JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly jadi sorotan. Di tengah bencana ini, ia mewacanakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 agar narapidana 'rompi oranye' kasus korupsi bisa dibebaskan. Alasannya, untuk menghindari penyebaran COVID-19 di dalam lembaga permasyarakatan, begitu.
Meski kritik terus berdatangan, Yasonna, menyatakan akan tetap mengajukan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tersebut. Hanya saja, dia membantah akan membebaskan napi dalam kasus korupsi ataupun kejahatan khusus lain, seperti narapidana kasus narkoba.
"Saya disebut mau meloloskan napi narkoba dan kasus korupsi. Seperti sudah beredar beberapa waktu lalu di media massa, itu tidak benar," kata Yasonna, dikutip VOI dari keterangan tertulisnya, Minggu, 5 April.
Menurutnya, napi yang berhak mendapatkan asimilasi dan integrasi adalah anak yang telah menjalani 1/2 masa hukuman dan napi dewasa yang telah menjalani 2/3 masa hukuman, termasuk napi koruptor. Artinya, dalih Yasonna justru ia bantah sendiri.
Sebab, nyatanya Yasonna akan tetap memberi jalan bebas bagi napi koruptor yang telah menjalani 2/3 masa hukuman dan koruptor yang telah berusia di atas 60 tahun. "Pertimbangan kemanusiaan, usia di atas 60 tahun. Sebab, daya imun tubuh lemah. Itu juga tidak mudah mendapatkan bebas," jelasnya.
BACA JUGA:
Aspirasi masyarakat, katanya
Yasonna, dalam keterangan itu juga meminta masyarakat tak gaduh, sebab hingga saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut soal revisi tersebut. "Itu baru usulan dan bisa saja Presiden tidak setuju," kata dia.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga angkat bicara soal polemik yang disebabkan oleh ucapan Yasonna tersebut saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI. Hingga saat ini, kata Mahfud, pemerintah tidak merencanakan atau merevisi peraturan tersebut.
"Tidak ada rencana memberi remisi atau pembebasan bersyarat kepada pelaku atau kepada narapidana korupsi juga terhadap teroris. Juga tidak ada terhadap bandar narkoba," kata Mahfud dalam keterangannya.
Mahfud kemudian menjelaskan, ada dua alasan pemerintah tak merencanakan revisi peraturan tersebut. Pertama, kata Mahfud, PP itu bersifat khusus sebagai pembeda dengan tindak pidana lain. Kedua, ruang di lembaga pemasyarakatan cukup luas. Sehingga sudah memenuhi syarat untuk physical distancing atau menjaga jarak.
"Malah, diisolasi di sana lebih bagus daripada di rumah," kata Mahfud.
Meski tak merencanakan revisi PP tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu berdalih, usulan pembebasan napi tidak datang secara tiba-tiba dari pemerintah ataupun Menkumham Yasonna. Menurut dia usulan ini datang dari aspirasi masyarakat.
"Itu tersebar di luar, itu mungkin karena ada aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada Menkumham. Kemudian Menkumham menginformasikan ada permintaan sebagian masyarakat untuk itu," jelasnya.
Entah masyarakat mana yang dimaksud Mahfud. Sebab, masyarakat kebanyakan kini justru lantang menolak. Seperti yang dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin yang melihat pernyataan Yasonna soal pembebasan napi koruptor sebagai blunder yang menyebabkan masyarakat menjadi gaduh.
Di mata Ujang, di tengah pandemi ini, barangkali Yasonna memang benar memiliki niat menghindari penularan virus di dalam rutan. Namun, menurut Ujang, Yasonna seharusnya paham betapa kejinya pidana korupsi dan kenapa masyarakat gaduh pada wacana revisi PP Nomor 90 Tahun 2012 untuk membebaskan narapidana koruptor tua.
"Yang dilakukan Yasonna yaitu ingin membebaskan napi koruptor merupakan tindakan blunder. Dia mungkin ingin membebaskan napi koruptor seperti dia membebaskan 30 ribu napi lainnya, tapi kita tahu, korupsi merupakan kejahatan kerah putih yang membuat rakyat miskin dan bangsa ini hancur," kata Ujang, dalam pesan singkat.
Tetap awasi
Daripada membuat pernyataan semacam ini, kata dia, Menkumham bersama jajaran menteri lainnya harus membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. "Jangan malah menguntungkan para koruptor. Bikin kebijakan yang terbaik untuk masyarakat dan negara, niscaya masyarakat akan mendukung," tegasnya.
Terkait pernyataan Mahfud yang mengatakan belum akan ada pembahasan terkait revisi tersebut, pengamat politik ini mengatakan masyarakat harus tetap waspada dan mengawasi jalannya pemerintahan. Apalagi, pemerintah, mulai dari Presiden hingga para menterinya kerap mengambil kebijakan yang berkebalikan dari lisannya.
"Masyarakat tidak akan begitu saja percaya dengan apa yang disampaikan oleh pihak pemerintah, karena kita tahu, info yang datang dari pemerintah kerap berbeda-beda," ungkap Ujang.
BACA JUGA:
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurni Syah. Kata dia, menjadikan wabah COVID-19 sebagai alasan untuk membebaskan narapidana koruptor adalah tindakan yang sama sekali tak bisa dibenarkan.
"Selain berseberangan dengan program presiden untuk pembatasan sosial dia juga berpotensi mengkhianati hukum negara terkait pemberantasan korupsi," ujar Dedi.
Dedi juga menilai, belakangan, sikap yang ditunjukkan Yasonna semakin berlawanan dengan semangat pemberantasan korupsi. Hal ini tampak ketika dia ikut campur dalam kasus suap yang menjerat caleg PDIP Harun Masiku dan eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Dalam situasi ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pihak yang mengaku antikorupsi harus ambil sikap. Mencopot Yasonna, jika perlu. "Jika presiden benar-benar memiliki komitmen pemberantasan korupsi, langkah yang paling mengemuka saat ini adalah menghentikan Yasonna Laoly sebagai Menkumham," tegasnya.
Angka napi koruptor
Terkait jumlah narapidana kasus korupsi yang berusia di atas 60 tahun, berdasarkan catatan data Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, jumlahnya kini mencapai 90 orang. Di antara mereka, yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman per 31 Desember 2020 ada 64. Para koruptor itu, di antaranya adalah mantan Menteri ESDM Jero Wacik dan pengacara senior OC Kaligis.
Sementara, menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 22 maling yang berpotensi bebas jika revisi ini dilaksanakan. Mereka adalah mantan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, OC Kaligis (77); eks Menteri Agama, Suryadharma Ali (63); eks Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari (70); eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik (70); eks Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar (61).
BACA JUGA:
Kemudian, pengacara Fredrich Yunadi (70); eks Hakim Adhoc Tipikor, Ramlan Comel (69); eks Wali Kota Bandung, Dada Rosada (72); eks Gubernur Riau, Zainal Rizal (62); eks Gubernur Papua, Barnabas Suebu (73); eks Wali Kota Madiun, Bambang Irianto (69); eks Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnaen (63); eks Wali Kota Mojokerto, Masud Yunus (68).
Selanjutnya eks Bupati Subang, Imas Aryumningsih (68); eks Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud (60); dan eks Wali Kota Pasuruan, Setiyono (64), mantan anggota DPR RI Budi Supriyanto (60); Amin Santono (70); dan Dewi Yasin Limpo (60).
Berikutnya, selain elite politik ada juga pengusaha yaitu Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro (60) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Johannes Budisutrisno Kotjo (69).