Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 340 tahun yang lalu, 29 Agustus 1682, armada maskapai dagang Belanda VOC dan Kesultanan Banten mendarat di Lampung. Kedatangan kedua armada dalam rangka serah terima kekuasaan perdagangan rempah (lada) di Lampung kepada VOC. Penyerahan itu sebagai hadiah.

Namun, agenda itu tak berjalan baik. VOC gagal memonopoli lada setempat. Sebab, tak semua penguasa Lampung langsung tunduk kepada Sultan Haji yang notabene anak dari penguasa sebelumnya, Sultan Ageng Tirtayasa.

Siasat perang acap kali dipilih VOC untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara. VOC percaya diri ajian perang dapat memberi efek jera kepada musuh. Kemudian, monopoli perdagangan dapat berlangsung. Nyatanya siasat itu kurang efektif.

Pengeluaran VOC membekak karenanya. Belum lagi jatuhnya korban yang membuat kekuatan VOC menurun. Alih-alih untung, malah VOC buntung. Siasat pun diubah. VOC maju dengan siasat baru yang lebih jitu. Minim keluar dana pula, dibanding menggelorakan perang. Devide et Impera (adu domba), namanya.

Perdagangan lada di Nusantara pada masa kolonial Belanda. (Wikimedia Commons)

Politik adu domba itu bawa VOC kepada puncak kejayaan. Bahkan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya oleh penjajah. VOC tinggal mencari pihak-pihak yang berseteru pada suatu wilayah. Mereka datang bak sahabat lama. Salah satu pihak didekati.

VOC menawarkan segala macam bantuan. Rata-rata ajian itu berhasil. Banyak yang tergiur. Sultan Haji, misalnya. Ia sedang berkonflik dengan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa paling membutuhkan bantuan Belanda. Sultan Haji menjadikan Belanda sebagai sekutu.

“Dengan senjata ampuhnya yang terkenal di dalam Sejarah Indonesia dengan nama Devide et Impera atau politik pecah-belah, akhirnya kaum penjajah Belanda dapat menguasai baik Kerajaan Banten maupun Kerajaan Mataram.”

“Kerajaan Mataram pun yang pada masa pemerintahaan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) mencapai puncak kejayaannya, karena senjata Devide et Impera Belanda, akhirnya terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Belanda. Hal ini harus dicamkan betul-betul dan dijadikan pelajaran dari sejarah oleh bangsa Indonesia yang menghendaki kejayaan Tanah Airnya,” ungkap Sagimun M.D. dalam buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (1988).

Politik adu domba yang dilancarkan kepada Kesultanan Banten berhasil. Sultan Haji berhasil merebut takhta orang nomor satu Banten. Sebagai imbalan, Sultan Haji pun memberikan Belanda banyak kebebasan berdagang di wilayahnya. Pun Banten memberikan izin Belanda untuk memonopoli wilayah kekuasaannya Lampung pada 1682.

Petani lada di Lampung pada masa kolonial Hindia Belanda. (narasisejarah.id)

VOC tak sabaran. Armadanya pun digerakan ke Lampung pada 29 Agustus 1682. Jauh panggang dari api. VOC yang membawa surat mandat Sultan Haji harus memendam kekecewaan. Tak semua penguasa di Lampung tunduk kepada Sultan Haji. Apalagi simpatisan Sultan Ageng Tirtayasa. Karenanya, Belanda gagal memonopoli rempah di Lampung.

“Dalam hubungannya dengan tertanamnya pengaruh Banten di Lampung perlu dikemukakan, bahwa pada waktu itu Lampung memang tidak merupakan suatu kesatuan daerah yang dikuasai oleh seorang raja atau ratu. Sehingga sejarah kerajaan-kerajaan sebagaimana ada ditempat lain tak dikenal di sini,” tertulis dalam buku Sejarah Daerah Lampung (1997).