Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 33 tahun yang lalu, 12 September 1989, Presiden Soeharto menutup kunjungan kenegaraannya ke Uni Soviet. Ia berada di Uni Soviet selama enam hari. Kunjungan itu sengaja dilakukan untuk membuka kembali hubungan persahabatan antara Jakarta-Moskow yang sempat terganggu.

Sebelumnya, Hubungan antara Indonesia dan Uni Soviet dikenal dekat pada era Presiden Soekarno. Uni Soviet banyak membantu Indonesia. Begitu pula sebaliknya. Namun, semua berubah ketika kekuasaan Soekarno berakhir.

Hubungan Indonesia-Uni Soviet pernah berada dalam taraf paling mesra dalam sejarah. Representasi kehangatan hubungan terlihat dari persahabat akrab Soekarno dan Nikita Khrushchev. Hubungan keduanya negara semakin hangat kala kedua negara saling berkunjung ke negara masing-masing.

Soekarno berkunjung ke Moskow pada 1956. Sekalipun Khrushchev masih tercatat sebagai petinggi Partai Komunis Uni Soviet. Semuanya karena Soekarno mengidolai sistem komunis. Setelahnya, Khrushchev membalas kunjungan itu ketika berstatus orang nomor satu Uni Soviet pada 1960.

Kedekatan ideologi adalah muaranya. Konsep marhaenisme Soekarno dianggap dekat dengan sistem komunis. Kedekatan keduanya berpengaruh besar bagi negara masing-masing. Kerja sama di segala lini dilanggengkan. Uni Soviet banyak membantu Indonesia. Begitu pula sebaliknya.

Mikhail Gorbachev, Presiden terakhir Uni Soviet yang meninggal pada 30 Agustus 2022 dalam usia 91 tahun. (The Times/Yousuf Karsh/Camera Press) 

Uni Soviet banyak pula menyokong Indonesia. Dari modal kapital hingga militer. Belanda sampai geleng-geleng melihat perkembangan militer Indonesia kala masih bersengketa memperebutkan Irian Barat. Di lain sisi, bantuan Uni Soviet buat banyak proyek mercusuar Bung Karno berjalan lancar. Pembangunan Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno, misalnya.

“Pada perjalanan panjangnya ke Uni Soviet dan RRC tahun 1956, Soekarno terkesima oleh sistem komunis. Ia meminjam gagasan-gagasan dari negara-negara itu dalam pembelaannya terhadap demokrasi terpimpin. Hanya melalui jalan itu, demikian kata Soekarno, dapat dicapai tujuan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Ia juga mengecam keras demokrasi di negara-negara barat dengan sistem lima puluh tambah satu. “

 “Hal itu cocok dengan tradisi gotong-royong, Jawa serta musyawarah. Dalam konsepsinya, Februari 1957, ia pun memperjuangkan gagasan perlu adanya kabinet gotong royong serta Dewan Nasional yang tersusun secara fungsional dari segala lapisan masyarakat Indonesia seperti petani, saudagar, mahasiswa, tenaga pengajar dan kaum wanita,” ungkap Bob Hering dalam buku Soekarno: Arsitek Bangsa (2012).

Nyatanya, hubungan ‘mesra’ Indonesia-Uni Soviet harus berakhir setelah Soekarno lengser pada 1966. Kehadiran Soeharto dan Orde Baru (Orba) jadi musabab. Soeharto lebih condong memilih kerja sama dengan negara barat. Amerika Serikat, utamanya.

Kedekatan itu membuat hubungan Indonesia-Uni Soviet renggang. Soeharto menyadari hal itu. Namun, tindakan pemulihan hubungan baru dilangsungkan pada 1989. Kala itu Soeharto melangsungkan kunjungan enam hari ke Uni Soviet, 7-12 September. Ia diterima dengan baik oleh pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev.

Pada hari terakhir kunjungan, 12 September 1989, Soeharto berharap hubungan kedua negara akan cepat terjalin akrab seperti sedia kala. Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Hubungan yang terjalin murni bisnis belaka. Bukan persahabatan.

“Ketika pemerintahan Presiden Soeharto menyadari keadaan ini, terobosan dicoba dilakukan. Pada 7-12 September 1989, Presiden Soeharto berkunjung ke Uni Soviet. Dalam kunjungan ini ditandatangani Komunike Mengenai Dasar-dasar Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama antara Indonesia dengan Uni Soviet.”

“Di lapangan, kerja sama yang telah disepakati tidak banyak membuahkan hasil. Kantor Berita Uni Soviet ‘Tass’ menggambarkan datarnya hubungan kedua negara ketika itu sebagai: business like,” terang Tomi Lebang dalam buku Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010).