia yang notabene banyak negatif, ketimbang positif (munafik, tak bertanggung jawab, jiwa feodal, percayaa takhayul, artistik, dan watak lemah). Ciri yang pertama dan utama adalah manusia Indonesia terkenal hipokrit, alias munafik.

Lain di muka, lain di belakang. Sifat itu dianggapnya telah mendarah daging. Ambil contoh, orang boleh saja mengatakan hukum di negeri ini berlaku sama. Kenyataannya justru berkata lain. Maling kelas teri ditahan. Sedang maling kelas kakap bebas lalu-lalang.

Narasi munafik kemudian merasuk dalam segala hal. Dari urusan seks hingga korupsi. Orang Indonesia menolak hadirnya majalah luar negeri yang memuat foto-foto seksi seorang wanita. Ajaibnya, orang Indonesia pula yang melanggengkan bisnis mandi uap dan tempat pijit.

Mochtar Lubis berjumpa dengan Wakil Presiden Adam Malik pada 1978. (Perpusnas)

Sikap munafik yang dilantunkan Mochtar bukan tanpa alasan. Semuanya berasal dari hasil pengamatan selama era penjajahan Jepang, Orde Lama, hingga Orba. Sifat itu sengaja dilontarkannya supaya bangsa Indonesia segera sadar dan berbenah. Sifat buruk dihilangkan, sifat baik diadopsi.

Pidato Mochtar pun kemudian mendapatkan tentangan di sana-sini. Banyak yang menganggap pidato Mochtar terlihat gegabah dan terlalu cepat menyimpulkan. Namun, waktu membuktikan. Segala macam yang disebut Mochtar nyatanya masih relevan, bahkan hingga hari ini.

“Manusia Indonesia karena semua ini, juga penuh dengan hipokrisi. Dalam lingkungannya dia pura-pura alim, akan tetap begitu turun di Singapura atau Hongkong, atau Paris, New York dan Amsterdam, lantas loncat ke taksi cari nightclub, dan pesan wanita pada pelayan atau portir hotel. Dia ikut maki-maki korupsi, tetapi dia sendiri seorang koruptor.”

“Kita semua mengutuk korupsi, atau istilah barunya komersialisasi jabatan, tetapi kita terus saja melakukan korupsi dari hari ke hari korupsi bertambah besar saja. sikap manusia Indonesia yang munafik seperti ini yang memungkinkan korupsi begitu hebat berlangsung terus-menerus selama belasan tahun di Pertamina, umpamanya, dan meskipun fakta-fakta sudah jelas dan terang, akan tetapi hingga hari ini belum ada tindakan hukum diambil terhadap para pelaku utamanya,” ungkap Mochtar Lubis dalam pidatonya sebagaimana dikutip buku Manusia Indonesia (2017).