Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, lima tahun yang lalu, 18 September 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus korupsi. Penetapan itu membuat seisi Indonesia kaget.

Sebelumnya, dugaan korupsi ke Imam Nahrawi muncul dari persidangan bawahannya. Fakta persidangan membuat Imam diduga menerima duit suap yang digunakannya untuk sumbangan, kepentingan pribadi, hingga biaya pengamanan kasus korupsi.

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan bangga mengangkat Imam Nahrawi sebagai Menpora era 2014-2019. Imam pun menunjukkan kapasitasnya. Ia kerap mengapresiasi langkah-langkah atlet nasional yang berprestasi.

Ia bahkan menjamin pencarian bonus kepada atlet berprestasi berlangsung cepat. Khalayak pun sempat menganggap Kemenpora sebagai salah satu kementerian yang bersih. Alias jauh dari terpaan isu korupsi. Namun, waktu pun menunjukkan borok Kemenpora.

KPK telah banyak menahan jajaran lewat operasi tangkap tangan. Mereka itu antara lain Sekretaris Jenderal KONI Pusat, Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Pusat, Johnny F. Awuy. KPK juga turut menangkap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi dan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga, Mulyana, serta Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Pemuda dan Olahraga Adhi Purnomo dan anggota stafnya, Eko Triyanto, pertengahan Desember 2018.

Imam Nahrawi yang pernah menjabat sebagai Menpora era 2014-2019. (ANTARA)

Penangkapan itu terkait dengan berbagai kasus korupsi. Utamanya, soal dana hibah dari Kempora terkait pengawasan dan pendampingan seleksi bakal calon atlet dan pelatih SEA Games 2019. Persidangan membuka tabir bahwa Imam mendapatkan uang pelicin.

Imam memang tak menerima secara langsung. Sebab, semua uang itu masuk lewat asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Imam pun terus menyangkal keterlibatannya dalam kasus korupsi yang melibatnya. Ia mengganggap tak menerima duit suap dari rentang waktu 2014-2018.

Kondisi itu membuat Imam percaya dirinya takkan tersentuh oleh KPK. Jika pejabat lain cepat-cepat mengundurkan diri, Imam memilih sebaliknya dengan terus berkantor.

“Berbekal fakta-fakta yang muncul di persidangan dan amar putusan itu, penyelidik KPK mengusut keterlibatan Imam dan Ulum selama dua bulan. Tiba saat gelar perkara pada 22 Agustus 2019, kelima pemimpin KPK bersepakat menaikkan kasus Imam dan Ulum ke penyidikan.”

“Pimpinan KPK kemudian menerbitkan surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik/93/DIK.00/01/08/2019 untuk tersangka Miftahul Ulum dan Sprin.Dik/94/DIK.00/01/08/2019 bertanggal 28 Agustus 2019 atas nama tersangka Imam Nahrawi. Setelah penerbitan surat perintah penyidikan ini, KPK kemudian meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencegah Imam dan Ulum bepergian ke luar negeri,” tulis Linda Trianita hingga Irsyan Hasyim dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Suap Disposisi Menteri (2019).

KPK pun segera melakukan penyidikan. KPK mencoba bergerak cepat menelusuri kasus suap yang mengarah kepada Menpora, Imam. Hasilnya KPK segera mengumumkan status Imam sebagai tersangka korupsi pada 18 Sepetember 2019.

Imam jadi tersangka dalam dugaan suap terkait penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora pada KONI Tahun Anggaran 2018. Ia pun juga diindikasikan ikut menerima suap lainnya sedari 2014-2018.

“Dalam rentang 2014 – 2018, Imam selaku Menpora melalui Ulum selaku asisten pribadi Menpora diduga telah menerima uang sejumlah Rp14,7 miliar. Selain penerimaan uang tersebut, dalam rentang waktu 2016-2018, IMR selaku Menpora diduga juga meminta uang sejumlah total Rp11,8 miliar, hingga total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar.”

“Uang itu diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora tahun anggaran 2018, penerimaan terkait Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan IMR selaku Menpora. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait,” ungkap jubir KPK, Febri Diansyah dalam siaran persnya, dikutip laman KPK sehari setelahnya, 19 September 2019.