JAKARTA – Sejarah hari ini, 88 tahun yang lalu, 13 September 1934, Perkumpulan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda berdiri. Kehadirannya jadi jawaban akan tingginya minat rakyat Hindia Belanda menonton film di bioskop. Organisasi itu sengaja dibuat untuk memperjuangkan hak-hak pemilik bioskop.
Apalagi mengurus perihal sensor film yang berlebihan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Eksistensinya mengagumkan. Sebab, makin hari, kehadiran bioskop sebagai sarana hiburan baru semakin menjamur di penjuru negeri.
Film dapat membawa penonton berimajinasi ke kehidupan lain dan melupakan sejenak kehidupan sehari-hari. Itulah daya tarik utama dari kehadiran film pertama kali di Hindia-Belanda. Gambar Idoep, begitulah orang-orang menyebut film sejak muncul di era 1900-an.
Kala itu, semua mata tertuju kepada bioskop. Namun, mereka yang dapat mengakses bioskop hanya kalangan orang Belanda saja. Peraturan pun diubah, meski tetap rasis. Empunya kuasa membolehkan kaum bumiputra menonton, tapi pada kelas yang berbeda. Orang Eropa kelas utama, sedang kaum bumiputra menempati kelas kambing.
Perlahan-lahan, rasisme itu dapat dikalahkan dengan senjata yang bernama duit. Barang siapa yang membayar, mereka dapat mengakses film-film yang diputar di dalam bioskop. Karenanya, hiburan menonton film jadi digandrungi oleh segenap penduduk di Hindia-Belanda. Dari Batavia hingga Surabaya.
Saban hari film-film diputar, tiket yang disiapkan selalu ludes terjual. Bahkan, hiburan-hiburan lain, apalagi hiburan tradisional jadi kalah tenar dengan film. Kesempatan itu banyak digunakan oleh para pengusaha, banting setir menjadi pengusaha bioskop.
“Tingginya minat menonton itu diperkuat dengan adanya usaha dari importer film dan pemilik bioskop bagi pemutaran film bersambung. Misalnya, film Een Strijd om Milloenen (12 episode), Daniel Bode (13 episode), The Phantom Fortune (24 episode) dan lainnya. Dengan adanya film cerita bersambung ini, maka penonton diharapkan akan mau menonton sebuah judul cerita film hingga ceritanya tuntas pada episode terakhir.”
“Untuk menunjang perkembangan film ini, maka di Batavia dan Surabaya berdirilah beberapa gedung bioskop. Misalnya, di Batavia berdiri Rialto Senen dan tanah Abang, Kramat Theater, Orion Glodok, dan Thalia Mangga Besar,” ungkap M. Sarief Arief dalam buku Politik Film di Hindia-Belanda (2009).
Perkembangan industri film tiada dua. Alias cukup pesat. Bioskop-bioskop yang ada kemudian membentuk organisasi Nederlandsch Indische Bioscoop-bond (Persatuan Pengusaha Bioskop Hindia-Belanda) pada 13 September 1934.
Kehadirannya makin membantu tumbuhnya pengusaha bioskop di Hindia-Belanda. Pun organisasi itu dapat menjadi corong perjuangan pengusaha bioskop melanggengkan protes ketika ada film yang disensor secara berlebihan oleh pemerintah kolonial.
“Di tahun itu, orang Eropa yang bertahan (usaha bioksop) adalah Buse, seorang warga Belanda di Bandung, hingga 1950-an. Al-Hamra Malang dan Jakarta milik Hasan Soerkati dari Arab. Tapi, tentu saja, etnis Cina yang mendominasi. Hal ini terlihat saat Nederlandsch Indische Bioscoop-bond (Perkumpulan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda) didirikan pada 13 September 1934.”
“Ketuanya adalah Holthaus (pemilik bioskop Central Bogor). Tetapi, pengurus lainnya orang Cina, yaitu pemilik bioskop Central di M.R. Cornelis (Jatinegara), Globe di Pasar Baru, dan Cinema di Krekot,” terang Ekky Imanjaya dalam buku A to Z about Indonesian Film (2006).
Pendirian Perkumpulan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda pada 13 September 1934, menjadi catatan sejarah hari ini di Indonesia.