Bagikan:

JAKARTA - Keinginan maskapai dagang Belanda VOC merebut Jayakarta tiada dua. Ada sosok Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen di baliknya. Ia ingin Jayakarta jadi negeri koloni penting. Sebuah negeri yang menjadi pusat kegiatan VOC di Nusantara.

Siasat merangkul memukul dimainkan. Penguasa Jayakarta diajak kerja sama sampai akhirnya dikhianati. Ajian itu berhasil. Orang Belanda senang bukan main. Mereka membangun kota baru. Batavia namanya. Namun, Coen menolak keras nama Batavia.

Pelabuhan Sunda Kelapa acap kali jadi pelabuhan penting dalam perdagangan rempah Nusantara. Kapal-kapal Belanda kerap bertemu mengisi ulang muatan di pelabuhan di bawah kekuasaan Jayakarta. Bahkan, Jayakarta dianggap VOC sebagai lokasi yang tepat untuk melanggengkan narasi kolonialisme.

Politik merangkul dilanggengkan. Kerja sama dengan penguasa Jayakarta, Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta) diinisiasi. Perjanjian kerja sama itu melahirkan sebuah izin yang memberikan sebidang tanah dan kewenangan kepada orang-orang Belanda untuk membangun tempat tinggal.

Lukisan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen Karya Jacques Waben. (Wikimedia Commons)

Politik merangkul itu berjalan lancar. VOC memanfaatkan benar sebidang tanah yang diberikan. Alih-alih hanya membangun sebuah rumah batu, VOC turut pula membangun gudang-gudang rempah hingga dinding pertahanan bak sebuah benteng. Nyatanya, pembangunan itu jadi sebuah strategi pertahanan.

Apalagi VOC pun melengkapi ‘bentengnya’ dengan beberapa meriam. Bahkan, beberapa kali meriam diuji coba dekat kediaman Pangeran Jayakarta. Empunya kuasa berang. Sanksi pun diberikan. Namun, Belanda tak henti-hentinya membuat onar.

Semenjak itu, keinginan untuk menguasai Jayakarta secara penuh pun muncul. Coen jadi Gubernur Jenderal VOC (1619-1623 dan 1627-1629) yang berani mewujudkan hal itu pada 1619.

Gambaran Batavia tempo dulu karya seniman Belanda, Johannes Rach. (Wikimedia Commons)

“Pada bulan Desember 1618 ketegangan memuncak. Tentara Jayawikarta mengepung kubu Belanda, yang pada waktu itu mencangkup dua gudang kokoh dari batu, yakni Nassau (1610), dan Mauritius (1617). Armada Inggris, yang terdiri dari 15 kapal, tiba di bawah pimpinan Sir Thomas Dale. Dialah bekas Gubernur Koloni Virginia, yang sekarang membentuk Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat. Laksamana Inggris itu sudah tua renta dan bertindak kurang tegas.”

“Usai pertempuran di Laut Jawa, Gubernur Jenderal VOC yang baru diangkat 1618, Jan Pieterszoon Coen, menyingkir ke Kepulauan Maluku untuk menghimpun dukungan. Dia seorang akuntan lihai dan politikus cerdas yang berpandangan jauh ke depan, tetapi berlaku kejam untuk memaksa pihak lawan tunduk pada kemauannya. Dan yang terpikir dalam benaknya hanyalah keuntungan bagi kongsi dagangnya,” ungkap sejarawan Adolf Heuken dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016).

Coen Usulkan Nieuw Hoorn

Ketegangan pun memuncak. Perebutan Jayakarta nyatanya mengundang banyak kekuatan lainnya. Peperangan yang awalnya hanya melibatkan Jayakarta dan VOC, kemudian mulai melibatkan Banten dan Inggris.

VOC mendapatkan serangan yang serius. Bahkan, VOC terdesak. Namun, Coen bersiasat. Ia diam-diam berlayar ke Maluku untuk mencari bantuan pasukan. Siasat itu berhasil. Coen datang dengan bala bantuan penuh.

Coen pun menaklukkan Jayakarta. Seisi kota itu dibakar habis oleh Coen. Dari keraton hingga masjid. Di atas puing-puing itu, Coen ingin membangun sebuah kota baru. Namun, niatan itu sempat membuatnya kecewa.

Gambaran Batavia masa awal dengan benteng yang dibangun maskapai dagang Belanda, VOC. (Wikimedia Commons)

Semua karena Coen telah melihat benteng tempat serdadu Belanda bertahan diberi nama Batavia. Sebuah nama yang mewakili suku nenek moyang orang Belanda: Batavier. Coen kesal bukan main. Sebab, penamaan itu kemudian paripurna sebagai nama kota: Batavia. Coen menolak penggunaan nama Batavia.

Penolakan itu bukan tanpa alasan. Kemenangan VOC atas Jayakarta adalah jasa besarnya. Ia ingin menamai kota baru dengan sebutan Nieuw Hoorn, serupa nama kota kelahirannya. Namun, usul Coen tak diindahkan oleh pemegang saham VOC, Heeren Zeventien (Dewan Tujuh belas). Karenanya, Jayakarta langgeng dikenal sebagai Batavia dalam waktu yang lama.

“Setelah mengambil keputusan berani ini, para perwira tiba-tiba menemukan bahwa benteng itu tidak punya nama. Pada pertemuan semua anggota garnisun pada 12 Maret 1619, benteng itu diberi nama Batavia seperti Belanda biasa disebut pada zaman kuno. Demikianlah, asal-usul kota Batavia jauh dari kejayaan. Pada Mei 1619 armada Coen kembali dari Maluku. Pada 28 Mei Sang Gubernur Jenderal memasuki benteng Batavia. Dua hari kemudian dia memimpin pasukannya, 1.000 orang, untuk menyerang.”

Gambaran Batavia pada tahun 1627 yang sudah direkayasa melalui teknologi komputer. (Westfries Museum/Rob Tuytel)

“Dengan hanya satu orang gugur, kota Jayakarta ditaklukkan, Jayakarta dibakar habis, dan diduduki VOC. Coen langsung memerintahkan pembangunan satu benteng baru yang lebih besar dan satu kota Belanda yang kecil, yang dibangun dalam beberapa tahun berikutnya mengikuti gaya di negeri leluhur, dengan kanal dan jembatan. Untuk waktu lama Coen menolak memberi nama Batavia pada diriannya, tapi pada 4 Maret 1621, para Direktur Kompeni menguatkan resolusi yang diambil oleh garnisun Batavia,” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).