Bagikan:

JAKARTA - Ir. Soekarno merupakan sosok ilmuwan yang sangat pintar. Selain menempuh pendidikan tinggi sebagai seorang arsitek, Bung Karno juga dianugerahi 26 doktor honoris causa, dengan rincian 17 gelar doktor kehormatan dari universitas luar negeri dan sembilan kampus dalam negeri. 

Singkatnya, Bung Karno memiliki dasar keilmuan arsitek, tetapi pengetahuannya tentang politik, filsafat dan ilmu lain sangat bisa untuk diperhitungkan.

Pandangan respektif ini dikemukan penggagas Gerakan Inovator 4.0 Indonesia, Budiman Sudjatmiko, dalam Episode 25 Talk Show and Music ‘Bung Karno Series’ bertema ‘Cita dan Asa Bung Karno pada Sains’, yang ditayangkan kanal Youtube Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan, Jumat, 25 Juni.

Sesi diskusi menarik ini dipandu aktivis nasionalis muda Jefri Adriansyah dan menghadirkan special greeting dari Duta Besar Amerika Serikat untuk Republik Indonesia, Sung Yong Kim.

“Bung Karno bukan sekadar pembelajar ilmu, tetapi ia juga merupakan sumber ilmu itu sendiri,” tegas Budiman.

Budiman berterus terang, dia sudah mengetahui dan memelajari jalan pikiran Bung Karno sejak masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

“Guru pertama saya untuk berpolitik adalah Bung Karno. Demikian juga Bung Karno merupakan guru ekonomi, sejarah dan filsafat saya. Dari proses belajar ini saya mengetahui, bukan hanya belajar tentang pemikiran Bung Karno, tetapi yang menjadi bekal saya adalah cara berpikir Bung Karno,” kata  Budiman.

Pola berpikir Bung Karno menurutnya bukan hanya berdasarkan teks, tetapi juga harus dilihat setiap konteksnya. 

Selain itu, hal yang selalu diingat Budiman adalah kata-kata Bung Karno, “Jangan warisi abunya, warisilah apinya.” 

“Artinya, kalau kita ingin belajar dari Bung Karno, yang paling menarik adalah cara berpikirnya, bukan sekadar isi pikirannya,” kata dia.

Bagi Budiman, belajar tentang Bung Karno adalah belajar tentang cara berpikir filosofis, saintifik dan historis atau menyejarah, karena beliau belajar dari mata air ilmu pengetahuan yaitu filsafat. Dari filsafat ke matematika, ke hard science, kemudian ke sosial humaniora. 

“Proses itulah yang membuat Bung Karno memiliki visi yang tidak banyak dipunyai pemuda Hindia Beland, yaitu mengimajinasikan suatu bentuk negara republik di wilayah Nusantara yang belum pernah ada,” urai Ketua Pelaksana atau CEO program riset teknologi ‘Bukit Algoritma’ ini. 

Dipaparkannya, Bung Karno adalah pemikir lintas ilmu. Hal inilah yang membuat pola pikir Bung Karno masih bisa relevan dengan masa sekarang.

“Ambil apinya bukan abunya menjadi relevan. Yang harus diambil dari Bung Karno merupakan semangatnya. Untuk saat ini bukan lagi zamannya untuk mengkotak-kotakkan keilmuan, apakah dia biologi, politik, dan lain-lain,” kata Budiman.

Budiman menggarisbawahi Bung Karno merupakan seorang guru untuk mempelajari lintas ilmu secara saintifik yang filosofis dan sesuai dengan ruang waktu sejarahnya.

Ini tak lain karena sosok ‘Bung Besar’ kita ini telah mulai merintisnya sejak usia 20 tahun, Dapat dilihat dari basis keilmuannya belajar di arsitektur, menulis tentang filsafat, ekonomi, sejarah dan politik. 

“Untuk menghadapi berbagai tantangan era sekarang, anak muda Indonesia harus belajar seperti Bung Karno belajar, dan berpikir seperti Bung Karno berpikir,” pungkas politikus yang terlibat aktif memelopori penyusunan Undang-Undang Desa ini.

Perbincangan ditutup dengan kesimpulan Bung Karno bukanlah sosok yang hanya mencari pengetahuan, melainkan menjadi teknologi untuk menyampaikan apa yang ia pelajari dari perilaku-perilakunya.

Sebagaimana yang disampaikan Bung Karno pada penerimaan gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada, pada 19 September 1951.

“Bagi saya, ilmu pengetahuan itu hanyalah berharga penuh jika dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidupnya manusia, atau praktik hidupnya bangsa, atau praktik hidupnya dunia kemanusiaan.”