Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah mengklaim kinerja perekonomian Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan negara lain yang menerapkan kebijakan lockdown atau isolasi total wilayah. Sebab, beberapa negara yang memutuskan untuk lockdown, malah terjelembab ke jurang resesi ekonomi. Di antaranya, Singapura dan India.

Terkait penanganan pandemi COVID-19 pemerintah Indonesia pun memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dibanding dengan lockdown total.

Apakah langkah pemerintah memilih untuk menerapkan PSBB, karena takut terjadi resesi ekonomi?

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, pemerihtah Indonesia memang sudah khawatir akan terjadi resesi ekonomi. Sebab, sejak awal fokus pemerintah terkait pandemi ditujukan kepada sektor ekonomi.

Awal Maret, Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk pertama kalinya mengumumkan ada kasus positif COVID-19 di Indonesia. Pemerintah langsung merespons dengan menerapkan kebijakan stimulus jilid I dibidang pariwisata, setelah melakukan larangan penerbangan dari dan menuju China pada pertengahan Februari.

Pemerintah menerapkan diskon tiket penerbangan domestik dan pembebasan pajak restoran serta hotel. Awalnya, stimulus juga memasukkan insentif berupa diskon tiket untuk penerbangan internasional, namun kemudian ditunda seiring kritik yang bergulir soal risiko penyebaran COVID-19 di dalam negeri dari turis asing.

Kemudian, pemerintah melanjutkan dengan stimulus ekonomi jilid II yang berisi kebijakan fiskal dan nonfiskal, utamanya untuk menopang aktivitas industri. Termasuk dalam paket stimulus fiskal yakni pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 untuk pekerja, penundaan pengenaan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan PPh Pasal 25 Badan sebesar 30 persen. Stimulus tersebut berlaku untuk industri manufaktur selama enam bulan.

Menyusul, pemerintah mengeluarkan stimulus jilid III. Stimulus kali ini akhirnya akan fokus untuk penanganan kesehatan. Selain itu, ada juga jaring pengaman sosial (social safety net) untuk masyarakat, dan dukungan pemerintah untuk industri usaha terdampak.

"Jadi dari awal pemerintah kita khawatir terjadi resesi. Bukan hanya resesi tetapi juga krisis. Karena dari awal fokus penanganan pandemi COVID-19 memang pada ekonomi. Kalau krisis itu kan sepanjang tahun pertumbuhannya negatif. Sedangkan kalau resesi kan dua kuartal berturut-turut negatif," ucapnya, saat dihubungi VOI, Minggu, 19 Juli.

Tak hanya itu, Tauhid berujar, pemerintah juga milih langkah ini karena jika yang diberlakukan adalah lockdown maka perkonomian nasional akan anjlok cukup dalam.

"Bahkan disampaikan oleh Pak Presiden kalau (memberlakukan) lockdown ekonomi kita minus 17 persen. Menurut saya juga terlalu berlebihan, kalau lockdown itu minusnya sampai segitu. Berarti seperti krisis 97-98 pertumbuhan ekonominya minus 13 persen," tuturnya.

Menurut Tauhid, lockdown yang diberlakukan di negera-negera lain ternyata tidak cukup mampu menekan pandemi secara tuntas dan ekonomi mereka turun dampak dari kebijakan lockdown. Bahkan, sampai masuk ke jurang resesi.

Namun, dia mengaskan, Indonesia pun tak boleh perpuas diri. Sebab, meski memberlakukan PSBB nyatanya pertambahan kasus postif baru COVID-19 angkanya masih tinggi.

Lebih lanjut, Tauhid mengaku, tak yakin ekonomi Indonesia akan pulih dalam waktu dekat meski PSBB telah dilonggarkan oleh pemerintah.

"Singapura dan India itu kan menerpakan lockdown, kemudian ekonomi mereka turun. Menurut saya PSBB dikita kan pandeminya juga belum berhasil. Tetapi ekonominya mungkin dirasakan mulai pulih. Tapi saya juga belum yakin. Mungkin menurut Pak Airlangga kita tidak akan resesi (karena tidak menerapkan lockdown), jadi perbedaannya di situ," ucapnya.

Menekan Laju Pertumbuhan Ekonomi

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan lockdown yang diterapkan negara-negara berdampak signifikan menekan pertumbuhan ekonomi dibanding kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menerapkan lockdown minus lebih tinggi dibanding Indonesia, khususnya pada kuartal II 2020.

Airlangga memaparkan, beberapa pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menerapkan kebijakan lockdown antara lain: Malaysia minus 8,4 persen, Thailand minus 11,1 persen, Filipina minus 7,6 persen, Singapura minus 12,6 persen, Brasil minus 11 persen, hingga India minus 20 persen.

"Dan tentunya ini Indonesia sendiri diperkirakan turun relatif lebih baik dari yang lain, antara minus 3,8 persen sampai 4,2 persen. Bahkan ada prediksi mendekati minus 4,5," tuturnya, saat webinar launching DigiKU, Jumat, 17 Juli.

Airlangga juga yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali bangkit pada kuartal IV 2020. Hingga kini pemerintah berupaya untuk memperbaiki kinerja ekonomi di tengah pandemi COVID-19.

"Diperkirakan World Bank growth kuartal IV masuk ke jalur positif, dan pemerintah berharap di kuartal III minimal bisa jaga situasi tidak terlalu dalam, bisa recover mendekati minus -1 atau nol," ucapnya.

Perkantoran di Jakarta (Irvan Meidianto/VOI)

Presiden Jokowi mengatakan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2020 diprediksi minus 4,3 persen. Kondisi tersebut akibat belum pulihnya ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Meski begitu, Presiden Jokowi mengaku bersyukur sebab prediksi minus 4,3 persen masih lebih beruntung. Sebab jika Indonesia menerapkan kebijakan lockdown atau penguncian wilayah, ekonomi nasional diprediksi minus 17 persen.

"Dan beruntung sekali, kondisi ekonomi kita, meskipun di kuartal kedua pertumbuhannya kemungkinan minus ke 4,3 persen. Di kuartal pertama kita masih positif 2,97 (persen). Saya enggak bisa bayangin kalau kita dulu lockdown gitu mungkin bisa minus 17 (persen)," kata dia di Istana Bogor seperti dikutip dalam laman Setkab, Rabu, 15 Juli.