Bagikan:

JAKARTA - Soeharto dan Orde Baru pernah membawa kemajuan bagi Indonesia. Empunya kuasa mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Orba memanfaatkan benar kedekatannya dengan Blok Barat. Utang luar negeri pun mudah didapat.

Masalah muncul. Kebijakan menfaatkan utang luar negeri bukan langkah bijak. Izin 16 Bank Nasional dicabut pula. Rakyat Indonesia panik dan menarik seluruh simpannya ke bank. Kondisi itu membuat nilai tukar rupiah ke dolar AS tembus hingga Rp16 ribu. Suatu penanda runtuhnya Orba.

Soeharto pernah dianggap juru selamat Indonesia. Ia seraya pahlawan yang berjuang menjauhkan rakyat Indonesia dari krisis yang disebabkan di era Orde Lama. Ia pun mencoba melakukan perbaikan ekonomi. Soeharto mulai merapat ke blok barat.

Aksi itu membawa keuntungan melimpah buat Indonesia. Pemerintah Orba kebanjiran investasi asing. Pun dana-dana dari utang luar negeri diberikan kepada Indonesia dengan suka cita. Upaya menggunakan utang luar negeri untuk membangun memang bukan sebuah aib.

Grafik yang memperlihatkan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 1997-1998. (Wikimedia Commons)

Utang luar negeri bisa jadi siasat investasi dalam pembangunan nasional yang ampuh. Ekonomi Indonesia pun bertumbuh. Pembangunan di mana-mana dan hajat hidup rakyat Indonesia meningkat. Kehebatan itu sempat dituliskan oleh sejarah.

Kondisi itu ditunjang pula dengan hadirnya kelompok ekonom mempuni yang tergabung dalam Mafia Berkeley. Petaka pun muncul satu persatu. Kebijakan politik Soeharto dan orba mulai banyak penyelewengan. Korupsi tumbuh di mana-mana.

Uang negara yang harusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jadi untuk kemakmuran pejabat. Kondisi itu memengaruhi utang luar negeri yang awalnya sebagai pelengkap, justru jadi instrumen utama membangun Indonesia.

Utang itu kian membesar. Nilai tukar rupiah pun sempat melemah. Namun, bisa ditangani. Petaka muncul. Pemerintah Orba kaget dengan terjadinya krisis moneter yang terjadi di Thailand pada 1997. Belakangan Dana Moneter Internasional (IMF) coba campur tangan.

IMF memberikan Indonesia rekomendasi terhindar krisis. Rekomendasi itu antara lain mencabut 16 izin bank nasional. opsi itu nyatanya bawa petaka. Rakyat Indonesia jadi panik dan segera menarik uang mereka dari bank-bank yang ada.

“Kepanikan masyarakat ini juga berakibat pada merosotnya kepercayaan kepada rupiah, yang diikuti dengan meningkatnya kegiatan spekulasi di pasar valuta asing. Akibatnya, nilai tukar rupiah dari Rp2 ribu per dolar AS merosot tajam hingga Rp16 ribu per dolar AS pada 22 Januari 1998. Jatuhnya kurs rupiah terhadap dolar AS ini secara nominal telah menaikkan bebas kewajiban pembayaran pinjaman luar negeri (pemerintah maupun swasta) meningkat enam kali lipat.”

“Jenis usaha apapun pasti mengalami kebangkrutan menghadapi situasi ekonomi seperti ini, terutama bagi bagi para debitur yang kegiatan bisnisnya tak menghasilkan devisa . satu hal yang perlu dicatat dalam sejarah hitam kebijakan ekonomi Orba adalah kesalahan fatal rekomendasi IMF menutup 16 Bank Nasional yang bermasalah tersebut,” ungkap Mahmud Thoha dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru (2003).

Krisis Ekonomi

Anjloknya nilai tukar rupiah membuat rakyat Indonesia merana. Kehidupan jadi serba sulit. Semua sektor terkena dampaknya. Kondisi itu kian berat kala Indonesia bergantung pada sederet produk impor. Antara lain, pangan, buah-buahan, bahan bakar, mesin, sepeda, hingga komputer.

Produk itu memang ada di pasaran, tapi harganya sudah tak terjangkau. Puncaknya, banyak perusahaan-perusahaan terancam gulung tikar karena harga bahan baku meningkat. Fenomena itu membuat angka pengangguran meningkat tajam. Segenap rakyat Indonesia pun merana diterpa krisis ekonomi.

Pemerintah Indonesia bukannya tak bergerak. Semua usaha telah dicoba. Pemerintah mulanya percaya diri krisis ekonomi dapat dilalui. Namun, semua usaha mengarah ke kegagalan. Putri Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) pun mencoba turut tangan.

Anggota MPR RI itu mencoba menginisiasi Gerakan Cinta Rupiah. Gerakan itu dianggap sebagai ‘ikhtiar’ mengurangi dampak krisis dan membuat rupiah kembali menguat. Mbak Tutut lalu mencontohkan dengan menjual dolar AS miliknya dalam jumlah yang besar.

Tutut Soeharto usai dilantik menjadi Menteri Sosial Kabinet Pembangungan VIII oleh Presiden Soeharto di Istana Negara Jakarta, 14 Maret 1998. (tututsoeharto.id)

Tindakannya pun diikuti oleh pesohor negeri lainnya. Hasilnya lagi-lagi gagal. Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sudah tak dapat diganggu gugat. Pun rakyat Indonesia keburu marah dengan menggelorakan aksi turun ke jalan untuk menuntut Soeharto mundur dan berhasil pada Mei 1998.

“Yang paling menyolok dan unik ialah reaksi puteri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut yang melancarkan Gerakan Cinta Rupiah dengan menjual dolar yang dimilikinya. Harian Kompas memuat gambar Mbak Tutut ketika menjual 50 ribu dolar AS di Bank Bumi Daya Cabang Imam Bonjol, dengan kurs (beli) Rp6.450 beberapa waktu belakangan.”

“Upaya itu sebagai bukti kecintaannya pada rupiah dan kepedulian pada krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia. Pada waktu gerakan digulirkan, Mbak Tutut menukar uang kala kurs jual dolar mencapai Rp10.150 per dolar AS. Gerakan cinta rupiah itu dilanjutkan ketika atas prakarsa sejumlah wartawan, sejumlah pimpinan konglomerat, pejabat tinggi, eksekutif dunia usaha dan lain-lain, beramai-ramai menjual dolarnya,” terang Sanjoto Sastromihardjo dalam buku Reformasi dalam perspektif Sanjoto (1999).