Bagikan:

JAKARTA - Riwayat kelompok Taliban sebagai penguasa Afganistan berdiri akibat kekacauan politik ketika Soviet angkat kaki dari Afganistan pada 1989. Pun kelompok fundamentalis Islam ini besar berkat sokongan dana Amerika Serikat (AS). Kini pertempuran terjadi antara Taliban dan AS.

Di awal kemunculannya, kelompok yang dibesarkan oleh Mullah Mohammed Omar dianggap sebagai juru selamat. Realitanya, rezim Taliban atau Mujahidin sama saja, mereka fundamentalis, brutal, dan anti-perempuan.

Kemunculan Taliban sendiri erat kaitannya dengan peristiwa perang Afganistan 1979-1989. Perang ini sebenarnya berakar pada abad ke-19. Pemicu adalah karena Kerajaan Inggris dan Ketsaran Rusia mulai melihat Afganistan sebagai wilayah penting yang akan melanggengkan kekuasaan kedua negara.

Semenjak itu Afganistan menjelma jadi medan yang diistilahkan sebagai Great Game: sebuah persaingan antara Inggris dan Rusia untuk menguasai Asia Selatan hingga Teluk Persia. Great Game nyatanya bukan semata-mata hanya berada di tataran retorika dan diplomasi semata.

Perang dengan orang Afganistan dilancarkan. Inggris sampai berperang tiga kali untuk menancapkan pengaruhnya supaya pemerintah Afganistan tidak memihak Soviet. Sekalipun Inggris menang atas Afganistan, secara emosional Afganistan tetap condong ke Soviet.

Makin akrab lagi, kala Revolusi Bolshevik di Soviet pecah. Dalam pada itu, Afganistan menjadi negara pertama yang mengakui pemerintahan Lenin. Sebagai gantinya, Soviet menjadi pelindung utama Afganistan.

“Pada tahun 1977, kendati Moskow adalah pelindung utama Afghanistan, usaha Sardar Mohammed Daoud Khan (Presiden Afganistan) untuk mencari dukungan luar negeri lainnya menyebabkan memburuknya hubungan kedua negara. Hal itu dititikpuncaki oleh suatu perdebatan sengit antara Daoud dan Leonid Brezhney di Kremlin,” tulis Nino Oktorino dalam buku Afganistan 1979-1989: Tentara Komunis Soviet VS Mujahidin (2020).

Ketidaksamaan visi itu membuat Soviet berang ingin mengusai Afganistan seluruhnya. Puncaknya Soviet mengirimkan pasukan tentara ke-40 yang mereka gunakan di Perang Dunia II untuk menginvasi Afganistan pada 1979.

Setelahnya, Soviet mendirikan pemerintahan boneka di Afganistan yang berhaluan komunis. Hingga kemudian muncul perlawanan dari berbagai kelompok Muslim yang menyebut diri mereka pasukan Mujahidin alias orang-orang yang berjihad.

Narasi jihad itu membuat perlawanan para mujahid semakin kuat. Sebab, persoalan perang ini tak cuma dianggap sebagai perebutan wilayah semata, tetapi lebih personal. Perlawanan antara kelompok beragam Islam melawan kelompok ateis.

Karena itu banyak di antara gerilyawan Mujahidin berasal dari ribuan sukarelawan seluruh penjuru dunia. Berkat dukungan sokongan dana dan senjata dari AS, kelompok ini kemudian memaksa Uni Soviet menarik mundur pasukannya pada 1989.

“Pada 1989, Uni Soviet menarik pasukannya dari Afganistan menyusul kekalahannya dari pasukan Mujahidin. Mujahidin yang tidak bersedia menantangani perjanjian damai berkaitan dengan penarikan pasukan Uni Soviet tetap berperang melawan pasukan pemerintah. Mujahidin memperoleh persenjataan dari AS dengan perantaraan Pakistan.”

“Mereka menolak tawaran Najibullah, presiden terakhir pemerintahan Afganistan dukungan Uni Soviet, untuk berdamai dan berbagi kekuasaan serta menolak ikut serta dalam pemerintahan mana pun yang menyertakan orang komunis,” ujar Anton Kurnia dalam buku Dari Penjara Taliban Menuju Iman (2007).

Munculnya Taliban

Tentara Taliban (Sumber: Commons Wikimedia)

Hengkangnya Uni Soviet tak lantas membawa kedamaian di tanah Afghanistan. Perang Saudara terus berlanjut. Yang terbesar adalah perang saudara antara komandan Mujahidin pada tahun 1992.

Ibu Kota Afganistan, Kabul dihujani ratusan roket hampir setiap hari. Perang itu kemudian membuat Burhanuddin Rabbani dari etnis Tajik menjadi pejabat sementara presiden dari bulan Juli hingga Desember 1992. Ia kemudian diangkat sebagai presiden secara penuh pada Januari 1993.

Terpilihnya Burhanuddin Rabbani nyatanya menimbulkan kecemburuan. Kelompok Mujahidin dari etnis Pashtun merasa golongan mereka yang lebih cocok memegang amanat memimpin Afganistan.

Kelompok Mujahidin dari etnis Pashtun membentuk kelompok fundamentalis Islam bernama Taliban pada September 1994. Mereka didominasi oleh kelompok santri dari etnis Pashtun yang menginginkan pemulihan keamanan dan perdamaian berdasarkan syariat Islam sesungguhnya.

Taliban sendiri berasal dari bentuk jamak dari bahasa Arab thalib yang berarti penuntut atau pencari ilmu (anak laki-laki). Dalam bahasa Pashtun, thalib menjadi Taliban. Identitas baru etnis Pashtun sebagai Taliban memberikan kekuatan baru di Afganistan. Di mata rakyat kecil Taliban adalah juru selamat.

Rasa simpati itu terbentuk karena Taliban tak seperti Mujahidin yang sering kali menjarah, memperkosa, atau menculik mereka yang dianggap musuh. Simpati semakin berdatangan kala kelompok fundamentalis Islam itu menyelamatkan seorang anak dari penculikan salah satu kelompok Mujahidin.

Anak Afghanistan (Sumber: Commons Wikimedia)

Melansir Tempo.co, setelahnya kelompok Taliban berubah jadi gerakan yang berniat menghancurkan pemerintahan yang tak sesuai konsep ajaran Islam. Setelah mengusai Kabul, Taliban bergerak cepat hingga mereka menduduki pemerintahan pada September 1996.

Pada masa pemerintahan Taliban itulah Afganistan menjadi satu-satunya negara Islam yang menerapkan hukum-hukum Islam. Hukum Islam yang ia terapkan itu membuat Taliban banyak melarang hal-hal yang bertentangan dengan agama, terutama hal-hal yang menurut mereka minim manfaat, banyak mudaratnya.

Segala hal itu antara lain melarang alkohol, bioskop, musik, internet, televisi, hingga fotografi. Tak hanya itu. Taliban kemudian menjadi arsitek yang membangun Afganistan sebagai penjara kaum wanita. Tiap wanita di Afganistan dikekang. Mereka dilarang bersekolah hingga lapangan kerjanya dibatasi hingga Taliban lengser pada penghujung 2001.

“Ketentuan-ketentuan yang merendahkan dan membatasi wanita itu dipandang penting oleh Taliban untuk mencegah kejatuhan negerinya ke dalam jurang kejahatan dan pelanggaran, seperti yang terjadi di negeri-negeri Barat dengan emansipasi wanitanya. Tetapi, ketentuan-ketentuan itu pada faktanya telah menyengsarakan kaum wanita,” tutup Taufik Adnan Amal dalam buku Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (2004).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH DUNIA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya