Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 89 tahun yang lalu, 1 Agustus 1934, pejuang kemerdekaan, Abdurrahman (A.R) Baswedan mengajak seluruh keturunan Arab mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Keinginan itu diutarakan kakek dari Anies Baswedan (mantan Gubernur DKI Jakarta) dalam tulisannya di Surat Kabar Matahari.

Sebelumnya, kedekatan kaum bumiputra dengan orang Arab tak melulu urusan niaga semata. Keduanya akrab dalam banyak hal. Dari hal agama hingga bahasa. Kedekatan itulah yang membuat orang Arab mudah diterima bak saudara sendiri oleh kaum bumiputra.

Kehadiran orang Arab ke Nusantara sudah di mulai sejak dulu kala. Alih hanya hanya berdagang, orang Arab –kebanyakan dari Yaman Hejaz— juga menyebarkan agama Islam. Kaum bumiputra pun banyak yang cocok dan pindah dari kepercayaan nenek moyang ke Islam.

Kondisi itu membuat orang Arab cepat berbaur dengan kaum bumiputra. Bahkan, di masa penjajahan Belanda. Mereka menjelma sebagai imigran terpenting kedua setelah orang China. Kehadiran orang Arab dianggap Belanda membawakan banyak keuntunga

Ekonomi di banyak wilayah Nusantara mampu digerakkan oleh orang Arab. Pun pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, orang Arab menempati strata sosial nomor dua. Orang Arab berada di bawah orang Eropa dan di atas kaum bumiputra.

A.R. Baswedan (yang paling kanan) mengenakan pakaian bak orang Jawa. (Wikimedia Commons) 

Kebijakan itu membuat kedudukan orang Arab istimewa. Kehidupan mereka terjamin, dibanding harus pulang dengan nasib tak menentu. Mereka kemudian banyak memperistri kaum bumiputra. Alhasil, keturunan Arab muncul di mana-mana.

Mereka mudah diterima di mana-mana. Anggapan bahwa setiap orang Arab memiliki ilmu agama yang tinggi jadi salah satu musabab. Alasan itu membuat orang Arab di Nusantara begitu dihormati. Jumlah mereka pun makin hari makin bertambah di Nusantara.

“Awalnya, sebagian besar imigran itu, yang hampir semuanya laki-laki, tidak berencana menetap di Nusantara. Mereka ingin mendapatkan uang dengan cepat untuk membantu kerabat yang miskin, atau ditabung untuk jaminan hari depan yang lebih baik. Sejumlah besar yang dikirim ke kampung halaman setiap tahun. Meskipun banyak yang pulang, kebanyakan imigran tetap tinggal di Nusantara.”

“Sebagian besar imigran muda ini menikah di lingkungan baru mereka, sehingga kepulangan mereka terhambat. Pada awal abad ke-19, kebanyakan dari mereka menikah dengan perempuan lokal, tetapi belakangan mereka menikah terutama dengan keturunan dari pasangan suami-istri campuran, muwallad atau peranakan Arab,” terang Huub de Jonge dalam buku Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia 1900-1950 (2019).

Belakangan orang Arab bak tiada beda dengan kaum bumiputra. Cara pandang mereka dan berpakaian mulai banyak mengikuti kaum bumiputra. Pun pada satu titik orang Arab ikut merasakan menjadi kaum terjajahan seperti kaum bumiputra.

Abdurrahman Baswedan, tokoh pejuang Kemerdekaan Indonesia keturunan Arab. (Wikimedia Commons)

Perasaan itu membuat pejuang kemerdekaan A.R. Baswedan angkat bicara. Keturunan Arab Surabaya itu menulis sebuah tulisan revolusioner berjudul Peranakan Arab dan Totoknya. Tulisan Baswedan lalu diterbitkan dalam Surat Kabar Matahari 1 Agustus 1934.

Isinya tak lain mengajak keturunan Arab lainnya untuk mengakui Indonesia sebagai tanah air. Baswedan meminta keturunan Arab harus berani menganut ius soli, yang berarti di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Tulisan itu kemudian mendapatkan dukungan luas. Sekalipun beberapa di antaranya tak setuju dengan pendapat Baswedan. Ke depan, Baswedan lalu mengajak keturunan Arab untuk mendukung supaya Indonesia lepas dari belenggu penjajahan.

“Saya berpakaian Jawa. Saya keluar ke halaman rumah sahabat saya untuk menunggu selesainya kamera diatur. Sungguh aneh sekali perasaan saya tatkala itu, waktu saya melihat diri saya sendiri dengan baju lurik ikat kepala dan kain panjang yang saya pakai.”

“Karena hati saya masih penuh dengan perasaan-perasaan yang ditimbulkan oleh pergaulan saya sehari-hari dalam rumah Tuan Soeljo Adikoesoemo seperti saudara biasa makan bersama dengan cara kebiasaannya seperti seorang Indonesia Jawa, maka dengan berpakaian begitu, saya lantas punya perasaan semakin condong ke pihak ibu daripada bapak. Saya lantas tidak ingat lagi, melainkan seorang Indonesia Jawa tulen,” terang A.R. Baswedan dalam tulisannya sebagaimana dikutip Lukman Hakiem dan Hadi Nur Ramadhan dalam buku A.R. Baswedan: Saya Muslim, Saya Nasionalis (2021).