JAKARTA - Sarapan berita pagi ini membuat saya berpikir. Muatannya tak jelek. Tapi ada susunan kalimat yang terasa janggal, soal bagaimana pembuat berita menyandingkan kata "kritik" dengan kata "sekadar". "Sekadar kritik," begitu tertulis. Yang saya pahami, kritik tak pernah sekadar. Terutama buat Harry Roesli. Apalagi jika objek kritiknya penguasa. Artikel yang saya baca memuat pemberitaan itu, ketika Harry Roesli terancam pengadilan karena memelesetkan lagu Garuda Pancasila dalam kritiknya yang telanjang, jujur, dan orisinil.
Perkara Harry Roesli bermula ketika dirinya menghadiri peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-56 di kediaman mantan Presiden Abdurrahman Wahid di Ciganjur, Jakarta Selatan. Dalam acara itu Harry Roesli menyanyikan lagu Garuda Pancasila yang syairnya diubah:
***
Garuda pancasila
Aku lelah mendukungmu
Sejak proklamasi
Selalu berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa
Rakyat adil makmurnya kapan
Pribadi bangsaku
Tidak maju maju
Tidak maju maju
Tidak majuuuu majuuuu
***
Dikutip dari pemberitaan program televisi Liputan 6 yang tayang di SCTV, Agustus, 2011, Harry Roesli menyatakan siap diadili, bahkan dipenjara jika terbukti bersalah secara hukum. Hal itu diungkap Harry Roesly di kediamannya di Jalan Supratman, Bandung, Jawa Barat.
Harry Roesli tak diam merespons ancaman hukum baginya. Ia menggandeng Hendardi, yang kala itu menjabat Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia untuk memelajari kasus tersebut.
Selain itu, dikutip dari artikel berjudul Harry Roesli Kepeleset Pancasila di majalah Tempo edisi 26 Agustus 2001, Harry Roesli juga mengisi hari-harinya dengan menyebarkan permintaan maaf, termasuk mengirim surat pembaca ke banyak media massa. Harry Roesli mengaku terkejut juga karena lagu Garuda Pancasila versinya itu telah ia nyanyikan sejak 1977, dan tak pernah ada masalah hingga kali itu.
Harry Roesli juga menegaskan tak berniat melecehkan ataupun merusak lagu karangan Sudharnoto, apalagi menghina Pancasila sebagai lambang negara. Dari kacamata Harry Roesli, syair Garuda Pancasila versinya justru mempertanyakan penerapan nilai Pancasila oleh penyelenggara negara yang justru jauh dari amanat Pancasila itu sendiri.
Kritik yang tak sekadar
Musik Harry Roesli begitu penting. Tak hanya keren secara musikalitas. Kritik dalam musik Harry Roesli tak pernah "sekadar". Lirik lagu Harry Roesli seringkali menggugah semangat pemberontakan.
Lagu-lagunya di Orde Baru bahkan kerap dijegal penguasa. Mengerikan, memang, bagi setiap penguasa, ketika keresahan rakyat dikombinasikan dengan kemampuan berpikir dan mengkritisi. Harry Roesli menyadari itu. Penguasa pun tahu.
Garuda Pancasila bukan satu-satunya. Konsistensi Harry Roesli mengkritik membedakan dirinya --dengan musisi lain-- di dalam perspektif sosial. Dengar saja salah satu lagunya yang berjudul Malaria rilisan 1973.
Mendiang Denny Sakrie bahkan menyebut lagu itu sebagai metafora yang fasih menggambarkan kondisi bangsa Indonesia saat itu. Lagu itu dirilis Harry Roesli bersama bandnya, The Gang of Harry Roesli dalam album "Philosophy Gang". Lagu lainnya, Ciociocio Werkewer sama kerasnya.
Dalam lagu itu, Harry Roesli bernyanyi dengan iringan musik orkes. Lirik-liriknya menjuruskan sindiran ke banyak nama dalam lingkar kekuasaan. Sebut saja Akbar Tanjung hingga buronan paling terkenal, Eddy Tansil, pengusaha keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta pada 4 Mei 1996.
Anak Harry Roesli, Layala Khrisna Patria sempat menceritakan salah satu peristiwa dari panjangnya situasi penuh teror yang dijalani Harry Roesli sepanjang karier musiknya, di zaman Orde Baru, khususnya. Diceritakan, Harry Roesli sempat berkeliling manggung dengan selalu menggunakan tayangan video berisi kumpulan artikel-artikel tentang tragedi Trisakti sebagai latar dalam penampilannya.
BACA JUGA:
"Saat itu media besar memberitakan seakan-akan di video ketahuan siapa yang tembak. Sejak itu bapak diteror terus, setiap manggung jadinya dipakaikan anti peluru ... Takut banget pas itu, karena kami tahu niat bapak hanya mencurahkan kejadian itu tapi orang-orang menyikapinya sampai mau membunuh," kata Layala kepada CNN Indonesia, tahun lalu.
Jiwa pemberontakan Harry Roesli tumbuh sejak ia kecil. Harry Roesli adalah anak dari Roeshan Roesli, seorang Mayor Jenderal Purnawirawan TNI. Ibunya adalah Dokter bernama Edyana.
Meski hidup bergelimang kemewahan. Harry Roesli resah. Kecintaannya pada musik ditentang habis kedua orang tuanya. Namun, ia cukup beruntung karena tiga saudara kandungnya berdiri di sisinya. Ia pun akhirnya diberi izin bermain musik dengan syarat pendidikannya terus berjalan.
Keresahan itu yang dibawa Harry Roesli di sepanjang kehidupannya. Sensitivitas sang legenda tonil rock memang luar biasa. Musik Harry Roesli tak hanya cerdas, tapi juga menggugah, semangat abadi yang tak mungkin padam meski salah satu seniman terbaik Tanah Pasundan itu telah tiada. Sebagaimana pesan sebelum kematiannya, yakni pesan agar lampu di ruang kerjanya tak dipadamkan.