JAKARTA - Tiada yang berani terang-terangan menentang pemerintahan Soeharto dan Orde Baru (Orba). Barang siapa yang berani melawan, maka hidupnya akan dipersulit dalam segala hal. Narasi itu membuat Budiman Sudjatmiko menanam benih-benih perlawanan terhadap Orba.
Soeharto dan Orba dianggapnya telah mabuk kekuasaan. Budiman dan temannya bersepakat membentuk medium perlawanan. Partai Rakyat Demokratik (PRD), namanya. Budiman pun didaulat sebagai Ketua Umum PRD. Kala itu usianya cukup muda, masih 26 tahun.
Masing-masing orang memiliki pengalaman hidup tersendiri di bawah kuasa Soeharto dan Orba. Budiman pun begitu. Ia sedari kecil melihat begitu kuatnya pemerintahan Orba dengan kendaraan politiknya Golkar dan militer.
Budiman melihat sendiri bagaimana sulitnya hidup di era Orba. Ketidakadilan ada di mana-mana. Gembar-gembor prestasi pemerintah Orba dalam swasembada beras dan pembangunan tak dianggapnya. Sebab, angka kemiskinan dan ketidakadilan masih terasa jelas di lingkungan sekitarnya.
Budiman melihat sendiri kakeknya yang bekerja sebagai birokrat desa dipaksa pemerintah untuk satu suara mendukung Golkar dalam Pemilu 1977. Intimidasi Orde Baru jelas terlihat. Mereka yang tak mau mengikuti kehendak pemerintah, niscaya akan dicap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Budiman pun mencoba mengubah keadaan. Ia memanfaatkan pendidikan untuk memperdalam kepekaannya terhadap nasib kaum miskin. Budiman bak mewakafkan hidupnya di jalur perlawanan dengan menjadi aktivis mahasiswa.
Ia mencoba melemparkan kritik atas segala macam kebijakan Orba yang merugikan rakyat. Utamanya, kasus pembangunan Waduk kedung Ombo. Belakangan ia dan kawan-kawannya mulai menyusun alat politik baru: Persatuan Rakyat Demokratik.
Gerakan itu akhirnya dirumuskan lebih dalam dengan menjadi sebuah partai. PRD, namanya. Partai itu muncul di Yogyakarta pada 15 April 1996. Budiman lalu dipilih sebagai Ketua umum PRD sekalipun usianya masih 26 tahun.
“Ini bukan sekedar sebuah mandat kepemimpinan organisasi. Bagiku (dan juga disadari oleh rekan-rekanku di PRD) ini adalah mandat bagi kepemimpinan ide untuk mengubah Indonesia dengan cara yang revolusioner. Aku tak lupa bahwa dengan menjadi Ketua Umum PRD di usia yang baru menginjak dua puluh enam tahun, aku sudah memilih mahkota duri yang kami kenal sebagai 3B (bui, buang, bunuh) untuk dipasangkan ke kepalaku. Bukan cuma aku, tapi juga seluruh pengurus pusat PRD yang dikukuhkan waktu itu,” ungkap Budiman dalam buku Anak-Anak Revolusi Jilid I (2013).
Jadi Musuh Orba
Budiman membawa PRD sebagai partai yang menuntut keras hadirnya demokrasi di Indonesia. Ia mencoba membawa PRD jadi wadah mahasiswa, buruh, hingga tani untuk menyuarakan keinginannya kepada pemerintah.
PRD menginginkan dicabutnya dwifungsi ABRI. Mereka menganggap dwifungsi adalah muara kegagalan pemerintahan era Orba. PRD pun mulai aktif dalam lingkaran aksi massa. Mereka juga menunjukkan pembelaannya terhadap Megawati Soekarnoputri yang dizalimi oleh Orba.
Pemerintah dianggapn PRD tak ingin anak dari Bung Karno memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Segala macam gebrakan coba dilakukan pemerintah. Kongres tandingan pun dibuat. Kondisi itu membuat Budiman membawa PRD mendukung penuh Megawati.
Puncaknya, aktivis PRD banyak yang mengisi acara di mimbar bebas di kantor pusat PDI di Menteng. Siapa saja diberikan ruang untuk bersuara di mimbar besar, dari orasi hingga bernyanyi. Namun, kondisi itu berubah jadi mencekam pada 27 Juli 1996.
Pemerintah dianggap sengaja mencoba mengadu domba masa PDI kubu Suryadi dan kubu Megawati. Kubu Suryadi yang kala itu didukung pula oleh militer mencoba menyerang markas PDI yang dihuni aktivis-aktivis. Bentrokan pun terjadi. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli).
BACA JUGA:
Pemerintah pun memanfaatkan momentum dengan menangkap aktivis PRD, utamanya Budiman. Aktivis-aktivis PRD dianggap dalang dari Kudatuli. Budiman yang kala itu sebagai ketua PRD merasakan sendiri dampak perjuangan yang dilakukannya: penjara.
Penjara memang keras. Namun, Penahanan itu membuat nama Budiman terkenal di seantero negeri. Banyak yang mencoba meramalnya sebagai pemimpin muda Indonesia di masa depan. Citra itu coba diredam kembali Orba.
Pemerintah kemudian ikut menuduh PRD memiliki paham komunis. Bahkan, orang tua Budiman juga dianggap antek komunis. Sekalipun, kemudian tuduhan tak terbukti dan Soeharto dan Orba lengser dua tahun setelahnya pada 1998.
“Ketika pemerintah dan beberapa media massa mengaitkan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dengan komunisme, Letjen Syarwan Hamid, waktu itu Kepala Staf Sosial Politik ABRI, bahkan memfitnah ayah Budiman Sudjatmiko, Ketua PRD, sebagai'bekas PKI, meskipun kemudian terbukti bahwa keluarga ini adalah keluarga muslim yang taat,” ungkap sastrawan, Goenawan Mohamad dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Desas Desus (1998).