JAKARTA - Polesan Alfred Riedl bawa warna baru bagi timnas sepak bola Indonesia era 2010-an. Pelatih asal Austria itu mulanya sempat diragukan. Riedl dianggap tak membawa timnas Indonesia bersinar di pentas Asia Tenggara. Namun, Riedl mengambil gebrakan.
Ia mampu membawa Indonesia unggul. Ia terkenal berani mencoret mereka tak disiplin. Bahkan, di eranya ia menjadi pionir pelatih yang gunakan pemain ‘asing’ dalam Timnas: Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales. Keduanya dianggap membuat timnas naik ke level tinggi.
Upaya membangun timnas sepak bola Indonesia tak mudah. Barang siapa yang menjadi pelatih, niscaya akan dihubungkan dengan serangkaian masalah menahun yang tak selesai terkait sepak bola Indonesia. Mereka menghadapi masalah ketiadaan jenjang karier sepak bola dan level kompetisi mentok.
Kondisi itu membuat timnas Indonesia kesulitan dalam menjajaki mimpi jadi juara level Asia Tenggara. Indonesia pun selalu dijegal oleh Thailand. Harapan kembali muncul kala Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mendatangkan Alfred Riedl menggantikan Benny Dollo pada 2009.
Mulanya PSSI tak menaruh harapan terlalu tinggi. Sebab, Riedl bukan target utama. PSSI telah lebih dulu ingin mengontrak pelatih asal Belanda, Ruud Krol dan pelatih asal Turki, Fatih Terim. Namun, keinginan itu pupus karena diskusi masalah gaji tak menemukan titik temu.
Kondisi itu membuat PSSI memantapkan harapan satu-satunya ke pundak Riedl. Gaya melatih Riedl dianggap lebih unggul dari kedua kandidat terdahulu. Riedl kerap mengedepankan disiplin dan tegas. Ketegasan itu membuat segala macam keputusan terkait timnas tidak dapat diintervensi.
Boaz Solossa saja pernah dicoretnya. Riedl pun selalu jadi penentu dari awal hingga keputusan akhir terkait timnas. Ia membuat jadwal latihan. Ia dan timnya memutuskan siapa saja yang akan dibawa masuk ke Timnas. Tiada pemain titipan.
Barang siapa yang layak main akan dipilih, apalagi mereka yang sedang bersinar dan terkenal disiplin. Riedl pun mengutus Deputi Bidang Teknik Badan Tim Nasional, Iman Arif untuk melakukan pemantauan pemain. Itupun lolos tidaknya menjadi pemain tergantung dari performa yang diperlihatkan ke Riedl.
BACA JUGA:
“Trio Riedl, Wolfgang Pikal (asisten pelatih), dan Iman inilah yang berperan membentuk dan memoles penampilan tim nasional. Pembentukan dilakukan dengan sistem pemantauan (scouting) pemain yang dibentuk Iman. Selama ini Badan Tim Nasional tak memiliki sistem pemantauan sehingga sulit menemukan pemain berbakat.”
“Tiap bulan kami keliling sampai 20 kali ke berbagai daerah. Dari pemantauan itulah muncul nama yang asing di tim nasional, tapi tampil mengesankan di lapangan hijau, antara lain Muhammad Nasuha dan Zulkifli Syukur,” ungkap Harun Mahbub dan kawan-kawan dalam laporannya di majalah Tempo berjudul Garuda Pelipur Lara (2011).
Maksimalkan Darah Asing
Sistem pemantuan pemain yang dilakukan Riedl pun ke mana-mana. Bahkan, merambah kepada pemain keturunan Indonesia di luar negeri. Irfan Bachdim jadi target utamanya. Pemain bola yang memiliki dwi kewarganegaraan Indonesia-Belanda itu telah merasakan akademi sepak bola Ajax Amsterdam.
Bachdim lalu berkesempatan pindah ke SV Argon dan membuatnya jadi pemain fenomenal karena menjadi pencetak gol terbanyak di level junior klub. Gairah itu membuatnya pindah ke FC Utrecht pada 2003.
Ia menjadi pemain junior Uthrecht sambil sesekali jadi cadangan tim senior, sampai akhirnya berlabuh ke HFC Haarlem. Karier itu diamati oleh Riedl dan meminta Irfan membela Indonesia. Irfan hanya butuh memutuskan mengakui kewarganegaraan Indonesia dan meninggalkan kewarganegaraan Belanda. Bachdim pun akhirnya memilih Indonesia.
Pemain kedua yang ingin didapatkan Riedl adalah pemain asal Argentina, Cristian Gonzales yang malang-melintang di Liga Indonesia sedari 2003. Proses yang harus dilalui Gonzales tak semulus Bachdim. Sekalipun Gonzales dikenal sebagai mesin gol ampuh di Liga Indonesia.
Gonzales telah lama memendam niat untuk mengabdikan diri membela Indonesia. Dalam proses itu Gonzales harus rela tak berpergian ke luar negeri selama lima tahun demi bisa membela Indonesia. Bahkan, ada sanak familinya yang berada kampung halaman meninggal dunia, Gonzales memilih tak pulang.
Perjuangan itu akhirnya terbalas. Gonzales berhasil dinaturalisasi jadi warga negara Indonesia. Artinya, ia dan Irfan Bachdim berhak membela panji timnas Merah-Putih di kancah piala Suzuki AFF 2010. Keduanya mampu jadi bintang yang bersinar. Apalagi, posisinya sama-sama jadi penyerang.
Gonzales mampu menghasilkan gol. Demikian pula Irfan Bachdim. Aroma kemenangan demi kemenangan pun bersambut. Sekalipun Indonesia akhirnya harus mengakui keunggulan Malaysia di final Piala Suzuki AFF 2010.
Belakangan imbas kehadiran pemain ‘asing’ dianggap mampu membawa Indonesia naik level. Rekrut pemain asing lalu dianggap ampuh untuk memangkas agenda pembinaan dini pemain Indonesia dan kompetisi yang amburadul.
Namun, Riedl tak sepenuh setuju dengan hanya andalkan tenaga pemain asing. Ia selalu berpegangan dengan tak membeda-bedakan mana pemain ‘asing’ atau lainnya. Semuanya dapat kesempatan. Eksistensinya di timnas tetap ditopang dengan keterampilan bermain bola. Bukan di mana orang itu dilahirkan. Sekalipun kemudian orang-orang menganggap ketiganya --Riedl, Bachdim, dan Gonzales-- sebagai pionir dalam memanfaatkan darah asing untuk menunjang timnas Indonesia.
"Pada Piala AFF 2010 dan 2014 saya banyak memanggil mereka. Saya pelatih yang tidak peduli pada latar belakang seseorang. Mereka memiliki paspor Indonesia dan berhak membela negaranya. Jika mereka menunjukkan kualitas terbaik di pentas kompetisi yang dijalani, pintu memperkuat timnas terbuka lebar," ujar Riedl sebagaimana dikutip laman bola.com, 1 Agustus 2016.