Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 27 tahun yang lalu, 5 Agustus 1996, Sastrawan cum Jurnalis, Mochtar Lubis mengancam akan mengembalikan anugerah Ramon Magsaysay Award yang diterimanya pada 1958. Ancaman itu diutarakannya karena Yayasan Magsaysay di Filipina ingin memberikan penghargaan kepada Pramoedya Ananta Toer.

Sebelumnya, Mochtar Lubis dan Pram dikenal sebagai tokoh yang berseberangan di era Orde Lama. Semua itu karena Pram didaulat sebagai pemimpin dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Eksistensi Pram sebagai sastarawan kenamaan pernah dikritik habis-habisan. Kritikan paling keras muncul dari Mochtar Lubis – sosok yang sama-sama mengabdikan diri dalam dunia sastra. Mulanya Mochtar Lubis menghormati Pram. Begitu pula sebaliknya pada era Orde Lama.

Masalah muncul ketika Pram dianggap mulai mengabdikan diri ke gelanggang politik. Pram dianggap dekat dengan organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Lekra. Ia bahkan dekat dengan Sekretaris Jenderal Lekra, A.S. Dharta.

Kedekatan itu menjadikan kehidupan Pram berubah total. Ia awalnya kerap merasakan pahit getir hidup sebagai penulis mulai hidup nyaman. Sekalipun ia tak lagi menjabat sebagai redaktur Balai Pustaka. A.S. Dharta kemudian datang memberikan beberapa pekerjaan kepada Pram.

Tokoh Pers Nasional sekaligus sastrawan, Mochtar Lubis. (Wikimedia Commons)

Utamanya, urusan penerjemahan suatu karya. A.S. Dharta percaya Pram dalam melakukannya dengan baik. Kemudian, tiap ada hajatan seni di luar negeri, A.S. Dharta mempercayakan Pram untuk hadir. Kebaikkan itu disinyalir oleh banyak pihak membuat Pram mulai memposisikan diri menjadi sastrawan kiri.

Pram yang dianggap telah khatam urusan sastra kemudian didaulat sebagai pemimpin Lekra yang baru. Jabatan itu membuat kuasa Pram di dunia sastra Indonesia begitu besar. Bahkan, Pram disebut mau melakukan kontrol bacaan yang tak sepaham dengan Komunis.

“Sejak itu dia aktif dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut politik. Dia diangkat oleh Kongres Nasional Lekra menjadi salah seorang pimpinannya. Tapi nampaknya lebih sebagai perlambang saja, karena Pram bukan orang yang suka aktif dalam organisasi. Dukungannya terhadap langkah-langkah politik Kiri lebih banyak disuarakan melalui tulisan dalam ‘Lentéra’ ruangan kebudayaan dalam surat kabar Bintang Timur yang dipimpinnya.”

“Surat kabar Bintang Timur sendiri berafiliasi kepada Partindo (Partai Indonésia), jadi bukan Kiri. Tulisan-tulisan menghantam kelompok ‘humanisme universal’ yang dimuat dalam ‘Lentéra’ sering lebih keras dari pada tulisan-tulisan yang dimuat dalam Harian Rakjat atau Zaman Baru (majalah resmi Lekra),” terang Ajip Rosidi dalam buku Lekra Bagian dari PKI (2015).

Nasib Pram kemudian tak menentu ketika Orde Lama tumbang. Pemerintahan Orde Baru (Orba) mengasingkannya ke Pulau Buru karena berafiliasi dengan PKI. Namun, Pram tak tinggal diam. Ia terus melanggengkan hobinya menulis. Pun Mahakarya Tertralogi Pulau Buru lahir darinya. Suatu karya yang membuat nama Pram mendunia.

Mochtar Lubis saat meliput Perang Korea pada 1950. (Kompas.id/Dok. Keluarga Mochtuar Lbis)

Kerja keras Pram membawakan hasil. Buku Tertalogi Pulau Buru diminati di mana-mana. Alasan itu membuat Pram dijadwalkan memperoleh anugerah Ramon Magsaysay Award pada 1996. Namun, rencana itu ditolak mentah-mentah oleh sekelompok sastrawan Indonesia. Mochtar Lubis utamanya. Penolakan itu dikarenakan dosa-dosa masa lalu Pram bersama Lekra.

Pram dianggap sebagai biang pembakaran buku-buku yang melanggengkan kritik kepada komunisme dan PKI. Apalagi, Pram dianggap jadi penentu Mochtar Lubis dihukum penjara karena melanggengkan kritik kepada pemerintahan Orde Lama.

Mochtar lubis pun tak mampu menahan kekesalannya pada 5 Agustus 1996. Ia lewat Harian Kompas mengancam akan mengembalikan anugerah Ramon Magsaysay Award yang terimanya pada 1958 (sekalipun resminya baru terima Mochtar Lubis setelah keluar penjara pada 1966). Semua itu dilanggengkan kalau panitia Magsaysay Award di Filipina tetap mengangkat Pram sebagai pemenang.

“Mereka tidak setuju Pram mendapatkan penghargaan Nobel Asia itu. Mereka menuding Pram sebagai salah satu jubir sekaligus algojo Lekra yang terkenal paling galak, menghantam, menggasak, membantai, dan mengganyang pada masa Demokrasi Terpimpin.”

“Karena rekam jejaknya yang dianggap penuh noda hitam ini, Pram dipandang tidak pantas diberi penghargaan tersebut dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pram. Penolakan ini intinya supaya pemberian anugerah Magsaysay terhadap Pram itu dibatalkan,” terang Muhammad Muhibbuddin dalam buku Pramoedya Ananta Toer: Catatan dari Balik Penjara (2019).