Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 24 April 2018, Pengadilan Tipikor Jakarta menyebut mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto bersalah dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Setnov divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Sebelumnya, isu korupsi e-KTP kembali  hangat kala mantan Bendara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin berkicau. Nazaruddin pun menyebut nama Setnov terlibat. Masalah muncul, urusan menangkap Setnov bukan perkara mudah.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) punya proyek besar. Proyek e-KTP, namanya. Proyek itu masuk ke dalam proyek strategis nasional pada 2009. Eksekusinya pun berlangsung dari 2011-2012. Perjalanan proyek e-KTP mula tak berlangsung mulus.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mengendus isu penggelembungan dana. Namun, indikasi korupsi yang diselidiki tak membuah hasil. Masalah itu jadi tak terdengar dalam waktu yang lama. Muhammad Nazaruddin pun muncul bak kolaborator KPK menumpas koruptor.

Demo-demo menentang Setya Novanto sudah dilakukan sejak 2015. (Antara/Nova Wahyudi)

Mantan Bendara Umum Partai Demokrat itu berkeciau. Nama Setnov yang tengah menjabat sebagai ketua DPR RI disebut pada 2017. Tuduhan itu tak sembarang. Nazzaruddin bahkan menyebut keuntungan yang didapat Setnov. Nilai keuntungan yang fantastis itu mencapai Rp574 miliar.

KPK pun langung bergerak cepat. KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka. Sekalipun Setnov belum dapat ditahan karena dikabarkan sakit. Nyatanya, alasan sakit itu dijadikan Setnov sebagai siasat. Setnov pun segera memanfaatkan opsi praperadilan yang notabene jadi titik lemah penegakan korupsi.

Banyak orang mampu lolos. Setnov pun begitu. Ia lolos pada 29 September 2017. KPK mulai bersiasat untuk menetapkan status tersangka baru kepada Setnov. Hasilnya Setnov lagi-lagi mengajukan praperadilan.

KPK sengaja tak hadir sehingga keputusan praperadilan belum diputus. KPK bergerak cepat melengkapi seluruh berkas dan bukti-bukti. Semuanya lalu dilimpahkan segera ke Pengadilan Tipikor. Kondisi itu sesuai dengan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP, praperadilan akan gugur setelah berkas dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.

Setya Novanto sempat bertemu kandidat Presiden AS, Donald Trump di Trump Plaza, Manhattan, New York pada 3 September 2015. (Reuters/Lucas Jackson)

“Pengawasan terhadap kasus Setya amat penting lantaran praperadilan telah terbukti menjadi titik lemah proses hukum. Sudah berkali-kali tersangka korupsi yang dijerat KPK lolos lewat jalur ini. Dua tahun lalu, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan lepas dari jeratan kasus korupsi setelah menggugat praperadilan dan dikabulkan hakim Sarpin Rizaldi.”

“Bekas Direktur Jenderal Pajak dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo melewati jalan yang sama untuk lolos dari kasus korupsi. Dan terakhir, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman lepas dari jerat KPK setelah menang dalam praperadilan pada Maret lalu,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Siasat Lolos Setya Novanto (2017).

Praperadilan kedua Setnov jadi gugur pada 14 Desember 2017. Kondisi itu membuat Setnov diadili. Puncaknya Setnov pun terbukti bersalah mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP pada 24 April 2018.

Pengadilan Tipikor Jakarta lalu memvonis hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Majelis hakim menyebut Setya Novanto telah terbukti menyagunakan jabatan dan kedudukannya sebagai anggota DPR serta ketua Fraksi Golkar.

Vonis itu kemudian menghebohkan seisi Nusantara. Pun jadi bukti bahwa KPK bekerja keras melawan koruptor.

"Menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Setya Novanto berupa pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," ujar ketua majelis hakim Yanto membacakan amar putusannya dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat sebagaimana dikutip laman Detik.com, 24 April 2018.