JAKARTA - Tiada yang istimewa terkait perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Jakarta di awal kemerdekaan. Hiburan yang dihadirkan terbatas – pesta cenderung hanya dirayakan kalangan pejabat dan kaum berduit.
Semuanya berubah kala Ali Sadikin memegang kendali Jakarta. Gubernur DKI Jakarta 1966-1977 itu menginginkan HUT Jakarta diselenggarakan meriah. Alih-alih hanya menghadirkan Pekan Raya Jakarta (PRJ) saja, Ali pun menghadirkan Malam Muda-Mudi. Suatu pesta yang dapat diakses semua kalangan.
Siapapun orang yang memimpin DKI Jakarta harus kebal dengan kritik. Ali pun pernah merasakannya. Dinamika kebijakan Ali yang memanfaatkan celah aturan sampai menarik pajak dari perjudian dan lokalisasi banjir kritik.
Kritik pun terus hadir kala Ali mulai mempercantik Jakarta. Ragam fasilitas hiburan banyak dibangun macam kasino, klub malam, dan mandi uap. Hiburan itu jelas tak diperuntukan rakyat kecil. Kritik berdatangan. Ali sempat dianggap pro kaum berduit.
Ali pun mencoba membuktikan bahwa ia adalah pemimpin Jakarta yang mampu berdiri di atas semua golongan. Pria yang akrab disapa Bang Ali itu paham benar keterbatasan rakyat kecil dalam mengakses hiburan.
Keinginan Ali Sadikin menghadirkan suatu hajatan besar untuk semua golongan muncul. Ia pun merencanakan kehadiran suatu acara yang dapat memunculkan kesan Jakarta punya pesta. Alias suatu hajatan yang dapat diakses oleh warga Jakarta, murah meriah, bila perlu gratis.
Ali mulanya kesusahan mencari bentuk pesta. Kondisi itu karena sejak tanggal 22 Juni ditetapkan era Gubernur Sudiro sebagai HUT Jakarta. Perayaannya biasa-biasa saja. Ali pun mencoba memutar ingatan ke era penjajahan Belanda.
Ali menenemukan konsep pasar malam meriah. Pasar Gambir, namanya. Konsep itu diadopsinya dan dikolaborasi dengan acara di luar negeri dan jadilah Djakarta Fair (kini: Pekan Raya Jakarta). Ali pun ketemu pula dengan gambaran puncak perayaan ulang tahun yang benar-benar meriah.
Ali mendapatkan gambaran itu dari pesta-pesta yang ada di Rio de Janeiro, Brasil. Konsep itu lalu memunculkan ide untuk membuat Karnaval Muda Mudi atau yang lebih dikenal sebagai Malam Muda-Mudi.
BACA JUGA:
“Masih mengalami tidak, Malam Muda-Mudi? Kan ramai, toh! Orang Jakarta bangga sebagai orang Jakarta. Kemarin HUT Jakarta, tidak terasa bahwa itu ulang tahun Jakarta. Saya sengaja putar-putar, tuh! Suasananya seperti malam biasa saja.”
“Kalau dulu, oh ramai sekali dan itu murah. Saya menghayati warga kota ini perlu hiburan, tetapi tak punya duit, tidak punya tempat. Nah, saya sering lihat di majalah-majalah, ada Rio de Janeiro, kenapa Jakarta tidak bisa? Tahun Baru dan HUT Jakarta, saya blok itu Jalan Thamrin, pasangi lampu-lampu, rakyat terhibur,” ungkap Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab (1995).
Malam Muda Mudi
Malam Muda-Mudi pertama digodok secara serius oleh pemerintah DKI Jakarta. Hajatan itu digadang-gadang sebagai puncak perayaan dari HUT Jakarta. Ambisi Ali menghadirkan satu pesta raksasa yang meriah di Jakarta tak terbendung.
Malam Muda-Mudi pertama pun akhirnya terlaksana sedari 1968. Suatu tahun yang sama dengan kelahiran Djakarta Fair. Malam Muda Mudi pun berlangsung dua hari, 21-22 Juni dan berlangsung di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Penyelenggaraan Malam Muda Mudi pun telah mendapatkan restu dari Kapolri era 1968-1971, Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Tokoh nasional itu memiliki keinginan yang sama dengan Ali supaya rakyat kecil dapat hiburan. Bahkan, Hoegeng pun ikut ke jalan untuk memastikan Malam Muda-Mudi berjalan lancar.
Jalan Thamrin pun dihiasi dengan pernak-pernik khas pesta besar. Panggung-panggung pun ditempatkannya hingga belasan. Acara itu lalu jadi pusat berkumpulnya warga Jakarta. Ratusan ribu warga Jakarta hadir di Jalan Thamrin.
Mereka mencoba merayakan sebuah hiburan gratis dan penuh suka cita. Bang Ali terharu dengan antusias warga Jakarta yang datang. Ia melihat banyak warga Jakarta yang datang bersama keluarga. Ada pula yang datang bersama pasangan.
Tak sedikit pula yang membawa tikar dan makanan dari rumah untuk menikmati kemeriahan Malam Muda-Mudi. Mereka ingin menyaksikan hiburan sekaligus kembang api. Ali bahkan meminta petugas keamanan untuk tak mengganggu muda-mudi yang dimabuk asmara.
Acara Malam Mudi pertama berjalan lancar. Mulanya banyak yang protes penggunaan Jalan Thamrin untuk pesta. Namun, Ali menganggap angin saja. Ia beranggapan sudah menjadi hak warga Jakarta untuk dibuatkan hajatan di kawasan stategis Ibu Kota Negara, Jalan Thamrin yang notabene diambil dari nama tokoh Betawi, M.H. Thamrin.
“Memang di tahun-tahun sebelum itu ada protes-protes yang menganjurkan agar penyelenggaraan acara malam gembira yang dipusatkan di Jalan Thamrin ditiadakan. Tapi saya berpendapat, biarlah rakyat yang tidak mampu dapat bergembira setahun sekali.”
“Jangan Jalan Thamrin hanya dinikmati oleh orang-orang kaya saja dengan mobil-mobilnya yang lewat di sana setiap hari. Saya rasa kami mesti memberikan kesempatan barang 10 jam setahun kepada rakyat untuk bisa menikmati juga,” cerita Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).