JAKARTA - Bukan perkara mudah menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan. Ali Sadikin membuktikannya selama jadi Gubernur DKI Jakarta (1966-1977). Jakarta bobrok dengan anggaran terbatas jadi masalahnya. Ide liar melegalkan perjudian muncul. Solusi itu berhasil. Jakarta pun mempercantik diri. Ali tak saja mendapat puja-puji, tapi juga ditentang kaum alim ulama. Ali tak peduli. Semuanya demi memajukan Jakarta.
Di awal jabatan, Ali Sadikin mendapati kondisi Jakarta dalam keadaan bobrok. Padahal, Jakarta seharusnya jadi representasi Indonesia. Atau seperti yang diucapkan Bung Karno, Jakarta mercusuar perjuangan bangsa. Namun Ali Sadikin menemukan keadaan yang sebaliknya.
Jakarta penuh masalah. 60 persen penduduk Jakarta atau sekitar 3 juta orang tinggal di permukiman kumuh. Lebih parah lagi, 60 persen anak usia sekolah di Jakarta tidak bersekolah. Sementara pegawai pemerintah yang berjumlah 24.700 orang, rata-rata bergaji rendah.
Kondisi itu sangat menyita perhatian Ali Sadikin. Sebab anggaran DKI Jakarta hanya Rp66 Juta, yang kemudian dinaikkan jadi Rp266 juta. Anggaran segitu tak cukup untuk melakukan gebrakan-gebrakan besar. Apalagi sebagai bentuk upaya menyandingkan Jakarta seperti Ibu Kota negara-negera lain di dunia.
Meski begitu, Ali Sadikin tak menyerah. Ali kemudian mendapatkan ide liar terkait melegalkan perjudian untuk menambah anggaran mempercantik Jakarta. “Wewenang penyelenggaraan judi sesungguhnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, sudah ada ketentuannya. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ada itu, wewenang pengaturan perjudian berada di tangan perangkat daerah."
"Atas kewenangan tersebut pemerintah DKI Jakarta mengambil langkah-langkah kebijaksanaan baik bersifat preventif, maupun refresif terhadap perjudian. Dalam upaya melokalisir penyelenggaraan judi pemerintah DKI Jakarta memanfaatkan hasil pajak judi sebagai salah satu sumber keuangan daerah,” ungkap Ali Sadikin dalam bukunya Gita Jaya (1977).
Celah peraturan yang dimaksud Ali Sadikin itu adalah seperangkat peraturan sejak zaman Belanda yang masih berlaku di Pemerintah DKI Jakarta. Kepala Biro II Dinas Kehumasan dan Keprotokolan Pemda DKI Jakarta, Wardiman Djojonegoro jadi orang pertama yang memperlihatkan peraturan tersebut kepada Ali Sadikin.
Peraturan itu antara lain Statsblad tahun 1912 Nomor 230 dan Statsblad tahun 1935 Nomor 526 yang mengizinkan Pemda menarik pajak dari perjudian. Oleh karena legal dan bisa, kebetulan Ali Sadikin figur yang tak bisa disetir, Perjudian coba dilegalkan.
Alhasil, Ali Sadikin bergerak cepat dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang melarang perjudian gelap pada 26 Juli 1967 di wilayah DKI Jakarta. Dua bulan kemudian, Ali Sadikin meresmikan kasino pertama di kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat.
“Bang Ali mendapat ide. Adakan (judi) lotto/hwa-hwe untuk menyekolahkan anak-anak terlantar. Tingkatkan berbagai pajak, seperti pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Pungut pajak judi setelah disahkan tempat perjudian, khusus buat Tionghoa,” cerita Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009).
“Dengan dana yang diperoleh, galakkan gerakan penghijauan Jakarta. Juga adakan lokasi tersendiri bagi pelacur atau WTS (Wanita Tuna Susila) di Kramat Tunggak. Lantaran semua itu, Bang Ali dikasih cap sebagai ‘Gubernur Maksiat’ dan Nyonya Nani Ali Sadikin disbeut Madame Hwa-Hwe. Namun, Bang Ali maju terus tak gentar, berbakti kepada nusa dan bangsa,” tambahnya.
Ditentang alim ulama
Prestasi Ali Sadikin melegalkan judi tak saja mendatangkan puja-puji akan sosoknya. Tapi, juga mendapatkan kecaman dari alim ulama. Mau tak mau, Ali Sadikin kebagian cap Gubernur Maksiat. Salah satu ulama yang keras menentang kebijakan Ali Sadikin adalah Abdullah Syafi’ie dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurutnya pemerintah DKI Jakarta telah secara sadar melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
“Abdullah Syafi'ie dan MUI melihat kebijakan itu sangat bertentangan dengan ajaran agama. Perbuatan judi itu sendiri di dalam agama Islam sebagai perbuatan dosa, karenanya hasil yang diperoleh melalui perjudian otomatis bersifat haram untuk dimakan dan dikonsumsi,” tulis Hasbi Indra dalam buku Pendidikan Pesantren dan Perkembangan Sosial-Kemasyarakatan (2018).
Meski begitu, Ali Sadikin dengan sadar mengakui judi itu haram. Agama apapun mengatakan begitu. Karenanya, perjudian diatur Ali hanya untuk kalangan tertentu saja (orang China). Yang mana, suatu kalangan tersbeut sering kali menjadikan way of life-nya tidak bisa hidup tanpa judi. Dibanding mereka pergi ke Makau dan menghabiskan uang berjudi. Ada baiknya, uang tersebut untuk pembangunan di Jakarta saja, lewat pajak judi tentunya.
Ali Sadikin pun melarang penduduk lain, selain orang China untuk berjudi. Tapi tak ditindak. Ali Sadikin berkelakar jika sewaktu-waktu ada umat Islam yang berjudi. Maka jelas bukan lagi salah Gubernur DKI Jakarta. Satu-satunya yang patut disalahkan adalah Keislaman orang tersebut yang bobrok. Pun, Ali Sadikin tak ambil pusing ketika banyak ulama yang menentang kebijakannya. Ali Sadikin hanya berkelakar jika semua alim ulama yang menentang diminta untuk beli helikopter saja. Soalnya, semuanya jalanan di Jakarta berasal dari duit maksiat.
“Saya ingin bersikap realistis dan tidak munafik. Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), saya melegalkan judi karena pemda tak punya aniggaran cukup. Padahal saat itu butuh banyak uang untuk membangun sekolah, puskesmas, dan jalan. Alim ulama semua meributkan, tapi saya bilang ke mereka, kalau mengharamkan judi, mereka harus punya helikopter. Soalnya, jalan-jalan saya bangun dari uang judi. Jadi, jalan di Jakarta juga haram,” tegas Ali Sadikin dikutip Setiyardi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Demi Judi, Saya Rela Masuk Neraka (2005).
Ali Sadikin bahkan rela masuk neraka gara-gara legalkan judi. Asal warga Jakarta terlayani dengan baik dan memiliki ragam fasilitas penunjang yang memadai. Pun semua itu karena pajak perjudian banyak manfaatnya. Berbekal pajak judi, Ali Sadikin dapat mempercantik Jakarta, membangun mimpi kota metropolitan. Ragam fasilitas lainnya juga dibangun dari uang pajak judi, antara lain Taman Impian Jaya Ancol, Monumen Nasional (Monas), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Fair, Proyek Senen dan menjalankan Proyek Perbaikan Kampung Mohammad Husni Thamrin (MTH).
“Yang patut diingat benar adalah, bahwa hasil judi itu saya masukkan ke dalam APBD, dalam kelompok penerimaan khusus. Dan para anggota DPRD bisa mengontrol ke mana hasil judi itu larinya. Hasil judi itu dipakai untuk kepentingan masyarakat Jakarta. Semua menikmatinya, karena pajak dari sana dipakai untuk pembiayaan pembangunan-pembangunan di bidang sarana, dan pelbagai macam bidang, sampai-sampai di bidang pembangunan mental dan kerohanian. Dan bukan untuk pembiayaan rutin.”
“Dengan uang itu pemerintah DKI bisa membangun gedung-gedung sekolah dasar yang pada waktu itu sangat dirasakan kurang, perbaikan dan pemeliharaan jalan, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas perkotaan, fasilitas kebudayaan dan lain-lain,” kata Ali Sadikin ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.