W.R. Supratman Menciptakan Lagu <i>Indonesia Raya</i> yang Kontroversial
W.R. Supratman (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Gesekan biola Wage Rudolf Supratman membelah ruangan di Gedung Indonesische Clubgebouw. Di Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 itulah pertama kali lagu Indonesia Raya dilagukan. Tanpa syair. Sejarah lagu Indonesia Raya hingga menjadi lagu kebangsaan resmi Indonesia diliputi perjalanan berat. Lagu ini jadi kontroversi di mata Belanda, bagai ancaman yang terus-menerus coba dimusnahkan pemerintah kolonial.

Suatu hari di medio 1920-an, W.R. Supratman menemukan sebuah artikel. Isinya adalah ajakan bagi para komponis Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Supratman pun mengarang sebuah lagu yang saat itu ia namai "Lagu Kebangsaan".

Lagu itu pertama kali diperdengarkan secara terbatas dalam Kongres Pemuda II. Supratman hadir kala itu. Ia bukan orang baru. Supratman adalah wartawan.

Supratman pertama kali kembali ke Pulau Jawa pada 1924, setelah bertahun-tahun ikut kakaknya yang tinggal di Makassar. Di Jawa, Supratman bekerja sebagai jurnalis di Bandung dan menyumbangkan artikel-artikelnya ke surat kabar Kaoem Modeda, Kaoem Kita, dan Sin Po.

Saat Kongres Pemuda I diselenggarakan 30 April-2 Mei 1926, Supratman ikut meliput sebagai wartawan koran Sin Po. Dari kehidupan-kehidupan itulah ketertarikan Supratman pada pergerakan tumbuh.

Supratman juga berkontribusi menciptakan banyak lagu perjuangan yang membangkitkan semangat. Ciptaan pertamanya adalah lagu berjudul Dari Barat Sampai ke Timur.

Kongres Pemuda II

Dalam Kongres Pemuda II, Supratman bertemu dengan Soegondo Djojopoespito, yang memintanya membawa lagu Indonesia Raya. Namun mengingat banyaknya represivitas pemerintah kolonial terhadap semangat-semangat memerdekakan --termasuk lewat penciptaan lagu, akhirnya lagu Indonesia Raya dilantunkan dalam nada biola, tanpa syair.

Meski begitu salinan naskah lagu telah disampaikan di awal acara kepada sebagian pemuda yang hadir di kongres. Lantunan biola Indonesia Raya hari itu disambut dengan gemuruh tepuk tangan para hadirin.

Tak butuh lama. Lagu Indonesia Raya menyebar ke segala penjuru. Laporan tentang lantunan lagu Indonesia Raya disampaikan oleh koran Sin Po. Mereka menerbitkan pamflet dengan syair lagu Indonesia Raya yang dijual 20 sen per lembar. Supratman mendapat royalti sebesar 350 gulden atas penerbitan pamflet tersebut.

Beberapa lembar pamflet yang disebar untuk memenuhi permintaan warga disita oleh dinas intelijen politik Hindia-Belanda. Pemerintah kolonial merasa terancam dengan gema lagu ini. Lagu Indonesia Raya dikhawatirkan memicu semangat kemerdekaan dan memicu pemberontakan.

Supratman turut diseret ke dalam interogasi. Pemerintah kolonial mempertanyakan penggunaan frasa "merdeka, merdeka" dalam lagu tersebut. Supratman menjawab, frasa itu merupakan ubahan yang dilakukan para pemuda lain. Supratman mengatakan lirik asli dari Lagu Indonesia Raya untuk bagian itu adalah: moelia, moelia.

Protes menyebar di banyak wilayah. Pemerintah Hindia-Belanda pun mengubah maklumat itu, dari larangan menjadi pembatasan. Akhirnya lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan dalam ruangan tertutup dan tanpa lirik "merdeka, merdeka."

Jadi lagu kebangsaan

Harapan membumikan kembali lagu Indonesia Raya datang ketika Jepang datang ke Indonesia dan memaksa Belanda hengkang. Meski tak mulus-mulus amat. Seperti Belanda, Jepang juga melarang lagu Indonesia Raya. Tak cuma itu. Jepang juga melarang pengibaran bendera merah putih.

Lalu pada 1944, saat posisi Jepang dalam Perang Dunia II makin terdesak, Jepang membuat sebuah perjanjian akan memerdekakan Indonesia. Ada syaratnya. Kala itu Jepang merasa membutuhkan pejuang Indonesia untuk bertahan.

Saat itu juga tokoh-tokoh kemerdekaan mendirikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan itu mereka juga membentuk Panitia Lagu Kebangsaan.

Kepanitiaan itu digawangi oleh sejumlah tokoh, mulai dari Soekarno, Ki Hajar Dewantara, Darmawijaya, Kusbini, K.H Mansyur, Mohammad Yamin, Sanusi Pane, Cornel Simanjuntak, hingga A. Subarjo dan Utoyo.

Anggota kepanitiaan itu mengubah sejumlah hal dan melakukan penyempurnaan dalam lagu Indonesia Raya. Penyempurnaan itu menghasilkan lirik baru yang kita kenal hingga sekarang.

Memang, saat diciptakan pada 1928, bahasa Indonesia belum berkembang sempurna, masih terpengaruh besar dengan bahasa Melayu. Hal itu menyebabkan kejanggalan dalam perbahasaan lagu.

Usai kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, lagu kebangsaan Indonesia akhirnya ditetapkan secara konstitusional sebagai lagu kebangsaan pada 18 Agustus 1945, berdasar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Lagu Indonesia pertama kali dinyanyikan bersama pada hari kemerdekaan, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Menteng, Jakarta.