Bagikan:

JAKARTA - Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) banyak diunggulkan sebagai penghasil birokrat berkualitas. Barang siapa yang ingin masuk akan menghadapi rangkaian seleksi ketat. Kadang juga dibutuhkan sebuah keberuntungan. Namun, bukan berarti proses pendidikan akan berjalan lancar.

IPDN justru dikenal dengan budaya senioritas yang berujung perundungan. Kekerasan itu tak hanya memunculkan cidera belaka, tapi justru membuat jatuhnya korban jiwa. Imbasnya banyak yang mendesak IPDN ditutup.

Dulu kala penjajah Belanda mencoba melakukan keputusan berani. Mereka mulai melibatkan kaum bumiputra untuk membantu jalannya pemerintahan di Hindia Belanda (kini: Indonesia). Pemerintah kolonial pun menghadirkan sekolah pendidikan calon pegawai bumiputra, OSVIA.

Kaum bumiputra dari kalangan priayi yang mampu lulus dari OSVIA akan langsung diangkat jadi amtenar atau PNS era kolonial. Namun, OSVIA tak benar-benar hilang kala Indonesia merdeka. Pemerintah Indonesia tetap menghadirkan sekolah dengan misi yang sama seperti OSVIA.

Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. (Kemendagri)

Namanya saja berganti-ganti. Belakangan orang-orang mengenalnya sebagai Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) pada 1992. Belakangan STPDN dengan Institut Ilmu pemerintah (IIP) dilebur pada 2003.

Keduanya lalu menjadi IPDN. Pemerintah ingin sekolah menghasilkan birokrat berkualitas satu pintu. Masalah muncul. Kehadiran dari STPDN hingga IPDN tak luput dari masalah. Senioritas yang tinggi jadi muaranya.

Rasa senioritas itu membuat budaya kekerasan di institusi itu menjamur. Budaya kekerasan yang dihasilkan justru banyak menghilangkan nyawa. Ambil contoh dari tahun 1993-2007 saja ada sekitar 35 orang yang tewas diduga akibat perundungan senior ke junior.

Namun, kasus yang mencuat ke khalayak umum saja hanya belasan kasus saja. Mendagri era 2009-2013, Gamawan Fauzi membenarkan IPDN bak sarang kekerasan. Namun, ia tak ingin kekerasan itu terus berlarut-larut.

Ia mencoba mereformasi IPDN dengan memecat sekitar 45 praja yang melakukan tindak kekerasan dari 2009 hingga 2013. Pemecatan itu dilakukan sebagai bentuk komitmen IPDN menolak kekerasan dalam kampus.

"Praja IPDN dididik bukan untuk perang, melainkan harus mengayomi. Geser paradigma yang telah berkembang menjadi paradigma yang baru.”

“Sekali lagi saya tegaskan, tidak akan segan-segan bagi (mahasiswa) yang melanggar untuk ditindak. Kita tinggalkan hal yang demikian, kita perbaiki sikap mental," kata Gamawan Fauzi sebagaimana dikutip laman Kemendagri, 28 Agustus 2013.

Bubarkan IPDN

Senioritas yang menyebabkan kematian membuat banyak orang mengecam pola pendidikan di IPDN. Pemerintah Indonesia pun turut kena semprot. Serangkaian keinginan reformasi IPDN dianggap tak membawa arti apa-apa.

Berita perundungan terus hadir. Puncaknya tak sedikit khalayak yang mulai menuntut IPDN dibubarkan. Respons paling keras pun muncul dari Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2015.

Ahok menganggap lulusan IPDN lebih unggul dari perguruan tinggi lainnya bak omong kosong belaka. Ia merasakan lulusan IPDN yang biasa-biasa saja di pemerintahannya. Kinerja mereka tak spesial. Beberapa korup pula.

Kondisi itu membuat Ahok menyarankan pemerintah pusat untuk tidak mengistimewakan IPDN. Bila perlu dibubarkan. Suplai PNS sekarang ini bisa muncul dari mana saja. Keinginan itu dianggap Ahok masuk akal. Sebab, tradisi IPDN yang kerap mempertontonkan senioritas berujung perundungan.

Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sedang melakukan latihan baris-berbaris. (Dok. IPDN)

Ia kemudian meminta langsung ke Presiden Jokowi untuk membubarkan IPDN. Ahok merasa IPDN sudah banyak mudarat, ketimbang manfaat. Usulan Ahok untuk membubarkan IPDN didukung banyak pihak. Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mendukung usulan Ahok.

Namun, tak sedikit jajaran pemerintah yang menolaknya. Penolakan muncul dari Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Usulan Ahok dianggap melanggar undang-undang. Penolakan lain muncul pula dari Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK). JK merasa IPDN tak perlu dibubarkan tapi kekerasannya yang dihilangkan.

Usulan Ahok memang dianggap keras oleh sebagian orang. Namun, kala ada kasus perundangan di IPDN yang mencuat, usulan Ahok dinilai bawa kebenaran. Sekalipun pembubarannya tak pernah kejadian.

Presiden Joko Wododo melakukan Pelantikan Praja Muda Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Angkatan XXIII Tahun 2016 di kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Senin (8/8). Presiden bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo melantik dan mengukuhkan sebanyak 1.921 ribu Praja Muda IPDN yang disiapkan sebagai aparatur sipil negara dan pelopor Revolusi Mental. (ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra/foc/16)

"Saya mau tanya, pelayanan publik kepada masyarakat Indonesia selama ini semua PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), baik enggak? Siapa yang jadi lurah camat dulu? Alumni (IPDN). Siapa yang berantem, berapa banyak orang mati di IPDN? Saya mau Tanya. Sekarang saya tanya, di Jakarta, PTSP dipegang IPDN apa bukan sekarang?”

“Bukan, tapi lebih baik. Di dalam UU ASN itu ada 2, ada yang pegawai kontrak dan ada yang PNS. Nah, kalau ngomong gitu kenapa kamu enggak bilang rezeki kamu diambil? Apakah anak-anak IPDN pasti lebih baik dari anak non-IPDN? Enggak juga. Misalnya, contoh mengagungkan STPDN atau IPDN segala macam, saya mau tanya republik kita ini maju enggak hari ini dengan dolar begitu? Selama ini yang jadi pamong tuh siapa, saya mau tanya?” terang Ahok sebagaimana dikutip laman liputan6.com, 8 September 2015.