Jokowi dan Omong Kosong Soal Pro Pemberantasan Korupsi
Presiden Joko Widodo (Irvan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo dipastikan tidak akan menerbitkan Perppu KPK untuk membatalkan UU KPK 19/2019. Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara Istana Kepresidenan Fadjroel Rachman. Menurut pihak istana, Perppu tak lagi diperlukan.

"Tidak ada dong (penerbitan Perppu). Kan Perppu tidak diperlukan lagi. Sudah ada undang-undang, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019. Tidak diperlukan lagi Perppu," kata Fadjroel kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat, 29 November.

Meski tak akan menerbitkan Perppu, namun pihak istana tak keberatan dengan adanya pengajuan Judicial Review (JR) yang dilakukan oleh tiga pimpinan KPK yaitu Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Saut Situmorang. Apalagi, tak ada larangan bagi siapapun untuk melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Setiap orang boleh, pribadi sendiri boleh. Di MK itu menarik. bisa maju sendiri, jadi pembela sendiri, it's okay. Tidak ada larangan," ungkapnya.

Tak adanya Perppu KPK untuk membatalkan UU KPK baru yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah, kemudian ditanggapi oleh Indonesia Coruption Watch (ICW). Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan pihaknya kecewa dengan tak diterbitkannya Perppu.

"Namun pernyataan itu sebenarnya tidak lagi mengagetkan. Sebab, memang sedari awal Presiden Joko Widodo tidak pernah menganggap pemberantasan korupsi menjadi isu krusial dan tidak paham bagaimana menguatkan kelembagaan antikorupsi seperti KPK," ujar Kurnia kepada VOI, Jumat, 29 November.

Dia bahkan mengatakan ada sesat logika dalam pernyataan yang disampaikan oleh Fadjroel terkait penerbitan Perppu. Sebab, penerbitan ini sangat dibutuhkan KPK mengingat banyak pasal yang melemahkan.

"Jika saja UU KPK tidak direvisi, tidak mungkin masyarakat berharap Perppu dari Presiden," tegas Kurnia.

Aktivis antikorupsi ini juga mengkritisi ungkapan Jokowi dan lingkar Istana Kepresidenan lainnya, yang mengatakan Perppu tidak diterbitkan karena menunggu hasil uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Kurnia menilai Perppu adalah hak subyektifitas presiden yang dijamin oleh konstitusi. Sementara uji materi merupakan hak konstitusional warga negara. Sehingga tak ada masalah jika presiden lantas mengeluarkan Perppu KPK untuk membatalkan UU KPK 19/2019.

"Alasan tersebut terlalu mengada-ada dan tidak ada kaitan sama sekali antar keduanya," ungkap dia.

Jokowi juga dianggap Kurnia tak memperhatikan suara publik. Sebab, sejak UU KPK berlaku pada 17 Oktober yang lalu sudah ada enam permohonan yang mempersoalkan formil dan materi perundangan tersebut ke KPK. Selain itu, sudah banyak juga pihak yang mengungkapkan jika UU KPK 19/2019 itu sangat melemahkan kelembagaan KPK.

Undang-undang ini juga dianggap tak sesuai saat proses penerbitannya. Misalnya, KPK tidak masuk dalam Prolegnas 2019, kehadiran anggota DPR RI yang tidak kuorum pada saat paripurna, dan KPK sebagai lembaga yang akan menjalankan perundangan tersebut tak pernah diajak untuk berdiskusi.

Sehingga, Kurnia mengatakan, jelas DPR dan pemerintah bersatu untuk melakukan pelemahan terhadap lembaga tersebut.

"Harusnya DPR dan pemerintah malu karena banyak pihak yang mempersoalkan kehadiran UU ini," ujarnya.

Bila pada akhirnya Jokowi tak mau menerbitkan Perppu KPK, maka tak salah jika publik lantas merasa ada yang aneh dengan Jokowi. "Selama ini (berarti) korupsi yang diucapkan oleh Joko Widodo semata hanya omong kosong," tutupnya.