JAKARTA - Setelah dibiarkan bekerja selama kurang dari satu bulan, tim independen diisi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Bareskrim Polri, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Inspektorat Jenderal Kemenkum HAM menguak sejumlah fakta terkait tak terdeteksinya Harun Masiku saat masuk ke Indonesia dari Singapura melalui Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Tim ini menguak fakta jika Harun benar kembali ke Indonesia pada 7 Januari yang lalu. Fakta ini, sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat sejumlah media massa yang melakukan investigasi terkait keberadaan Harun Masiku telah memberitakan terlebih dahulu.
Dalam konferensi pers di Kantor Kemenkumham, Kepala Seksi Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Syofian Kurniawan kemudian menyatakan perbedaan komunikasi terkait kedatangan Harun Masiku ini terjadi karena keterlambatan pengiriman data perlintasan Harun Masiku.
Hal ini disebabkan karena konfigurasi uniform resource locator (URL) saat melakukan peningkatan sistem SIMKIM (Sistem lnformasi Manajemen Keimigrasian) pada 23 Desember 2019. Dalih ini mereka perkuat dengan menyalahkan pihak vendor yang telah berbuat teledor.
"Hal ini terjadi karena pihak vendor lupa menyinkronkan atau menghubungkan data perlintasan pada PC konter Terminal 2F Bandara Soetta dengan server lokal Bandara Soetta dan seterusnya server di Pusdakim Ditjen Imigrasi," kata Syofian dalam konferensi pers di kantornya, Rabu, 19 Februari.
Dari dalih keteledoran tersebut, akibatnya ada 120.661 orang yang masuk ke Indonesia lewat Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten tapi data perlintasannya tidak terkirim atau tak terdeteksi oleh Kemenkumham. Termasuk Harun Masiku.
Kesalahan ini cukup fatal jika melihat jumlah mereka yang masuk Indonesia tapi tidak terdata. Hanya saja, saat disinggung ratusan ribu angka yang masuk dan tak terdata itu bisa saja terdapat pelaku kejahatan lain yang masuk, Sofyan ogah menjawab lebih lanjut.
Begitupun soal sanksi yang akan diberikan, semua dilempar kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly sebagai pimpinan tertinggi. "Itu menjadi ranah dari pak menteri," ujarnya sambil menambahkan hal itu memang bukan kewenangan dari tim gabungan independen bentukan Menkumham tersebut.
Dari pemaparan tersebut, penyampaian yang itu-itu saja kemudian ditanggapi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti mereka, Kurnia Ramadhana mengatakan walaupun tim itu berdalih tak terdatanya Harun Masiku saat masuk ke Indonesia adalah kesalahan sistem yang diakibatkan oleh vendor yang teledor, namun faktanya, Yasonna tetaplah berkata tak sesuai data di lapangan.
Mengingat, menteri asal PDI Perjuangan itu dengan penuh keyakinan mengatakan Harun masih ada di luar negeri.
"Analisis itu tim Kemenkumham itu tidak mengurangi penilaian kami bahwa Yasonna telah berkata tidak sesuai fakta," ungkap Kurnia ketika dihubungi VOI lewat pesan singkat, Kamis, 20 Februari.
Kurnia juga kembali meminta agar Presiden Joko Widodo mengambil sikap, tak sekadar menegur pembantunya itu. Sikap yang dimaksud aktivis antikorupsi itu adalah melakukan pencopotan terhadap Yasonna.
Sebab, apa yang dilakukan Menkumham tersebut telah menghambat proses penegakan hukum terkait kasus suap eks Komisioner KPU. "Presiden harus benar-benar menunjukkan dukungan pada penegakan hukum," tegas dia.
Sedangkan terkait hasil tim yang telah disampaikan lewat konferensi pers, Kurnia meminta agar KPK tak lantas percaya dengan dalih yang mengakibatkan Harun Masiku tak terdeteksi. Menurut dia, lembaga antirasuah ini harus melakukan verifikasi lanjutan terkait hasil pengusutan tersebut.
Selain itu, Kurnia juga ingin KPK bisa menyelidiki adanya dugaan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan kasus yang dilakukan Yasonna atas kesalahan data terkait keberadaan Harun.
"KPK harus menyelidiki dugaan obstruction of justice yang dilakukan oleh Yasonna atas kekeliruan data terkait keberadaan Harun Masiku," ungkapnya.
Sulitnya cari Harun Masiku
Caleg PDI Perjuangan yang sudah jadi buronan selama 40 hari ini, diakui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sulit dideteksi. Apalagi, tersangka pemberi suap terhadap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan ini diduga sudah tak menggunakan telepon genggam yang bisa dideteksi keberadaannya.
"Jika seseorang menggunakan telepon seluler itu mudah sekali dilacaknya atau menggunakan media sosial, mudah sekali, kan faktanya tidak," kata Plt. Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu malam, 19 Februari.
Meski sulit untuk melacak, Ali mengklaim, KPK sebenarnya sudah mengetahui lokasi persembunyian Harun dan tim saat ini sedang melakukan penelusuran.
"Ada titik-titik yang perlu kami datangi," ungkap dia tanpa menyebut keterangan lokasi secara detail.
Ali juga menegaskan, lembaga antirasuah ini bukannya tidak melakukan pencarian terhadap buronannya. Kata dia, KPK bersama kepolisian terus mencari keberadaan caleg PDIP tersebut.
"Saya yakin dan KPK berkomitmen menemukan tersangka karena itu kami berkepentingan menyelesaikan berkas perkara agar bisa dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Pun kalau tidak ditemukan, itu akan jadi tanggung jawab karena untuk menyelesaikan berkas perkara dan disidangkan, ya harus ditemukan," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, kasus ini bermula pada Rabu, 8 Januari. KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI 2019-2024 saat pemilu. Keempatnya yakni caleg PDIP Harun Masiku; komisioner KPU Wahyu Setiawan; eks anggota Bawaslu sekaligus orang kepercayaan Wahyu; Agustiani Tio Fridelina; dan Saeful yang merupakan pihak swasta.
Di antara empat orang yang menjadi tersangka, hanya Harun Masiku yang belum menyerahkan diri ke KPK. Menurut Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Harun sempat meninggalkan Indonesia dan pergi ke Singapura pada 6 Januari, atau dua hari sebelum adanya operasi senyap KPK.
Hanya saja, belakangan pihak imigrasi meralat pernyataan tersebut. Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Ronny Sompie pun dicopot dari jabatannya, lantaran mengabarkan jika Harun sudah kembali berada di Indonesia. Harun masuk ke Indonesia pada 7 Januari atau sehari sebelum OTT KPK terjadi dan tak diketahui di mana keberadaannya.