Bagikan:

JAKARTA - Bacharuddin Jusuf Habibie mengalami pengalaman naik haji kali pertama dengan istimewa. Oleh Pangeran Arab, Habibie dijamu bak sultan. Habibie tak pernah menginginkan eksklusivitas itu. Tapi ia kelewat istimewa.

Sejak kecil Habibie dididik menjadi muslim yang taat oleh kedua orang tuanya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Ketaatannya terlihat dalam kehidupan Habibie sehari-hari. Ibadah salat menurutnya mampu memberikan ketenangan dan membersihkan pikiran.

Lebih lagi, gerakan-gerakan salat menurut Habibie tak kalah bermanfaat bagi tubuh. Gerakan salat jadi sebentuk sarana latihan supaya aliran darah lancar dan otak menjadi segar untuk ia kembali melanjutkan rutinitas.

Manfaat dari segi spiritual dan kesehatan itu makin mengingatkan Habibie pada Yang Maha Kuasa. Habibie turut melengkapi ibadah salat dengan rutin membaca Alquran. Di balik itu, Habibie memuji Sang Istri, Hasri Ainun Besari.

“Kalau istri saya memang sehari dua kali baca Alquran. Dia memang entah beberapa kali khatam Alquran. Kalau saya, saya baca buku agama dari sudut tafsir, karena saya memang lebih tertarik pada isi, demikian pula istri saya. Jika saya tidak mengerti, sering istri saya yang jelaskan maksudnya,” cerita Habibie dalam buku The Power of Ideas (2018).

“Dulu waktu kecil di Pare Pare, saya beberapa kali juara lomba membaca Alquran dari kawan-kawan sebaya saya. Cuma waktu itu belum ada MTQ. Tetapi jika saya ditanya apakah saya baca mengenai skenario agama, atau pengelompokan agama di Indonesia, saya jawab tidak. Apakah dalam agama ada grup A, B, dan C, saya tidak tahu. Saya bukan konsumen untuk itu, dan saya tidak masuk grup A atau B. Sebab, spiritual adalah peralanan ke dalam diri perjalanan individual,” tambahnya.

Sejak usia tiga tahun Habibie sudah terbiasa membaca Alquran. Semua itu berkat sang ayah, Alwi Abdul Jalil Habibie yang sering mengajak Habibie mengaji bersama.

Kemampuan Habibie yang meningkat membuat sang ayah mencarikannya seorang guru ngaji yang tepat. Kemudian, Habibie berjumpa dengan guru bernama Hasan Alamudi yang dikenal juga sebagai Kapitan Arab.

“Ayah adalah seorang yang taat pada agamanya. Dan kami semua anak-anaknya, termasuk Rudy, ikut dengan anak-anak sebaya lainnya, belajar mengaji Kepada murid-murid, guru mengaji kami tidak menuntut bayaran apa-apa, sebagaimana lazimnya guru mengaji di kampung-kampung. Balas jasa yang kami berikan kepada guru hanyalah mencari kayu bakar dan mengisi tong-tong mandi dan air minum yang kami timba dari sumur,” tulis A. Makmur Makka dalam buku Inspirasi Habibie (2020).

Haji kelas satu

Sebelum menjalankan ibadah Haji pada 1984, setahun sebelumnya Habibie lebih dulu menjalankan ibadah umroh untuk kali pertama. Habibie kala itu masih menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Ia ingin menunaikan keinginan ibunya, Tuti Marini Puspowardojo.

Sang ibunda ingin Habibie segera melaksanakan ibadah umroh. Demi menunaikan amanat, Habibie langsung menelpon Duta Besar Indonesia di Jeddah, Achmad Tirtosudiro. Kepadanya, Habibie meminta Achmad mengatur jadwal keberangkatan untuk Habibie sekeluarga (Ainun, dua anak Habibie: Thareq dan Ilham) dan dua orang asistennya.

Perjalanan umroh tersebut demikian membekas bagi Habibie. Habibie bahagia dapat berkunjung ke Padang Arafah, Jabal Rahman, dan meninjau Mina untuk mendapatkan gambaran situasi Wukuf.

Bersamaan dengan itu, muncul niatan Habibie ingin melangsungkan ibadah haji. Akan tetapi, rencana berhaji itu baru akan dilaksanakan 10-12 tahun mendatang. Namun, manusia hanya berencana. Tuhan yang menentukan.

Habibie mendapatkan undangan langsung dari Pangeran Arab Sultan bin Abdul Aziz yang kebetulan pernah berkunjung ke Indonesia. Sultan bin Abdul Aziz begitu terpukau dengan kegeniusan Habibie yang mampu membangkitkan nyala api kedirgantaraan Indonesia.

Dalam pandangan Sultan bin Abdul Aziz, Habibie adalah cendekiawan muslim yang mampu mengharumkan Islam di mata dunia. Kekaguman itu membuat Habibie dihadiahkan paket naik haji eksklusif ke Tanah Suci.

“Menteri Negara Riset dan Teknologi, Bacharuddin Jusuf Habibie, memenuhi panggilan Nabi Ibrahim. ‘Saya terpanggil naik haji tahun ini. Ini sudah lama saya niatkan,’ ujarnya. Niat Habibie tak tanggung-tanggung. Di samping ia bersama istrinya, rombongan Habibie sekitar 12 orang. Jumlah sebesar itu meliputi kedua anaknya, ibunya ibu mertuanya, dan beberapa stafnya,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Menunaikan Ibadah Haji (1984).

Tak tanggung-tanggung. Habibie dijamu laksana seorang sultan (raja) –dari keberangkatan hingga kepulangan. Habibie disediakan penerbangan khusus. Pun masalah kekhawatiran Habibie akan cuaca panas juga langsung teratasi.

Habibie ke mana-mana selalu disiapkan air-conditioner (AC). Bahkan, semua yang diterima Habibie adalah fasilitas kelas satu semua. Sang Pangeran juga langsung ikut turun tangan menjamu Habibie yang tengah kelelahan.

Pangeran Arab memerintahkan pelayannya untuk mengambil obat dan segelas air untuk Habibie. Kendati demikian, Pangeran Arab mengambil sendiri obat dan segelas air untuk diberikan langsung kepada Habibie.

Tak hanya itu. Ketika pergi ke gurun Arafah, Habibie diiringi konvoi menggunakan AC. Habibie pun mendapatkan dua tenda khusus. Ia mendapatkan pelayanan yang istimewa dan dijaga oleh petugas keamanan 24 jam.

Lebih lagi, Habibie pun mendapatkan kesempatan menjalankan ibadah sholat langsung di belakang Imam Masjidil Haram. Kemewahan itu kemudian membuat Habibie bertanya kepada Pangeran Arab ihwal kebaikannya. Sang Pangeran hanya menjawab bahwa Habibie adalah tamu Allah.

"Habibie, Anda adalah tamu Allah. Tamu Allah yang menentukan Allah sendiri. Kami hanya keluarga Raja, hanya melaksanakan tugas. Bahwa Anda diterima dengan cara seperti itu, itulah tanda terima kasih kami kepada Anda yang telah memberi kehormatan kepada kami. Hanya itu yang bisa kami berikan kepada Anda,” tutur Pangeran Arab Sultan bin Abdul Aziz.

Sesampainya di Indonesia. Habibie merasa kapok dijamu dengan begitu mewah. Sebab, Habibie ingin merasakan pengalaman berhaji seperti orang-orang biasa.

Ketika mendapatkan kesempatan naik haji kali kedua, Habibie kemudian berpesan kepada stafnya untuk tidak memberitahukan rencana Habibie ke tanah suci kepada siapapun.

Akan tetapi, seperti yang diutarakan diawal, manusia hanya bisa berencana, tuhan yang bertindak kembali terjadi. Habibie tetap dijamu laksana seorang sultan.

“Setelah semuanya dipersiapkan, lalu stafnya minta visa ke kedutaan Saudi Arabia. Belum sampai 24 jam Habibie mendapatkan telegram raja. Isinya: Yang Mulia, Anda menjadi tamu kami. Habibie terkejut. Akan tetapi, akhirnya ia naik lagi pesawat seperti sebelumnya tanpa mengeluarkan biaya se-sen pun,” tutup A. Makmur Makka dalam buku lainnya The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan (2008).

*Baca Informasi lain soal HAJI atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya