JAKARTA – Memori hari ini, 22 tahun yang lalu, 2 Februari 2001, Ryaas Rasyid mengundurkan diri dari jabatan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) RI. Pengunduran diri itu dilakukan karena antara Ryaas dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tak menemukan kesamaan visi.
Sebelumnya, pemerintahan Gus Dur akrab dengan sederet kontroversi. Gebrakan Gus Dur buat banyak politikus hingga beberapa menteri tak nyaman. Alhasil, posisi Gus Dur sebagai orang nomor satu Indonesia terancam.
Kepemimpinan Gus Dur penuh dinamika. Kebijakan-kebijakannya kerap dianggap mampu melampau zaman. Namun, tak semua kalangan menilai begitu. Politikus, apalagi. Kebijakan Gus Dur justru dianggap penuh kontroversi, ketimbang manfaatnya.
Segala macam yang ada dipikirannya segera di utarakan. Gus Dur tak takut. Kepada anggota DPR, misalnya. Gus Dur secara terang-terangan menyampaikan rasa keprihatinannya kepada sederet anggota DPR yang menurutnya tak pernah tertib.
Karenanya, Gus Dur melempar kelakar bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serupa anak-anak TK yang sulit diatur. Gus Dur pun terus melakukan kontroversinya sekalipun masalah dengan DPR belum usai. Gus Dur lagi-lagi mengeluarkan gebrakan kontroversial.
Ia muncul untuk meminta maaf atas pembantaian simpatisan PKI pada 1965-1966 pada Maret 2000. Permintaan maaf itu di utarakan langsung kepada seluruh keluarga korban yang dianggap bagian dari Komunis.
Sebagai bentuk keseriusan Gus Dur ikut mengusulkan bahwa Tap MPRS No XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme segera dicabut. Langkah politik itu menambah daftar kontroversi yang dilakukan oleh Gus Dur.
“Sembilan bulan jalannya pemerintahan, Presiden Gus Dur justru tampil sebagai sosok yang penuh kontroversi, baik dari segi ucapan maupun dari segi tindakan dirasakan lebih banyak memunculkan rasa bingung di masyarakat.”
“Dari berbagai ucapan yang dilontarkan, misalnya, dalam sebuah kesempatan secara reaktif presiden menuduh tiga orang menterinya terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesempatan lain, ia ingin mengampuni mantan Presiden Soeharto, membuka hubungan dagang Israel, mencopot lima orang anggota kabinetnya, ingin menghapus ketetapan MPRS mengenai pelanggaran ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, dan beberapa ucapan kontroversial lainnya,” tertulis dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010).
Sederet kontroversi itu membuat sederet politikus merasa tak cocok dengan kepemimpinan Gus Dur. Menterinya sendirinya, misal. Ryaas Rasyid justru memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara pada 2 Februari 2001.
Pengunduran itu telah diniatkannya dari Januari. Namun, tiada tanggapan dan baru paripurna pada Februari. Ryaas Rasyid memilih mengundurkan diri seperti politikus lain karena menilai tiada kesamaan visi antara dirinya dan Gus Dur. Apalagi Gus Dur kerap mengabaikan usulannya dan menggangkat menteri dari kalangan orang dekat.
“Suasana kabinet semakin tidak kondusif. Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang pun diberhentikan pada Februari 2001 dan digantikan oleh Baharuddin Lopa sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.”
“Nurmahmudi Ismail, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, juga diberhentikan pada Maret 2001. Sebelumnya, Ryaas Rasyid mengundurkan diri dari jabatan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara pada 2 Februari 2001. Selain dari partai lain, Gus Dur juga mengganti sejumlah menteri dari lingkungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau Nahdlatul Ulama (NU), seperti Rozy Munir dan Jailani Hidayat,” ungkap Lalu Misbah Hidayat dalam buku Reformasi Administrasi (2007).