Bagikan:

JAKARTA - Etika politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kerap diuji kala jadi menteri. Ujian pertama hadir pada masa pemerintahan Gus Dur. Ia mundur dari kursi Menteri. Perbedaan pandangan terkait rencana pembubaran DPR/MPR ada di baliknya.

Etika politiknya kembali diuji saat jabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) era Megawati Soekarnoputri. Ia mundur dari jabatan Menkopolkam karena perannya tak dianggap. Ajian itu buat SBY dijagokan di Pilpres 2004 dan menang.

Tiada yang meragukan eksistensi SBY di dunia militer. Ia pernah tercatat sebagai lulusan terbaik Akmil pada 1973. Narasi itu membuatnya berhak menerima anugrah Adhi Makayasa. Seiring prestasi itu SBY jadi pribadi yang siap mengabdi demi bangsa dan negara.

Ia sebagai prajurit siap sedia di tempatkan di mana saja. Laku hidup itu membuat banyak orang kepicut. Presiden Abdurrahman (Gus Dur), salah satunya. Gus Dur yang baru saja menjabat sebagai Presiden Indonesia sudah mewanti-wanti supaya SBY masuk jadi salah satu menterinya.

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menkopolkam dalam Kabinet Gotong Royong berdiri di sebelah kiri Presiden Megawati Soekarnoputri. (Wikimedia Commons)  

Pengalaman SBY di dunia militer dan pertahanan yang mempuni jadi alasan utama. SBY pun diangkat jadi Menteri Pertambangan dan Energi era 1999-2000, kemudian SBY baru ditempatkan sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan era 2000-2001.

SBY pun menjalankan tugasnya dengan maksimal. Apalagi, SBY dianggap istimewa oleh Gus Dur. Orang nomor satu Indonesia itu sampai mengutus orang kepercayaannya Mahfud MD yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) untuk berguru ke SBY.

Banyak pelajaran berharga di dapat oleh Mahfud. SBY membuat Mahfud yang mulanya tak memiliki pengalaman di militer dan pertahanan jadi dapat ilmu. Sekalipun kemudian hubungan antara atasan dan bawahan, Gus Dur-SBY tak berjalan baik.

Pilihan politik memisahkan keduanya. Semuanya bermula dari rencana Gus Dur ingin membubarkan DPR/MPR. Rencana itu tak disetujui SBY. Pilihan pun diambilnya. Menantu tokoh militer Indonesia, Sarwo Edhie itu memilih untuk mundur dari jabatan menteri.

Presiden SBY memutuskan untuk naik sepeda motor dengan dibonceng pengawal bermotor agar tidak terlambat membuka acara Formula A1 Grand Prix Championship, di Sirkuit Sentul, Bogor, 12 Februari 2006. (Facebook SBY)

"Sebetulnya Presiden Abdurrahman Wahid, Januari 2001, sudah gusar. Terus dipojokkan, disalahkan oleh DPR. Saya, Gus Dur, dan Ibu Mega, bertiga kami berbincang-bincang. Ada masukan dari mana-mana untuk bekukan saja, bubarkan saja DPR. Tapi presiden tidak punya otoritas bubarkan DPR dan MPR.”

"Ini true story, saya disuruh pilih jabatan menteri yang mana saja. Saya pulang lalu tulis surat dan memilih mundur. Meski begitu saya tetap dekat dengan Gus Dur sampai akhir hayatnya. Beliau punya hak karena menterinya tidak satu pandangan dengan presidennya. Itu etika politik. ini saya ceritakan, karena semua ada sistem," terang SBY sebagaimana dikutip Detik.com, 2 April 2016.

Siasat Menang Pilpres

Presiden Gus Dur dimakzulkan dari singgasananya. Megawati Soekarnoputri muncul sebagai penerus takhta kekuasaan sedari 2001. Pemerintahan Megawati sendiri kepincut menggunakan jasa SBY sebagai menteri. SBY pun diangkat jadi Menkopolkam.

Catatan prestasi SBY pun tak sedikit kala jadi Menkopolkam. SBY banyak terlibat dalam penyelesaian konfik di Aceh dan Poso. Namun, serangkaian prestasi itu tak membuat pemerintahan Megawati mengapresiasi langkah SBY.

Semuanya bermula dari isu SBY akan mencalonkan diri sebagai Capres pada Pilpres 2004. Aroma politik itu hangat terdengar sejak 2003. Suatu tahun yang sama dengan berdirinya kendaraan politik SBY, Partai Demokrat. Pemerintahan Megawati bak mengucilkan peran SBY sebagai Menkopolkam.

Ia tak dilibatkan dalam suatu urusan penting. Kondisi itu buat perang mulut dengan orang dekat Megawati terjadi. Kondisi tak menyenangkan itu membuat SBY ingin segera berkonsultasi langsung ke Megawati. SBY pun bersurat. Namun, pertemuan yang diinginkan tak kunjung jadi nyata.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam salah satu acara Partai Demokrat. (Facebook Susilo Bambang Yudhoyono)

Puncaknya SBY memilih mengundurkan diri dari kursi menteri pada 11 Maret 2004. Pengunduran diri SBY mendapatkan simpati segenap rakyat Indonesia. Etika politiknya dipuji banyak orang. Narasi SBY dikucilkan pemerintah menyebar ke mana-mana.

Nyatanya, pengunduran diri itu bak siasat. Suatu siasat yang mampu membuat figur SBY terkenal di seantero negeri. SBY dapat fokus menyusun mimpinya jadi orang nomor satu Indonesia dengan berkampanye di sana-sini.

SBY pun berhadapan dengan Megawati pada Pilpres 2004. SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) mampu memenangkan kontestasi politik itu. Hasil itu membuat SBY jadi Presiden Indonesia ke-6.

“Dalam surat itu juga saya katakan, kalau saya dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu, insya Allah saya bersedia, saya pun mohon mengundurkan diri. Itu akan saya lakukan meski KPU belum menetapkannya. Bila tidak mundur, secara etika tidak benar.”

“Sebetulnya saya tidak mau menyampaikan kepada pers. Itu merupakan surat saya untuk Presiden. Tapi Sekretaris Negara Bambang Kesowo membukanya kepada publik. Ini menjadi masalah yang membuat saya susah. Saya harus menjelaskannya karena publik terlanjur confused,” terang SBY kala diwawancara Wanseslaus Manggut dan kawan-kawan dalam majalah Tempo berjudul Susilo Bambang Yudhoyono (2004).