JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki peran besar bagi berjalannya suatu negara. Fungsinya begitu vital. Dari pembentuk undang-undang hingga pengawas pemeritah. Namun, perilaku sebagian anggotanya acap kali mengundang kritik.
Tindak-tanduknya sebagai anggota DPR tak mencerminkan rakyat yang diwakilkan. Mereka cuma setia kepada kepentingan pribadi dan partai. Gus Dur pun berang. Ia berkelar anggota DPR tak ubahnya seperti anak Taman Kanak-Kanak (TK). Susah diatur.
Di atas kertas, DPR adalah institusi sakral milik bangsa Indonesia. Indonesia tak dapat berjalan sebagai negara jikalau tanpa DPR. Narasi itu menarik minat politikus Partai Keadilan Bangsa (PKB), Mahfud MD (kini: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia) untuk menjajal kesempatan menjadi anggota DPR pada 2013. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Mahfud.
Ia ingin mencoba tantangan baru di DPR. Segala macam bahan terkait seluk-beluk institusi DPR dipelajarinya. Siapa tau perannya sebagai anggota DPR dapat membawa perubahan bagi Indonesia. Akan tetapi, pencalonannya sebagai calon wakil rakyat sampai ke telingga petinggi PKB yang juga mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid.
Pria yang akrab disapa Gus Dur itu menyarankan Mahfud untuk mengurungkan niatnya menjadi anggota DPR. Bagi petinggi Nahdlatul Ulama (NU) itu Mahfud lebih cocok berada pada bidang lainnya, ketimbang DPR. Sayang ilmu Mahfud, pikir Gus Dur.
Istimewanya, Gus Dur merekomendasikan Mahfud ke Mahkamah Agung (MA). Namun, saran itu tak diindahkan Mahfud. Keinginannya maju sebagai anggota DPR bulat. Gus Dur pun tak mau memaksa. Nyatanya keputusan Mahfud menjadi anggota DPR adalah kurang tepat. Alih-alih menikmati, ia malah jatuh dalam kubangan penyesalan.
“Bayangkan, sidang baru dibuka dan pimpinan baru memberikan pengantar, sudah muncul teriakan-teriakan interupsi. Interupsi yang dalam teknik persidangan hanya dipergunakan untuk meluruskan pembicaraan yang melenceng agar kembali ke pokok masalah yang sedang dibahas, ternyata dibelokkan menjadi alat celometan.”
“Belum ada pokok masalah yang dibahas, sudah diinterupsi dengan berbagai hal yang remeh-temeh. Bahkan, menyebutkan interupsi pun banyak yang salah. Ada yang meneriakkan ‘instruksi’, ada yang meneriakkan ‘instrupsi’, yang lain lagi meneriakkan ‘intruksi’. Bahkan, ada yang meneriakkan ‘interaksi’ tanpa kikuk. Kacaunya lagi, belum diberi izin bicara banyak penginterupsi yang nyerocos berbicara,” ungkap Mahfud MD dalam buku Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan (2010).
Kelakar Gus Dur
Intuisi Gus Dur bukan main. Sarannya kepada Mahfud untuk tidak masuk DPR adalah murni pengamatan selama mengamati institusi DPR. Apalagi saat ia menjadi orang nomor satu Indonesia. Anggota DPR dipandangnya tiada mutu.
Ketidaksukaan Gus Dur akan DPR yang justru tak mencerminkan kepentingan rakyat makin menjadi-jadi. Gus Dur pun berkelakar bahwa anggota DPR tak lebih dari anak-anak TK. Sedang DPR adalah TK-nya. Tindak-tanduk anggota DPR yang kerap memikirkan nasib diri sendiri dan partai jadi muaranya. Belum lagi anggota DPR gemar membicarakan hal-hal yang tak penting. Sok kuasa. susah diatur pula.
Gus Dur memandang banyak anggota DPR banyak yang cuma jadi banci tampil di televisi. Namun perkara yang ulas kerap jauh dari masalah. Mereka melulu mempertontonkan kualitas yang buruk sebagai wakil rakyat. Antara lain dengan tindakan asal bunyi hingga asal keras.
Pro-kontra dari kelakar Gus Dur pun merebak. Antara dirinya (Presiden) dengan anggota DPR terjadi ketegangan yang cukup besar. Belakangan Gus Dur menyesal menyamakan anggota DPR seperti anak TK. Pernyataan itu berkali-kali diulangi oleh Gus Dur.
Ia justru merasa berdosa karena telah meremehkan anak-anak TK yang suci, cerdas, dan kreatif. Gus Gur mengungkap tak layak jika anak TK dibandingkan dengan anggota DPR –dalam bahasa Gus Dur—kotor dan bodoh. Namun, sekalinya anggota DPR kreatif, maka daya kreatifnya hanya untuk cari keuntungan belaka.
“Jawaban Gus Dur di luar dugaanku. Beliau bahkan menuturkan panjang lebar tentang anak-anak dan peradaban bangsa ini. Peradaban sebuah bangsa sangat ditentukan sejauh mana perhatian terhadap kalangan anak-anak betul-betul diprioritaskan. Anak-anak adalah simbol dari harapan sebuah bangsa.”
“Karena itu, salah satu program yang sekarang sedang dirancangkan dalam rangka mengentaskan kemiskina global, yaitu memberikan perhatian serius terdapat kalangan anak-anak. PBB melalui Millenium Development Goals mempunyai perhatian khusus terhadap pemberdayaan anak-anak. Di dalam khazanah keislaman, anak-anak merupakan mahluk tuhan yang amat dimulaikan,” ungkap Maman Imanulhaq Faqieh dalam buku Fatwa dan Canda Gus Dur (2010).