Bukit Algoritma menjadi topik bahasan menarik beberapa pekan belakangan. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Budiman Sudjatmiko meluncurkan gagasan membangun Bukit Algoritma, sebuah tempat yang akan menjadi pusat teknologi mutakhir Indonesia seperti Silicon Valley di California, Amerika Serikat. Banyak yang mencibir rencana ini, namun Budiman optimis jika didukung banyak pihak ide ini bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Ia bermimpi generasi mendatang akan punya ekosistem ideal untuk riset karya inovasi yang bisa menjadi kebanggaan bangsa. Bagaimana merealisasikan ide ini? Kepada tim VOI dia berbagi gagasan.
***
Gagasan untuk membangun Bukti Algoritma ini sudah ada sejak 2018 lalu. Budiman Sudjatmiko, M.Sc, M.Phil mengumpulkan para inovator 4.0. Dia ingin Indonesia sebagai bangsa berperan aktif dalam revolusi industri 4.0 yang sudah di depan mata. Soalnya dalam revolusi industri sebelumnya Indonesia hanya sebagai penonton. Pada revolusi industri pertama dan kedua Indonesia masih dalam cengkraman penjajah Belanda. Sedangkan dalam revolusi industri ketiga bangsa ini baru saja merdeka dan sehingga belum bisa berperan aktif, masih sebagai pentonton.
Ke depan, mantan anggota legislatif dari PDIP ini, Indonesia harus memiliki pusat riset yang menjadi tempat pengembangan sumber daya manusia. Acuan utamanya tak lain adalah Silocon Valley di California yang menjadi pusat pengembangan teknologi mutakhir bagi Amerika. Beragam perusahaan global menjadikan tempat itu sebagai markas mereka. Sebut saja Google, Facebook dan Apple dan sebagainya.
Sebagai Ketua Pelaksana PT. Kiniku Bintang Raya KSO Budiman Sudjatmiko optimis kalau Bukit Algoritma akan seperti Silicon Valley yang menjadi menjadi pusat riset dan pengembangan sumberdaya manusia berbasis teknologi 4.0. Setelah ide ini tersosialisasi secara masif ternyata respon dari berbagai pihak begitu besar. Banyak ilmuwan yang ingin bergabung dengan proyek ini. Tak sedikit para investor yang mau menanamkan modalnya atau membuat tempat serupa di daerah lain di Indonesia. “Artinya ada kerinduan untuk mendirikan negara kita ini berbasis pengetahun yang sebelumnya sudah didahului oleh pendirian ekonomi berbasis pengetahuan. Orang Indonesia yang ada di luar negeri tertarik untuk terlibat,” ungkapnya.
Bukit Algoritma yang sudah menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pengembangan Teknologi dan Industri 4.0 yang berlokasi di Cikidang, Sukabumi, Jawa Barat ini akan menjadi pusat riset yang menghasilkan inovasi dan paten. Sementara untuk pabrikasi dibutuhkan Bukit Algoritma lain yang memang khusus memproduksi hasil riset terapan yang dihasilkan. Kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos, dan Irfan Meidianto dari VOI, Budiman Sudjatmiko bercerita banyak soal ide awal Bukit Algoritma, bagaimana ia mensosialisasikan, mengajak orang untuk terlibat sampai merealiasikan mega proyek senilai 1 miliar euro atau setara denga Rp18 triliun ini, di Wiken Koffie, di bilangan Tebet, Jakarta Selatan belum lama berselang. Inilah petikan wawancara selengkapnya.
Bagaimana ide awal proyek bernama Bukit Algoritma yang anda gagas ini?
Awalnya di tahun 2018 saya dengan teman-teman mendirikan kelompok inovator 4.0 untuk mengumpulkan anak-anak Indonesia yang belajar maupun bekerja di dalam dan luar negeri. Mereka ini punya concern terhadap inovasi-inovasi teknologi. Kenapa kita kumpulkan karena menghadapi era revolusi industri 4.0 Revolusi industri yang merupakan perkembangan terakhir dari perkembangan revolusi industri sebelumnya. Dalam sejarahnya revolusi industri itu selalu mengubah banyak sistem ekonomi, politik, budaya, kebangsaan, sosiologi dan sebagainya.
Dalam tiga revolusi industri sebelumnya kita ini nyaris hanya sekedar menjadi objek atau masih sebagai konsumen. Soalnya saat itu Indonesia masih dalam masa penjajahan Belanda. Pada revolusi industri ketiga tahun 1950-an saat dikenalkan komputer dan teknologi digital, beberapa negara yang tak muncul di era revolusi industri sebelumnya mulai muncul, seperti India dan China. Revolusi industri berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Kita sudah masuk pada revolusi industri ke-4. Perkembangan teknologi sudah semakin kencang dan penggunaan alat baik itu lewat rekayasa digital, rekayasa biologi, rekayasa atom semakin memengaruhi peradaban dunia. Tampaknya Indonesia juga belum ada tanda-tanda untuk ada di depan dalam revolusi industri ke-4 ini. Padahal pemerintah sudah mencanangkan harus mengantisipasi itu. Pemerintah juga tidak bisa melakukan ini sendirian, pihak swasta juga harus andil. Kami hadir untuk membantu pemerintah untuk tampil di depan. Kami mengumpulkan anak muda untuk mengantisipasi itu. Indonesia punya SDM yang mampu. Saat itu ada pihak yang punya ide serupa. Mereka punya lahan 888 hektar yang akan diserahkan kepada kita untuk dikelola dan menjadi tempat SDM melakukan penelitian inovasi terutama dalam tiga bidang; rekayasa digital, rekayasa atom dan rekayasa biologi.
Kita akan mengajak orang-orang kita yang dikuliahkan oleh negara untuk pulang dan mengabdikan ilmunya di tanah air. Kita akan buat ekosistem yang dibutuhkan oleh mereka. Bukit Algoritma akan menampung mereka yang sudah belajar sampai doktor itu untuk berkarya di sini. Bukti Algoritma yang ada di Sukabumi akan membuat produk yang hasilnya berupa paten dan hasil riset. Nanti akan ada juga Bukit Algoritma di tempat lain untuk produksi masal atau pabrik /hardware kalau yang di Sukabumi software.
Pemerintah Indonesia pernah membuat Puspitek di Serpong, apakah ada kelanjutan dengan proyek Bukit Algoritma ini?
Tidak ada kaitan secara langsung, Puspitek, BPPT dan lain-lain adalah inisiatif yang dilakukan negara. Kalau yang kami lakukan ini murni dari sektor swasta dan komunitas. Kita tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Cuma yang dilakukan Puspitek dan BPPT itu mereka fokus pada mendorong orang pinter untuk menghasilkan sesuatu (inovasi teknologi). Persoalannya produk inovasi itu laku atau tidak di pasar? Karena itu di Bukit Algoritma kita tidak hanya menekankan pada supply side tapi juga demand side. Negara yang berhasil dalam inovasi teknologi adalah yang bisa mengamankan pasarnya baik dalam negeri maupun pasar mancanegara. Amerika, China dan negara-negara lainnya sudah bisa seperti ini.
Di Indonesia jangankan pasar global, pasar dalam negeri pun susah kita jangkau. Orang kita masih memilih produk yang sudah punya merek dan reputasi dari manca negara. Lembaga negara dan swasta punya banyak alasan mengapa mereka tidak menggunakan produk anak bangsa. Ada dua pendekatan menghadapi hal ini, pendekatan pasar dan pendekatan negara. Amerika Serikat untuk di dalam negeri mereka menggunakan pendekatan pasar bebas, orang membeli produk-produk inovasi sudah muncul sejak awal. Untuk pasar global Amerika melakukan pendekatan pasar dan politik. Sementara China yang penduduknya besar menggunakan pendekatan negara dalam memasarkan produk inovasi mereka di dalam negeri.
Saat mendirikan Bukit Algoritma Anda dan tim juga memikirkan pasar?
Kita tidak hanya menyiapkan manusia yang ahli dalam inovasi. Tapi juga menyiapkan pasarnya. Ternyata setelah kita amati ada satu pasar yang amat potensial yang tidak terlalu maniak pada merek, yaitu desa. Orang desa tak telalu peduli merek, tapi fungsi barang yang mereka beli. Dulu desa tak punya daya beli. Sekarang desa punya dana Rp 1 miliar setahun. Dana itu tentu bukan untuk pembangunan fasilitas fisik semata, tapi juga untuk hal lain seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan non fisik. Ketika orang desa sudah punya daya beli, ini harus disambut. Jangan hanya mereka membeli produk-produk impor. Desa tidak hanya punya daya beli tinggi, tapi juga daya investasi yang tinggi.
Setelah desa menjadi mapan, punya lembaga bisnis karena dana desa setiap tahun terus turun, kita mendorong mereka untuk masuk ke industri riset teknologi tinggi seperti yang kami lakukan di Bukit Algoritma. Sebuah kawasan inovasi industri untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri khususnya di desa dalam pengembangan ekonominya. Kita bisa melakukan pemberdayaan ekonomi di 7.091 desa. Dalam posisi ini desa tak hanya sebagai pasar, tapi lebih dari itu. Orang desa kita harapkan berpikir jauh ke depan dengan menginvestasikan dananya di tempat yang benar. Agar mereka bisa bertransformasi dari ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi berbasis pengetahuan. Itulah yang dilakukan oleh Amerika, China, Korea Selatan dan negara-negara maju lainnya.
Anda amat berharap pada desa yang diasumsikan punya dana desa yang turun setiap tahun, bagaimana jika kebijakan berganti?
Saya tegaskan untuk dana desa seperti amanat undang-undang sifatnya wajib diberikan, cuma besarannya setiap tahun berbeda. Jadi ini amanat UU siapa pun presidennya wajib menyalurkan ini kepada desa selama pasal 72 UU No 6 tahun 2014 Tentang Desa, tidak diamandemen. Kita juga mendorong desa agar punya mesin uang dalam bentuk Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) agar mereka juga punya pendapatan lain selain dana desa yang turun setiap tahun. Di beberapa desa hasil Bumdesnya lebih besar dari dan desa yang mereka terima.
Kita juga akan mengajak orang-orang desa untuk menjadi investor / shareholder di perusahaan teknologi ini. Jadi mereka tidak hanya sebagai konsumsen, tapi juga sebagai produsen karena memiliki saham di sana. Kita akan menciptakan ekosistem prosumen (produsen dan konsumen). Orang desa akan mengonsumsi produk-produk yang dia miliki.
BACA JUGA:
Sambutan orang seperti apa dengan hadirnya Bukit Algoritma ini?
Banyak sekali orang yang ingin terlibat di sini dan membangun hal yang sama di tempat lain. Ada juga yang mau berinvestasi untuk proyek ini dan ada juga yang menyiapkan lahan untuk Bukit Algoritma di tempat yang lain. Artinya ada kerinduan untuk mendirikan negara kita ini berbasis pengetahun yang sebelumnya sudah didahului oleh pendirian ekonomi berbasis pengetahuan. Orang Indonesia yang ada di luar negeri tertarik untuk terlibat. Akan dibuat juga Bukit Algoritma Fund. Ini untuk pendanaan riset teknologi di Indonesia. Ini akan menjadi lembaga inkubasi dan akselerasi teknologi. Dalam bidang rekayasa genetik, rekayasa biologi, rekayasa komputasi, dan lain-lain. Saya baru sadar tidak sedikit orang kaya dan orang pintar yang rindu dengan tempat seperti ini. Mereka yang selama ini mukim di luar negeri akan pulang.
Jarak antara riset sampai menjadi produk yang siap dipasarkan tidak singkat, bagaimana Anda melihat keadaan ini?
Ada dua jenis riset, riset dasar dan riset yang ready to market. Di Bukit Algoritma diutamakan riset yang kedua. Dengan adanya era komputasi dan digital, jarak untuk dikomersialisasikan itu bisa pendek daripada sebelumnya. Vaksin untuk melawan COVID-19 sekarang bisa diproduksi dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan sebelumnya. Jadi jarak riset dasar ke riset terapan dan menuju komersialisasi itu bisa lebih pendek. Dan jarak ini akan dipendekkan lagi.
Ada yang bertanya sekarang ini sudah era digital kenapa harus menyiapkan infrastruktur fisik lagi. Bukannya semua bisa dilakukan di rumah? Beberapa hal memang bisa dilakukan ke rumah, tetapi untuk riset tertentu masih dibutuhkan clean room, ruangan kedap suara, segala macamnya untuk menyimpan data untuk uji coba dan lain sebagainya. Kita segera akan kembangkan pusat-pusat bioteknologi, teknologi kuantum dan kecerdasan buatan, energi storage untuk menyimpan energi, teknologi limbah, litium, nikel dan lain sebagainya. Ada beberapa lembaga negara yang menawarkan kemitraan dengan kita.
Semua riset yang dilakukan di Bukit Algoritma orientasinya adalah komersil. Bagaimana hasil riset itu bisa dikomersialisasi. Kalau riset dasar silahkan di perguruan tinggi saja. Orientasinya menggerakkan ekonomi Indonesia.
Sampai di mana progres pembangunan Bukit Algoritma ini?
Baru tanggal 9 Juni kita baru ground breaking. Saat ini di sana sudah ada gedung-gedung yang bisa difungsikan. Ada 6 gedung besar sampai hotel. Ada juga rumah yang akan direnovasi, kita akan pakai untuk mengembangkan beberapa teknologi pusat neurosains, pusat studi struktur dan fungsi otak manusia. Ada juga orang Indonesia yang baru pulang dari Inggris yang akan mengembangkan teknologi 6G. Kita juga akan membuat pelatihan-pelatihan bagi anak muda yang ingin mengembangkan bisnis teknologinya. Kita akan datangkan mentor dari luar negeri baik online maupun off-line. Bagaimana mereka membangun perusahaan bisnis teknologi. Mereka akan dilatih bagaimana membuat bisnis plan dan proposal. Kita akan biayai mereka hingga 1 juta sampai 50 juta dolar. Tapi usahanya harus level dunia. Itu nanti dikawal sampai masuk pasar modal seperti di Wall Street Amerika. Ini tantangan buat anak muda kita. Kami akan mendorong pemuda untuk berpikir sekeren-kerennya. Soal uang nanti kami akan support. Idenya keren dan dijual ke investor.
Target Bukit Algoritma ini jalan mulai kapan?
Bulan Agustus ini jalan tol ruas kedua Bocimi akan selesai. Dari pintu tol ke lokasi kita tinggal 7 kilometer lagi. Kita akan bangun itu menyambung ke jalan tolnya sekitar bulan Agustus. Kita akan renovasi gedung yang sudah ada. Tahap pertama proses pembangunan di Bukit Algoritma ini tiga tahun. Tapi ini bisa lebih cepat kalau ada investor masuk. Kita akan membangun IOT (Internet of Things) Park seluas 100 hektar. Ada orang Indonesia yang sudah membangun empat IOT Park di China. Dia akan membuat di Bukit Algoritma. Indonesia harus menjadi negara yang berbasis pengetahuan, kalau tidak kita sudah tak relevan lagi. Dan Bukit Algoritma adalah tempat untuk mewujudkan ide-ide inovatif yang keren. Kita bangun Bukit Algoritma ini untuk wake up call. Kalau ada suatu soal yang harus kita pecahkan.
Bukit Algoritma Adalah Mimpi Budiman Sudjatmiko untuk Generasi Mendatang
Sudah setahun lebih pandemi corona melanda Indonesia, terhitung sejak awal Maret 2020 silam. Berbagai pembatasan dilakukan pemerintah untuk mengurangi penyebaran COVID-19. Di satu sisi pembatasan ini bikin tidak nyaman, namun justru Budiman Sudjatmiko bisa memetik sisi lainnya. Ia dapat meningkatkan kualitas interaksi dengan anak semata wayangnya; Puti Jasmina Kharisma Sudjatmiko dan istri tercinta Yovana Kesi.
“Selama pandemi ini kita kan lebih banyak di rumah, rapat dilakukan secara daring. Padahal sebelumnya rapat selalu dilakukan di kantor atau tempat yang disepakati dengan rekan kerja. Karena pandemi ini saya lebih banyak di rumah dan bisa menemani anak saya yang belajar secara daring juga,” ujar pria kelahiran Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, 10 Maret 1970 ini.
Aktivitas yang biasanya dilakukan di luar kota, lanjut deklarator Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini berkurang drastis. Nyaris semua pertemuan yang biasanya dilakukan tatap muka berganti melalui webinar. “Sekarang pertemuan bisa diselesaikan dengan webinar. Sudah setahun lebih ini saya enggak sibuk aktivitas ke luar kota,” katanya.
Saat ditanya apakah dia seorang ayah yang romantis dan galak kalau di rumah? Dia memberikan jawaban begini. “Sebenarnya saya itu biasa-biasa saja. Saya kadang-kadang galak juga lho, hehehe,” ujar pria yang biasa disapa Mas Iko, di lingkungan keluarganya, dengan tawa yang berderai.
Sejurus kemudian fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menjelaskan kalau orientasi dalam belajar antara orang dulu dengan orang sekarang sudah tak sama. “Dulu orang belajar untuk bekerja, kalau sekarang orang bekerja untuk belajar. Karena selalu ada hal baru hampir tiap hari yang akan mempengaruhi kehidupan kita. Sehingga kalau tidak terus belajar dan mencari solusi akan ada masalah,” tandasnya.
Budiman menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah dan melajutkan ke jenjang perguruan tinggi di tiga kota yang berbeda; Cilacap, Bogor dan Yogyakarta. Perhatiannya pada kaum petani makin intens saat dia menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Setelah itu ia bersama rekan-rekannya mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Hadirnya PRD di tengah hegemoni Orde Baru adalah sesuatu yang teramat penting dan menjadi catatan sejarah negeri ini. Dan Budiman sebagai deklarator PRD melambung namanya.
Berkutat dengan urusan PRD, mimbar bebas di depan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat dan ujungnya di diadili oleh rezim Orde Baru dengan vonis 13 tahun. Dan ia pun harus mendekam di penjara. Namun saat pergantian rezim dengan lengsernya Presiden Soeharto, Budiman mendapat amnesti dari pemerintah Abdurahman Wahid pada 10 Desember 1999. Ia hanya hanya menjalani hukuman selama 3,5 tahun. Namun sayang karena suatu dan lain hal ia kemudian meninggalkan partai yang ia bidani kelahirannya.
Setelah bebas, Budiman kembali melajutkan studinya, tak tanggung-tanggung ia berhasil menggondol gelar master dalam bidang International Relations, di University of Cambrige, Inggris dan gelar MA dalam Studi Politik di SOAS (School of Oriental and African Studies) di Univeristy of London, Inggris.
Sebagai seorang politisi, Mas Iko tak ingin anaknya terjun di kacah politik seperti dirinya. Dia lebih suka anaknya menjadi seorang ilmuwan. “Anak dan istri saya jarang bertanya soal politik. Saya justru lebih senang kalau dia (putrinya) kelak menekuni sains dan teknologi. Saya berharap anak saya bisa menjadi ilmuwan, teknolog atau inovator dalam bidang tekonologi,” tegasnya.
Apa yang dilakukannya dengan membangun Bukit Algoritma, masih kata Budiman Sudjatmiko memang diperuntukkan untuk anaknya dan generasi seusia anaknya. “Apa yang saya impikan semoga bisa terwujud melalui Bukit Algoritma. Ini untuk anak saya dan generasi sesuai dia. Di sanalah masa depan generasi muda Indonesia. Saya ingin membangun dan menciptakan itu,” tandasnya.
Konsekwensi sebagai orang tua, ia juga harus mendampingi anaknya tumbuh dan berkembang di era yang baru seperti sekarang ini. “Saya ayah ingin menciptakan sebuah ekosistem yang kondusif untuk anak saya dan generasi dia, sehingga dia tidak hanya menjadi pribadi yang suka pada sains dan teknologi sendirian. Tapi dia berada di tengah-tengah generasi sebayanya yang juga mencintai hal yang sama,” tandasnya.
“Dulu orang belajar untuk bekerja, kalau sekarang orang bekerja untuk belajar. Karena selalu ada hal baru hampir tiap hari yang akan mempengaruhi kehidupan kita. Sehingga kalau tidak terus belajar dan mencari solusi akan ada masalah.”