Bagikan:

JAKARTA - Pandemi COVID-19 telah menggoyang perekonomian negara-negara dunia. 14 negara telah mengumumkan resesi, termasuk Amerika Serikat, Jerman, Prancis, hingga Thailand. Kini badai resesi juga mengancam Indonesia. Bukan pertama bagi Indonesia. Tahun 1998, resesi juga pernah membuat Indonesia terpuruk.

Thailand jadi salah satu negara di Asia Tenggara yang baru saja jatuh ke jurang resesi. Pertumbuhan ekonomi Thailand anjlok selama dua kuartal berturut-turut. Kompas.com menjelaskan penyumbang utama dari resesi Thailand berasal dari sepinya sektor perdagangan dan pariwisata.

Konsil Pengembangan Ekonomi dan Sosial Nasional mengumumkan, ekonomi Thailand kini mencatat minus 12,2 persen pada kuartal II 2020. Di kuartal sebelumnya, Thailand minus 1,8 persen.

"Kami khawatir dengan ekonomi (Thailand), khususnya serapan tenaga kerja, utang yang buruk, dan UKM. Belanja pemerintah masih menjadi kunci pendorong ekonomi tahun ini karena semua sektor pendorong masih lemah," kata Sekretaris Jenderal Konsil Pengembangan Ekonomi dan Sosial Nasional Thailand Thosaporn Sirisumphand.

Tak hanya Thailand. Kondisi anjloknya perekonomian hadir pula di Indonesia. Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menjelaskan, sejatinya Indonesia telah mengalami resesi jika mengacu proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun yang dikeluarkan pemerintah. Kita tinggal menunggu pengumuman resmi otoritas.

"Kalau kita ambil titik tengahnya itu kan minus. Pertumbuhan ekonomi kita minus 0,5 atau 0,4 persen. Artinya, di kuartal ketiga itu masih negatif. Kalau masih negatif, karena kita dua kuartal berturut-turut negatif, maka akan resesi. Dengan statement angka pertumbuhan tersebut dapat diartikan pemerintah sebenarnya sudah mengakui resesi akan terjadi, terutama di kuartal ketiga," katanya kepada VOI, Selasa, 18 Agustus.

Bangkitnya Orde Baru dari resesi 1960-an

Sebelumnya kita telah mengulas resesi pertama yang dialami Republik Indonesia lewat artikel "Belajar dari Resesi Pertama yang Dialami Republik Indonesia".  

Transisi Orde Lama ke Orde baru pada 1966 menyisakan banyak kisah. Perpindahan kekuasaan tak serta merta membuat kondisi Indonesia berjalan baik, sebab Orde Baru turut mewariskan sejumlah krisis. Dikutip Syaifruddin Jurdi dalam buku Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia (2016), krisis tersebut antara lain berbentuk krisis ekonomi dengan inflasi yang tinggi, cadangan devisa yang terkuras, defisit anggaran belanja pemerintah, serta konflik ideologi yang terkelompok dalam tiga kecenderungan: nasionalis, Islam, komunis.

“Warisan rezim sebelumnya adalah krisis yang berwajah ganda, yaitu krisis di bidang ekonomi dan bidang politik. Dalam soal ekonomi, terjadi kemerosotan dan stganansi. Pada 1966 laju inflasi mencapai 650 persen. Krisis di bidang ekonomi diperparah dengan krisis di bidang politik, terjadi ketidakstabilan karena pertentangan antarkelompok-kelompok politik dalam masyarakat,” tulis Syaifruddin.

Presiden Soeharto (Sumber: Commons Wikimedia)

Pemerintah Soeharto kemudian mengambil kebijakan berupa pembangunan ekonomi yang berorientasi keluar dan menciptakan sistem politik baru, yaitu sebuah sistem politik yang dapat mendukung pembangunan ekonomi. Soeharto mengumpulkan sejumlah sarjana ekonomi lulusan FE-UI dan USC Berkeley. Dalam sekejap “Mafia Berkeley” ini telah mendemonstrasikan rem inflasinya yang pakem. Kemudian, laju perekonomian Indonesia menanjak ke angka 8 persen setahun selama seperempat abad.

“Indonesia dianggap sebagai satu-satunya sukses negara "minyak" di dunia ke-3. Negara penghasil minyak lainnya di belahan dunia yang miskin tidak berhasil membangun ekonominya seperti Indonesia. Kemudian, Indonesia kebanjiran karisma "the smiling general.” Moral dongeng masa lalu ini adalah bahwa karisma bukan suatu pembawaan, melainkan sekadar hasil akhir dari serangkaian prestasi, dan bahwa seorang manajer krisis tidak perlu punya karisma,” ujar Nono Anwar Makarim dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Karisma dan Krisis (2000).

Resesi 1998 penanda tumbangnya Orde Baru

Sayang. Seperti kata pepatah, bahwa roda berputar. Begitu pula kejayaan ekonomi yang pernah didapatkan oleh Orde Baru, yang kemudian mulai jatuh ke jurang resesi paling parah sedari 1997-1998. Surat Kabar Harian Kompas, 21 Desember 1998 mengungkap resesi ekonomi yang terjadi 1998 telah dimulai sejak setahun sebelumnya.

Kala itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus selama enam bulan di tahun 1997 dan minus tersebut masih berlanjut hingga sembilan bulan pertama tahun 1998. Saking parahnya, pemerintah sampai harus meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober 1997. Meski diketahui belakangan bantuan tersebut tak cukup membantu Indonesia.

Kendati demikian, penyebab krisis disinyalir berawal dari krisis nilai tukar bath di Thailand 2 Juli 1997. Kelak, hal itu hingga 1998 dengan cepat menjadi pematik krisis ekonomi di Asia Tenggara. Imbasnya, nilai tukar rupiah ke dollar Amerika Serikat (AS) yang masih berada diangka Rp4.850 pada tahun 1997, berkembang menjadi sekitar Rp17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998.

Maka, dampak dari resesi begitu besar. sendi-sendi perekonomian di Indonesia luluh lantak, puluhan bank rontok, ribuan perusahaan ambruk, jutaan pekerja kehilangan sumber nafkah, sehingga Indonesia menjadi lunglai, bahkan nyaris bangkrut.

Kondisi itulah yang memaksa masyarakat terutama mahasiswa untuk turun ke jalan guna melakukan protes besar-besaran. Mereka menuntut pelengseran Presiden Soeharto karena bertanggung jawab atas resesi 1998 yang membuat rakyat Indonesia menderita. Akhirnya, Presiden Soeharto mundur pada tanggal 21 Mei 1998 dan BJ Habibie didaulat sebagai presiden yang baru.