Bagikan:

JAKARTA - Salah satu negara yang tak memberlakukan kebijakan lockdown, yakni Jepang, justru akhirnya masuk jurang resesi. Ekonomi negara tersebut minus 7,8 persen pada kuartal II 2020, setelah di kuartal sebelumnya juga tercatat minus 2,2 persen.

Sementara secara tahunan atau year on year (yoy), ekonomi Negeri Sakura pada kuartal II minus 27,8 persen. Kebijkan Jepang tak melakukan lockdown total dalam menangani pandemi COVID-19 pernah mendapat pujian dari pemerintah Indonesia.

Dan apakah Indonesia akan menyusul Jepang mengalami resesi di kuartal III? Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, jika mengacu pada proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun yang dikeluarkan pemerintah yakni minus 1,1 sampai 0,2 persen, dapat diartikan pemerintah telah mengaku resesi akan terjadi.

Sama seperti Jepang, Tauhid mengatakan, meskipun saat ini Indonesia tidak menerapkan kebijakan lockdown dan memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kemungkinan resesinya akan cukup berat.

"Kalau kita ambil titik tengahnya itu kan minus. Pertumbuhan ekonomi kita minus 0,5 atau 0,4 persen. Artinya di kuartal ketiga itu masih negatif. Kalau masih negatif, karena kita dua kuartal berturut-turut negatif, maka akan resesi. Dengan statement angka pertumbuhan tersebut dapat diartikan pemerintah sebenarnya sudah mengakui resesi akan terjadi terutama di kuartal ketiga," katanya, kepada VOI, di Jakarta, Selasa, 18 Agustus.

Menurut Tauhid, resesi yang dialami Jepang karena pemerintahnya tak memperhatian sektor kesehatan. Hal ini terbukti dengan tidak terlalu ketatnya penanganan kesehatan. Namun, dibanding Jepang, Indonesia lebih abai dalam penanganan kesehatan.

Lebih lanjut, Tauhid menjelaskan, penanganan kesehatan yang ketat terbukti membuat perekonomian China tumbuh positif. Artinya, penanganan kesehatan menjadi kunci pemulihan ekonomi.

"Jepang itu dari sisi kesehatannya agak longgar. Kita malah longgar banget. Kalau di China kan ketat banget, bahkan tentara ikut. China serius dibanding negara lain termasuk Indonesia. China itu testing-nya benar-benar dilakukan menggunakan teknologi one by one orang, dan di kita tidak dilakukan," katanya.

Langkah pemerintah China, kata Tauhid, harus menjadi contoh pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi COVID-19, terutama dari sisi kesehatan. Sebab, jika tak ditangani serius, perekonomian nasional akan semakin lama pulih.

"Kenapa ini penting? Karena memang kalau kesehatannya cepat ditangani sampai kasusnya benar-benar berhenti, itu pemulihan ekonomi cepat. Saat ini tidak dilakukan lockdown, tetapi PSBB diberlakukan dengan skema sekarang maka tetap kita akan mengalami fase resesi sama seperti Jepang," ucapnya.

Kembali ke PSBB Ketat

Berkaca pada pengalaman Jepang, kata Tauhid, meskipun kasus baru postif COVID-19 relatif turun. Namun, tetap ada kekhawatiran di tengah masyarakat Jepang mengenai penularan virus. Ia menilai, dengan kekhawatiran yang dirasakan kelas menengah atas maka akan berdampak pada konsumsi di sektor non makaman dan minuman.

Lebih lanjut, Tauhid berujar, masyarakat dalam kelompok menengah atas akan menghindari untuk pergi ke hotel, restoran, bahkan tempat wisata. Hal ini karena konsumsi kelas menengah sangat tergantung pada persepsi, situasi, dan kenyamanan.

"Orang-orang di sana masih khawatir untuk ke tempat-tempat umum, ke tempat yang tidak ada jarak sosial ataupun belanja di tempat wisata, hotel dan restoran. Meskipun sekarang sudah rendah (kasusnya) tetapi karena masyarakat masih khawatir, maka yang terjadi resesinya akan jauh lebih parah. Ini yang juga saya kira terjadi di Indonesia," tuturnya.

Menurut Tauhid, pemerintah sudah seharunya kembali menerpakan PSBB ketat seperti awal penanganan COVID-19 di Indonesia, terutama di daerah-daerah zona merah.

"Harusnya sekarang itu lebih ketat, tapi sekarang ini justru seolah-olah kendor lagi. Saya melihat itu suatu hal yang harus jadi prioritas," ucapnya.