Bagikan:

JAKARTA - Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute menyayangkan pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman bagi narapidana kasus korupsi, termasuk eks Ketua DPR Setya Novanto.

Ketua IM 57+ Institute, Praswad Nugraha mengatakan diskon masa hukuman ini bisa mengindikasikan lemahnya kebijakan pemberantasan korupsi. Harusnya dampak yang ditimbulkan karena kejahatan tersebut menjadi pertimbangan sebelum remisi diberikan.

"Pemberian remisi terhadap koruptor akan memberikan efek buruk secara luas karena publik akan melihat bahwa pengurangan hukuman menjadi sinyal lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Praswad dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Minggu, 14 April.

Praswad menilai Setya Novanto yang terbukti melakukan korupsi terkait pengadaan KTP Elektronik atau e-KTP harusnya tidak berhak mendapat remisi. Sebab, komisi antirasuah waktu itu harus melalui berbagai rintangan saat melakukan proses hukum.

Salah satu yang paling menghebohkan saat itu adalah dirinya berpura-pura sakit sesuai skenario yang dibuat mantan pengacaranya, Fredrich Yunadi ketika akan ditangkap.

Karenanya, IM 57+ Institute mempertanyakan pemberian remisi ini. "Apakah pemberian bagi terpidana yang pada saat dilakukan proses penegakan hukum melakukan berbagai manuver untuk terbebas dari hukuman layak mendapatkan remisi," ungkapnya.

"Hal tersebut mengingat upaya yang dilakukan SN tidak dapat dianggap main-main, mulai dari rekayasa sakitnya dia sampai berbagai upaya intervensi politik," sambung Praswad.

Diberitakan sebelumnya, Setya Novanto yang merupakan terpidana kasus korupsi mendapat diskon masa hukuman selama satu bulan saat Hari Raya Idulfitri 1445 Hijriah. Total ada 240 napi koruptor yang bernasib sama dengannya.

Ia juga pernah mendapat remisi serupa pada Hari Raya Idulfitri 1444 Hijriah pada tahun lalu. Adapun dalam kasus megakorupsi e-KTP ini, Setya Novanto divonis hukuman selama 15 tahun penjara yang putusannya dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 April 2018.

Majelis hakim juga memutus Setya Novanto harus membayar denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar Amerika Serikat. Selain itu, hak politiknya juga dicabut selama lima tahun setelah dibebaskan dari penjara.