Bencana Kelaparan Melanda Nusantara di Zaman Malaise
Anggota masyarakat di Kalimantan yang dipekerjakan secara paksa dan dibiarkan kelaparan pada masa penjajahan Jepang di Nusantara dan ditemukan oleh pasukan Sekutu pada 1949. (Australian War Memorial)

Bagikan:

JAKARTA - The Great Depression (Depresi Besar) atau yang lebih dikenal sebagai Zaman Malaise pernah membuat dunia panik. Hajat hidup seisi dunia jatuh pada level terendah. Di Nusantara, apalagi. Segala macam lapisan masyarakat terkena imbasnya. Pun kaum bumiputra jadi yang paling sengsara.

Nasib mereka mengais rezeki semakin sempit. Apalagi, pemerintah kolonial Hindia Belanda ogah membantu. Urusan makan sehari-hari saja susahnya minta ampun untuk dipenuhi. Narasi itu membuat bencana kelaparan kemudian menjalar ke seantero negeri.

Tiada yang meragukan perang kerap membawa banyak mudarat ketimbang manfaat. Ambil contoh dalam Perang Dunia I. Imbasnya Perang Dunia I ke mana-mana. Dari kemiskinan hingga kekacauan ekonomi.

Masalah itu lalu diperparah dengan kejatuhan harga saham di bursa New York Amerika Serikat (AS) pada Oktober 1929. Arus perdagangan dunia jadi lesu. Barang-barang industri mulai hilang dari pasaran. Alih-alih mengharap pasar baru, daya beli seisi dunia kian menurun.

Seisi dunia pun menanggung kerugian. Hindia Belanda (kini: Indonesia), apalagi. Pemerintah kolonial yang semula kerap bergantung kepada nilai ekspor hasil perkebunan mulai merasakan kebangrutan. Hasil kebun andalannya seperti tembakau, karet, gula, kopi, hingga teh tak dapat dipasarkan.

Masyarakat mengantre bantuan dari pemerintah Hindia Belanda di depan Pegadaian Surabaya pada masa resesi ekonomi 1930. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Bangsa asing tak lagi mampu membelinya. Skema ekonomi yang bertumpuh kepada perusahaan perkebunan swasta itu membuat Belanda tak dapat lari dari resesi ekonomi. Banyak perusahaan yang ada lalu gulung tikar.

Pengusaha-pengusaha yang ada mulai pulang kampung. Mereka tak kuasa menahan kerugian dengan mengurung diri di Hindia belanda. Karenanya, mau tak mau angka pengangguran kian meningkat. Kelesuan ekonomi itu lalu dikenang luas sebagai Zaman Malaise yang terjadi dari 1928-1939.

Kata Malaise sendiri diambil dari bahasa Prancis yang berarti sakit atau lesu. Akan tetapi, kaum bumiputra kala itu punya sebutan sendiri: Zaman Meleset.

“Pemerintah sendiri salah satu produsen pertanian terbesar mendapatkan untung 54 juta gulden dalam bidang ini pada 1928, tapi pada 1932 perusahaan pertaniannya mengalamai kerugian 9 juta gulden. Perusahaannya yang lain, seperti pertambangan, memasukkan keuntungan 20 juta alih-alih 50 juta. Perusahaan patungan milik orang Eropa dan dikelola orang Eropa melihat keuntungan mereka terpangkas sampai hampir nol.”

“Tidak ada dividen yang dibayarkan, pekerja dipecat, dan kesejahteraan umum penduduk Eropa menurun begitu cepat sehingga pemasukan dari pajak penghasilan, yang hampir semuanya dibayarkan oleh orang Eropa (dan sedikit orang China), menyusut 50 persen dari level sebelumnya walaupun ada peningkatan tajam tingkat pajak. Selalu ada surplus besar ekspor atas impor, tapi ketika pelanggan Eropa dan Amerika tak bisa lagi membeli, Indonesia tidak bisa membeli dari Eropa dan Amerika,” tulis Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (2008).

Bencana Kelaparan

Seisi Nusantara terdampak Zaman Malaise. pengusaha Eropa yang dulunya kaya raya, kini jatuh miskin. Sedang kaum bumiputra yang semula telah tertindas, nasibnya makin merana. Utamanya, mereka yang berstatus sebagai pegawai rendahan, buruh, atau petani.

Zaman Malaise yang buruk itu membuat bencana kelaparan melanda Nusantara. Bahan makanan yang dijual di pasaran terbatas. Kalau pun ada, daya beli untuk membeli bahan makanan yang tak ada. Pejuang kemerdekaan kemudian berbondong-bondong meminta pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk tanggung jawab.

Belanda dianggap sebagai biang keladi dampak Zaman Malaise menjalar ke Nusantara. Empunya kuasa kemudian diminta untuk berjuang menyelamatkan hajat hidup kaum bumiputra yang telah sengsara. Namun, seperti yang sudah-sudah, Belanda lebih mementingkan keuntungan dibanding membantu kaum bumiputra.

Sikap mau untung sendiri itu membuat stabilitas di Hindia Belanda terganggu. Kerusuhan dan kejahatan makin menjadi-jadi. Pergolakan itu muncul karena ketidakmapuan Belanda melanggengkan ajian supaya kaum bumiputra tak kelaparan.

Potret kaum tani bumiputra di Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Kaum bumiputra yang kepalang lapar terpaksa melanggengkan tindakan melawan hukum. Mencuri, misalnya. Fenomena itu kemudian banyak diwartakan media massa kala itu. Bencana kelaparan membuat salah satu keluarga bumiputra terpaksa mencuri.

“Malaise hebat yang mengamuk di mana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan penduduk Desa Trogong Kebajuran. Penduduk disitu rata-rata sudah tidak bisa dapatkan uang dan banyak yang kelaparan karena tidak punya duit buat beli makanan. Salah satu orang nama Pungut duga mengalami itu kesukaran yang hebat. Ia ada punya bini dan dua anak, sedang penghasilan sama sekali telah habis berhubungan dengan zaman susah. Sementara itu ia tidak punya beras dan makanan sudah abis.”

“Apa boleh buat, saking tidak bisa tahan sengsara karena sudah dua hari tidak punya beras, pada satu malam ia bongkar kandang ayam dari tetangganya yang bernama Djaja dan dari ia ambil dua ekor ayam. Itu binatang kemudian ia djual di pasar dan dari itu uang ia beli beras 15 sen. Belakangan Pungut ditangkap dan dibui. Pada tanggal 25 Maret 1933 ia mesti menghadap pada landraad di Meester Cornelis (Jatinegara) dan Pungut aku saja betul telah mencuri dua ekor ayam. Sebab, sudah dua hari ia tidak makan. Landraad anggap ia terang bersalah ambil ayamnya orang lain dan Pungut dihukum sembilan bulan,” tertulis dalam laporan Surat Kabar Sin Po, 27 Maret 1933, sebagaimana dikutip Soekarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 (2016).