Bagikan:

JAKARTA - Upaya ‘mempercantik’ Jakarta adalah hal mustahil. Apalagi mengubah citra Jakarta dari The Big Village ke metropolitan. Kondisi Indonesia yang baru merdeka jadi muaranya. Dana untuk mengembangkan Jakarta kecil jumlahnya – jika tak boleh dikatakan sedikit. Siapa pun gubernurnya diramalkan kelabakan. Namun, Ali Sadikin mendobrak mitos itu. Gebrakan demi gebrakan dilanggengkan. Membuka ruang berdirinya banyak hiburan malam, misalnya. Karenanya, Jakarta mampu menjelma lebih baik dan layak.

Een natie left niet van brood alleen (satu bangsa tidak cuma hidup dari roti). Peribahasa Belanda itu diungkap Bung Karno kala mengangkat Ali Sadikin sebagai orang nomor satu di Jakarta pada 1966. Pria yang akrab disapa Bang Ali “didongengkan” oleh Bung Karno bahwa bangsa besar tak melulu menghidupi rakyatnya dengan roti semata.

Perihal itu masyarakat bisa kenyang, lalu besoknya lapar lagi. Beda halnya mengubah wajah Jakarta. Perubahannya akan dikenang abadi. Demikian pula orang di baliknya. Bung karno menyebut inisiator gebrakan akan dikenang sepanjang masa. Setelahnya, Bung Karno dengan setulus hati meminta Bang Ali segera bekerja untuk mengubah wajah Jakarta.

Amanat Bung Karno dijadikan pegangan oleh Bang Ali dalam mengambil keputusan dan bertindak. Hari-hari pertamanya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dimaksimalkan untuk memetakan masalah ibu kota. Ia melanggengkan blusukan ke berbagai tempatdi Jakarta. Kadang kala, aktivitas itu dilakukan seorang diri.

Diskotek Tanamur di kawasan Tanah Abang, diskotek pertama di Jakarta buah dari kebijakan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta 1966-1977. (Instagram@pipotahir)

Ia pun mulai menyadari banyak wilayah di Jakarta yang terlihat kumuh. Jalanannya dipenuhi lubang dan berdebu. Ia kesal sekaligus geram. Utamanya saat khalayak umum menyebut Jakarta sebagai ibu kota yang paling sial di dunia.

Bang Ali mulai menggali masalah. Ia melihat anggaran yang diberikan untuk Jakarta terlampau kecil. Berkisar di angka Rp65 juta, sekalipun kemudian ditambah jadi Rp266 juta. Mau tak mau gebrakan baru dibutuhkan untuk menambah kas daerah. Melegalkan perjudian dan prostitusi, terutama. Nyatanya, siasat itu membawa hasil. Kas DKI Jakarta jadi terjaga. Bahkan, berkali-kali lipat dari jumlah semula.

“Tidak ada dana untuk membiayai pembangunan, tiada masalah. Ia tak segan-segan mengizinkan warga Tionghoa bermain judi secara terbuka, dan dari lotere dan siah-hwee mengambil dana untuk membiayai pembangunan sekolah dasar, puskesmas, dan lain-lain. Pada masa awal jabatannya Bang Ali mengingatkan orang kepada walikota di Amerika pada zaman Presiden Franklin Roosevelt, seperti Fiorello H. La Guardia, Wali Kota New York, 1934-1945, yang diberi julukan People’s Mayor atau Walikota Rakyat.”

“Seperti tokoh itu Bang Ali mengelola Jakarta dengan sukses. Karena dia pendengar yang baik, menyimak cermat apa kata orang. Ia menerapkan management by teamwork. Harus bekerja bersama-sama dengan tidak melupakan siapa yang komandan. Pada akhirnya yang bertanggung jawab adalah Bang Ali,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2008).

Hiburan Malam

Gebrakan yang dilakukan oleh Ali Sadikin untuk Jakarta bejibun. Bang Ali bak tak punya waktu untuk berpura-pura. Ia melanggengkan segala cara yang masuk akal untuk membangun Jakarta. Dalam periode itu, Bang Ali ikut memberikan restu untuk melanggengkan dominasi dunia hiburan malam di Jakarta.

Sederet restoran, kasino, klub malam, hingga panti pijat pun bermunculan. Beberapa di antara klub malam itu berada di bawah pembinaan langsung Direktorat Pariwisata DKI Jakarta. Night Club Tropicana, misalnya.

Usaha itu jadi kantong pendapatan Jakarta. Banyak orang pun merasakan manfaat. Antara lain pengusaha, pengunjung, dan pemerintah. Keuntungan itu membuat Bang Ali makin merestui segala macam usaha yang mendukung kesohornya dunia malam di DKI Jakarta.

Pengunjung di 108 Club yang dahulu bernama Illegals di kawasan Jl. Hayam Wuruk sebagai pusat hiburan malam di Jakarta saat ini. (jakarta100bars.com)

Semua itu karena pendapatan dari sektor hiburan malam tak main-main. Bang Ali dapat membangun banyak fasilitas umum karenanya. Ambil contoh di bidang pendidikan. Bang Ali dapat mendirikan 200 gedung sekolah. Bahkan, jumlah itu lebih banyak dibanding sekolah yang didirikan selama 20 tahun sebelumnya.

“Beberapa tindakan Ali Sadikin menggambarkan pendekatannya yang tidak konvensionil untuk mengatasi kekacauan di Jakarta. Dia mengesahkan judi dengan membebaskannya dari kekuasaan bandit-bandit dan mengenakannya pajak untuk mengongkosi perbaikan jalan, sekolah-sekolah dan fasilitas-fasilitas lainnya. Dia merangsang berdirinya klub-klub malam dan tempat pijit, sekalipun pemuka Islam melancarkan protes dan mengenakannya pajak.”

“Tiada yang lebih tepat menggambarkan keterusterangan Ali Sadikin daripada caranya menghadapi kecaman kaum Islam terhadap caranya memajak maksiat untuk menambah pendapatan kota. Tidak hanya sekali dia memberikan dana pada pemuka-pemuka Islam untuk mendirikan masjid dan mengatakan secara jujur, bahwa uang itu berasal dari pajak judi dan maksiat lainnya. Pemberian itu selalu diterima,” tulis buletin The Indonesian Letter sebagaimana dikutip buku Ali Sadikin: Menggusur dan Membangun (1977).