Bagikan:

JAKARTA - Penegakan hukum di Indonesia kerap mengundang kritikan. Semuanya karena hukum bak memihak kepada mereka yang bermodal dan memiliki jabatan. Kondisi itu dipertontonkan dalam ‘drama’ kasus korupsi yang menjerat Setya Novanto (Setnov).

Ketua DPR RI era 2016-2017 itu seraya tak ambil pusing kala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka korupsi e-KTP. Opsi menggugat status tersangka lewat praperadilan dilakukan dan berhasil. KPK tak tinggal diam. KPK bersiasat membatalkan praperadilan kedua Setnov.

Urusan membuka kasus korupsi tak pernah mudah. KPK pernah merasakannya kala menyelidiki kasus korupsi e-KTP. Mulanya e-KTP direncakan Kementerian Dalam Negari (Kemendagri) masuk proyek strategis nasional pada 2009 – proyek itu berjalan dari 2011-2012. Namun, masalah muncul.

Indikasi penggelembungan dana terendus KPK. Lembaga anti-rasuah itu melakukan penyelidikan dan mandek. Semua berubah kala mantan Bendara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin berkicau.

Setya Novanto yang pernah menjabat sebagai Ketua DPR RI era 2016-2017. (Antara)

Ia menyebut nama Setnov yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPR RI terlibat dalam kasus e-KTP pada 2017. Tundingan Nazaruddin bukan lempar batu sembunyi tangan. Peran Setnov yang jadi penentu pemenang tender e-KTP disebutkan.

Nazzaruddin bahkan menyebut keuntungan Setnov dalam pengadaan e-KTP. Proyek berbiaya triliunan rupiah itu mampu membuat Setnov untung bejibun. Setnov dianggap menerima dana sekitar Rp574 miliar.

KPK pun tak mau ketinggalan. Mereka segera mengelidiki kicauan Nazzaruddin. Pucuk dicinta ulam tiba. KPK kemudian menetapkan Setnov sebagai tersangka. Penetapan itu tak memuat Setya segera ditahan. Setya dikabarkan sakit sehingga KPK tak dapat memeriksanya.

Banyak orang menduga Setnov sedang mencari cara untuk menggagalkan penetapannya sebagai tersangka. Ia diisukan akan menggunakan opsi praperadilan. Suatu opsi yang terbukti dapat membebaskan pelaku korupsi.

Setya Novanto (duduk kanan) di dalam sel penjaranya di Lapas Sukamiskin, Bandung. (Isrimewa)

“Pengawasan terhadap kasus Setya amat penting lantaran praperadilan telah terbukti menjadi titik lemah proses hukum. Sudah berkali-kali tersangka korupsi yang dijerat KPK lolos lewat jalur ini. Dua tahun lalu, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan lepas dari jeratan kasus korupsi setelah menggugat praperadilan dan dikabulkan hakim Sarpin Rizaldi.”

“Bekas Direktur Jenderal Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo melewati jalan yang sama untuk lolos dari kasus korupsi. Dan terakhir, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman lepas dari jerat KPK setelah menang dalam praperadilan pada Maret lalu,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Siasat Lolos Setya Novanto (2017).

Praperadilan Setnov

Pihak Setnov pun mengambil opsi praperadilan. Pengajuan praperadilan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setnov ingin segera status tersangka yang disematkan kepadanya batal. Alhasil, peluang Setnov pecundangi KPK terbuka lebar.

Narasi itu bukan pepesan kosong belaka. Setnov bisa bernafas lega jika permohonannya dikabulkan lewat praperadilan. Semuanya karena putusan praperadilan berkekuatan hukum tetap. Alias, KPK akan kesulitan untuk menggunakan opsi hukum lanjutan untuk menjerat Setnov.

Pucuk dicinta ulam tiba. Hal yang ditakutkan rakyat Indonesia jadi kenyataan. Setnov mampu bernafas lega kala Pengadilan Negeri Jakarta lewat hakim Cepi Iskandar membebaskannya dari status tersangka pada 29 September 2017.

Putusan itu dilakukan karena bukti yang dimiliki KPK sudah digunakan pada tersangka sebelumnya. Bukti itu tak dapat digunakan lagi untuk menjerat Setnov. Putusan itu menghebohkan seisi Indonesia. Kecaman muncul dari mana-mana.

Presiden Jokowi berjabat tangan dengan Setya Novanto yang masih menjabat Ketua Umum Partai Golkar sebelum awali pertemuan di Istana Merdeka (22/1/2016). (Humas Setpres/Rahmat)

Banyak yang menganggap hukum Indonesia jalan di tempat. Alias, hukum Indonesia bak dipersiapkan untuk membela siapa yang bayar. Alih-alih Setnov hanya mempecundangi KPK saja, tapi ia juga memperlakukan penagakan hukum Indonesia.

KPK pun tak ingin dipecundangi. Siasat pun dimainkan. Penyelidikan dilakukan. KPK menetapkan status tersangka baru kepada Setnov. Upaya itu dibalas dengan siasat yang sama oleh kubu Setnov: prapradilan. Namun, KPK sengaja tak hadir pada sidang sehingga putusan praperadilan belum diputuskan.

Nyatanya, itu hanya siasat. KPK bergerak cepat menyusun kelengkapan berkas dan dilimpihkan segera ke Pengadilan Tipikor. Kondisi itu sesuai dengan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP, praperadilan akan gugur setelah berkas dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.

Siasat itu membuat hakim tunggal Kusno memutuskan status praperadilan Setnov yang kedua gugur pada 14 Desember 2017. Putusan itu kemudian ampuh menjerat Setnov sebagai salah satu koruptor yang dihukum dalam kasus e-KTP. Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan pada 2018.

"Menetapkan menyatakan praperadilan yang diajukan pemohon (Setnov) di atas gugur," ucap Hakim Kusno dalam putusannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana dikutip laman Detik.com, 14 Desember 2017.