Bung Hatta Dapat Gelar Doktor HC dari Universitas Indonesia dalam Sejarah Hari Ini, 30 Agustus 1975
Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono memberikan kalung guru besar kepada Dr. (h.c.) Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta pada 30 Agustus 1975. (Arsip Universitas Indonesia)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 47 tahun yang lalu, 30 Agustus 1975, mantan Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (HC) bidang Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia (UI). Penyerahan gelar itu sebagai bentuk apresiasi atas sumbangsih besar Bung Hatta kepada bangsa dan negara.

Apalagi tindak-tanduk Bung Hatta yang sederhana menjadi panutan generasi muda. Sebelumnya, Bung Hatta telah mendapatkan beberapa gelar kehormatan Doktor HC dari berbagai macam perguruan tinggi dalam negeri.

Serupa Soekarno, Hatta tumbuh menjadi figur yang anti kolonialisme dan imperialisme. Segala macam penjajahan di muka bumi kerap ditentang Hatta. Sikap itu yang membuatnya berani pasang badan berjuang untuk kaum bumiputra.

Di Belanda, ia berjuang dengan kendaraan politiknya Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta membawa narasi Indonesia merdeka. Hatta tak gentar sedikit pun. Ancaman dan penjara tak membuatnya mundur satu langkah. Ia tetap maju. Ia memegang teguh apa yang diyakininya benar. Kaum bumiputra sudah lelah diperas bak sapi perah oleh Belanda.

Sepulangnya ke Hindia-Belanda (kini: Indonesia), pergerakan Hatta meningkat. Ia pun berjumpa dengan rekan-rekannya yang memiliki misi sama. Soekarno salah satunya. Keduanya kemudian akrab. Saling membantu. Saling melengkapi. Indonesia pun merdeka berkat peran keduanya dan seluruh pejuang kemerdekaan.

Sambutan Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr.dr. Mahar Mardjono dalam penganugerahan gelar Doktor Kehormatan untuk Bung Hatta (duduk kiri), 30 Agustus 1975. (Arsip Universitas Indonesia)

Kiprahnya berlanjut. Hatta jadi Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia tak berubah sama sekali. Tetap kritis dan sederhana. Sikap itu bahkan bertahan hingga Hatta tak lagi menjabat sebagai pejabat publik. Tindak-tanduknya mendapatkan apresiasi banyak kalangan. Hatta diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin sebagai warga utama Jakarta.

“Saya ingat pada satu kejadian mengenai Bung Hatta sewaktu saya jadi gubernur. Beliau mendapat kesulitan mengenai pembayaran PAM (Perusahaan Air Minum) dan Ireda (Iuran Rehabilitasi Daerah). Begitu sederhananya hidup pemimpin kita itu. Saya tidak tahu persis berapa pensiun yang beliau terima waktu itu. Tapi dengan adanya kabar demikian yang sampai pada saya, terharu saya mendengarnya. Saya segera mencari akal, mencari jalan apa yang saya dapat perbuat semampu saya untuk membantunya.”

“Maka setelah kami menetapkan, bahwa Bung Hatta itu adalah warga kota Jakarta utama, saya bicarakan masalah yang beliau hadapi itu. Dengan pegangan bahwa Bung Hatta itu sudah menjadi warga kota utama itu, saya mengusulkan kepada DPRD agar beliau diberi fasilitas, yakni fasilitas air (PAM) dan Ireda: artinya beliau sendiri tidak usah membayar kedua hal itu, dibebaskan dari keharusan membayarnya. DPRD menyetujuinya,” ungkap Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

Apresiasi akan sumbangsih Bung Hatta meningkat. Dia mendapatkan ragam keistimewaan lainnya. Ia mendapatkan ragam gelar akademis dari berbagai perguruan tinggi di Nusantara. Semua itu berkat jasa Bung Hatta yang besar.

Bung Hatta bahkan mendapatkan gelar Doktor HC dalam Bidang Hukum dari Universitas Indonesia. Gelar itu didapat Hatta di Aula FH-UI, Salemba, pada 30 Agustus 1975.

“Sesudah Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari pelbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran, Bandung mengukuhkan Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian.”

“Universitas Hasanuddin di Ujungpandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Hatta berjudul: Menuju Negara Hukum,” tertulis dalam buku Memahat Kata, Memugar Dunia (2005).