<i>Sex, Drugs, Rock n Roll:</i> Era Narkoba Figur Publik Nusantara
Ilustrasi foto band psychedelic rock, Jefferson Airplane tampil di KFRC Fantasy Fair and Magic Mountain Music Festival di California (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Tahun 1970-an jadi awal meluasnya budaya penggunaan narkoba di kalangan anak muda, termasuk public figure Tanah Air. Merebaknya budaya narkoba ini tak lepas dari masuknya pengaruh budaya Barat yang merangsang semangat kebebasan dan perlawanan di kalangan generasi muda.

Era modern yang bermula tahun 70'an itu mengangkat sejumlah jenis narkoba seperti heroin, LSD, morfin, serta tanaman ganja. Zaman ini berlangsung setelah era candu. Narasi perlawanan anak-anak muda itu juga identik dengan musik keras, serta seks bebas.

Di sinilah sebuah kultur baru merebak: sex drug and rock n roll. Derasnya pengaruh budaya Barat di Indonesia itu jadi dilematis. Ambil contoh musik pop-rock. Sisi baiknya, genre musik pop-rock kerap menumbuhkan dan menguji ideologi sosial dan politik dalam bentuk gerakan antikemapanan.

Gelora perjuangan untuk membela kaum-kaum lemah pun gamblang disuarakan lewat musik pada era ini. Di waktu yang sama musik ini juga menciptakan banyak generasi muda Indonesia yang gemar memberontak. Hasrat ingin bebas mereka tak pernah terpuaskan.

Alhasil, muncul sikap ‘curiosity’ atau rasa ingin tahu anak muda akan banyak hal. Mereka mencoba budaya konsumsi alkohol, seks bebas, dan narkoba. Rasa ingin tahu itu kemudian menjadi-jadi berkat keterlibatan pada figur publik, terutama musisi Barat dekade 1960-1970.

The Beatles (Sumber: Apple Corps Ltd)

“Secara sengaja atau tidak, kultur, alkohol dan narkoba itu berkaitan dengan proses kreatif dalam pembuatan album mereka. The Beatles memulainya sejak Tomorrow Never Knows dalam album 'Revolver' (1966), Rolling Stones mengabadikannya dalam Sister Morphine (1971), Led Zeppelin memuja- mujanya lewat Stairway to Heaven (1971),” ungkap Rudy Badil dalam buku Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main (2010).

“Dengan meminjam kultur alkohol dan narkoba, popularitas musik pop-rock berubah wujud menjadi lebih psikedelik dan progresif. Pengaruh buruk itu juga melanda Indonesia pada 1970-an. Jika pada awalnya generasi bunga muda di Indonesia cuma sekadar membentuk geng mendirikan stasiun radio, atau ngebut secara perlahan-lahan kultur alkohol, narkoba, dan free sex, juga merambat ke kehidupan mereka,” sambungnya.

Beberapa nama terkenal jadi penutan gaya hidup bebas pada masanya. Sebut saja Eric Clapton, Brian Wilson (The Beach Boys), Syd Barret (Pink Floyd), dan Keith Richards (Rolling Stones). Musik-musik mereka, terutama yang beraliran psikedelik turut melukiskan suasana ‘fly’ ala pecandu narkotika.

Tapi musik pop-rock yang tadinya cenderung berisi puja-puji perlawanan malah mengendur setelah para pemain dan pendengarnya hanyut dalam narkoba. Mereka jadi apatis. Pun pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan justru kerap memicu keonaran.

Jenderal Hoegeng turun tangan

Fenomena itu sempat diteropong oleh Kapolri kelima Jenderal Hoegeng Hoegeng Imam Santoso (1968-1971). Sebagai Kapolri Hoegeng turut memerangi peredaran narkoba di Indonesia. Dalam salah satu kasus, pernah ada anak menteri Orba yang terjaring operasi pemberantasan narkoba.

Hoegeng sadar, narkoba bukan persoalan enteng. The Singing General menganalisis kebudayaan Barat sebagai biang keladi. Di negera Barat, pecandu narkoba kerap dikaitkan dengan kaum hippies. Mereka hidup dalam subkultur yang menentang kemapanan.

Banyak koridor-koridor sosial yang dilanggar kaum yang hidup dalam slogan "love, peace, and freedom". Cara mereka hidup, termasuk dengan narkoba dengan cepat menulari anak muda Indonesia.

Operasi polisi Polda Metro Jaya tahun 1976 (Sumber: Commons Wikimedia)

“Suasana kehidupan anak-anak muda Indonesia di kota-kota besar dikenal berkiblat pada kebiasaan kaum hippies dan para penyanyi pop yang menjadi idola kaum remaja."

"Lalu dikaitkan pula dengan gejala kehidupan rumah tangga 'tante girang' dan 'cross mama' di kota-kota besar seperti Jakarta. Banyak anak-anak orang kaya yang mengalami broken home mencoba melarikan diri dari kepahitan hidup dengan jalan menjadi pencandu ganja, heroin, dan narkotika,” cerita Hoegeng dikutip Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

Sex, drugs, and rock n roll

Pengunjung Woodstock (Sumber: Wikimedia Commons)

Dalam perjalanannya, kebudayaan Barat itu perlahan mengambil hati anak muda Indonesia. Para figur publik juga termasuk dalam barisan ini. Mulanya, mereka meniru hanya sebatas tren. Namun, lama-kelamaan banyak yang terus-menerus mengabdikan hidup dalam narasi sex, drugs, and rock n roll.

Salah satu yang paling dikenal dengan gaya Kebarat-baratan adalah band rock legendaris, God Bless. Pada medio 1970, mengonsumsi narkoba adalah hal biasa biasa bagi publik figur. Pun bagi para rockstar. Bassis God Bless, Donny Fattah mengatakan kultur itu membuat bandnya justru berkembang pesat.

Dalam pandangannya, segala pengaruh Barat otomatis dianggap bagus. Soal narkoba, bagaimanapun kehadiran narkoba membantu proses kreatif bermusik. Ingat bagaimana Bob Dylan secara tak langsung merevolusi musik The Beatles lewat ganja yang ia tawarkan pada The Fab Four?

God Bless (Instagram/@godblessrocks)

Kala itu tahun 1964 Dylan membawakan marijuana untuk para personel The Beatles. Album "Rubber Soul" yang dirilis 1965 jadi hasil perjalanan psikedelik John, Paul, George, dan Ringo. Dikutip Ultimate Classic Rock, Lennon bahkan menyebut album itu sebagai "pot album" yang lebih dalam dan memesona.

Kembali ke God Bless di Tanah Air. Kesuksesan album pertama rilisan 1975 berjudul "God Bless" langsung melambungkan nama band. Bersamaan dengan itu, ganja dan groupies berseliweran. Perihal seks bebas jangan ditanya. Dan tak cuma God Bless band lokal yang identik dengan narkoba.

“Awal-awalnya kami terpengaruh tren dan aksi anak muda. Belakangan saya sadar, narkotika ini kok merusak inspirasi. Ide jadi butek, maunya asyik sendirian. Pelan-pelan kami mulai bersih. Saya mulai pakai pada 1967. Itu tahun paling kacau dalam hidup saya. Tapi alhamdulillah, saat kami sudah menikah, satu per satu, mulai berhenti sendiri. Saya menikah pada 1975. Setelah itu perlahan berhenti, karena ada rasa tanggung jawab sebagai suami dan bapak,” ungkap Donny Fattah dikutip Ninin P. Damayanti dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Seks, Drugs, dan Beceng (2011).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya