JAKARTA - Resesi ekonomi 1997-1998 turut mewarnai kelabunya sejarah Indonesia. Kehidupan rakyat sehari-hari susah bukan main. Banyak perusahaan gulung tikar, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga harga bahan pokok melambung tinggi.
Soeharto tak kuasa menghadapi keadaan dan lengser. Bacharuddin Jusuf Habibie coba ambil kendali. Berbagai kebijakan dan imbauan digelorakannya. Namun, tak semua masuk akal. Ada juga yang kontroversial. Puasa Senin-Kamis untuk hemat bahan makanan, misalnya.
Indonesia lagi-lagi mengulang sejarah. Dahulu pemerintahan Soekarno dengan Orde Lamanya hancur lebur dihajar resesi. Kini, pemerintahan Soeharto dan Orde Baru (Orba) ikutan hancur dengan masalah yang sama: resesi ekonomi. Badai resesi jadi masalah besar pada 1997-1998.
Daya beli masyarakat berkurang karenanya. Apalagi resesi ekonomi yang kemudian disebut krisis moneter mengganggu segalanya. Perusahaan banyak yang gulung tikar. Sedang mereka yang mencoba bertahan menggelorakan opsi PHK dengan jumlah besar. Demi bertahan di tengah resesi yang menggila, pikirnya.
Jika ditelaah lebih lanjut, badai resesi ekonomi menyapa ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah. Dinamika itu terjadi karena pemerintah dianggap gagal mengantisipasi kemunculan resesi. Masalah itu tambah runyam ketika korupsi di kalangan pejabat sudah sedemikian masif. Sementara tiada langkah yang diambil untuk mengambal masalah.
Malahan banyak pejabat negara yang menganggap remeh urusan resesi ekonomi. Bahkan, gaya hidup banyak pejabat hidup bermewah-mewah saat segenap rakyat Indonesia tengah menderita. Gelora demonstrasi pun meletus di mana-mana. Pemerintah Soeharto yang dianggap kuat pun runtuh seketika. Kekuatan rakyat mampu melengserkannya dari status orang nomor satu Indonesia.
“Rasa saling percaya di antara kelompok masyarakat anjlok sámpai ke tingkat yang paling rendah karena setiap kelompok dipenuhi rasa saling curiga dan sikap amarah yang sulit dicerna akal sehat. Mungkin tidak secara kebetulan apabila situasi demikian memang dipicu oleh ketidakmampuan negara melakukan ‘lokalisasi’ dari krisis moneter, ambruknya nilai tukar mata uang rupiah, dan gagalnya sektor perbankan menanggulangi persoalan keseimbangan modal dan asetnya.”
“Di tengahi ambruknya peran negara dan hancurnya aransemen kelembagaan ekonomi, intervensi pemerintah seakan hanya menciptakan lubang-lubang baru yang mudah sekali disalahgunakan. Hal ini disebabkan oleh hantaman krisis moneter yang membawa dampak krisis ekonomi, menurunnya daya beli masyarakat, serta tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang luar biasa,” ungkap Bustanul Arifin dalam buku Ekonomi Pembangunan Pertanian (2013).
Puasa Senin-Kamis
Habibie lalu didaulat sebagai pengganti Soeharto. Ia resmi menjadi Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998. Masa pemerintahan pun dianggap cukup krusial. Sebab, ia memerintah di masa transisi. Masa-masa di mana tekanan-tekanan politik banyak menghujaninya.
Tekanan itu adalah kewajaran. Habibie memerintah di tengah kondisi bangsa yang terkena imbas dari resesi ekonomi. Pun pemerintahannya tengah kesulitan menemukan sumber daya manusia dan material.
Habibie tak lantas menyerah. Ia mampu mengamati masalah seputar kenegaraan dengan baik. Banyak langkah yang dilakukan, termasuk ajiannya menguatkan nilai tukar rupiah. Tak hanya itu, Habibie juga menjamin adanya pemerintahan yang demokratis. Fakta itu terlihat jelas dari kehadiran kebebasan pers hingga pemilu multipartai.
Narasi perubahan itu kerap disuarakan Habibie lewat mimbar. Ia kerap berpidato menggulirkan kebangkitan Indonesia. Pidato-pidatonya kerap dibumbui dengan angka dan contohnya. Narasi Habibie mampu membangkitkan optimisme.
Namun, sekali waktu pidatonya dinilai kontroversial. Imbauan habibie yang mengajak rakyat Indonesia bertahan dalam krisis dengan puasa Senin-Kamis, misalnya.
Imbauan itu dianggap masyarakat sebagai bentuk ketidakmampuan Pemerintah Indonesia mengendalikan krisis. Skema hemat bahan makanan dengan berpuasa tampak kurang elok. Apalagi pemikiran itu terucap langsung dari orang nomor satu Indonesia.
“Ketika terjadi masa krisis saat B.J. Habibie diangkat menjadi presiden, ia menganjurkan rakyat melakukan puasa Senin-Kamis. Mengenai puasa, B.J. Habibie mengatakan tidak ada hubungannya dengan agama tertentu, ini masalah pembudayaan. Karena dengan berpuasa Senin-Kamis setiap orang akan menghemat 20 kilogram beras, karena tiap manusia sekali sekali makan memerlukan 200 gram kalori dalam satu porsi beras.”
“Maka dalam waktu 52 minggu, dalam satu tahun, manusia menghemat 20 kilogram. Kalau yang berpuasa satu juta orang, maka akan dihemat, 20 ribu ton beras setahun. Jika 150 juta yang berpuasa, kita akan menghemat 3 juta ton. Ini berarti sama dengan jumlah beras yang harus kita impor,” tulis A. Makmur Makka dalam buku Inspirasi Habibie (2020).