JAKARTA - Sejak berdiri, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap mendapatkan pandangan negatif dari sejumlah pihak. Dewan ini terbentuk dari hasil revisi Undang Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019. Dewan ini terdiri dari lima orang dan dilantik Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2019.
Pandangan negatif ini muncul karena anggapan Dewan Pengawas bakal melemahkan dan memperlambat kerja lembaga antirasuah tersebut. Sebab, setiap tindak penyadapan, penggeledahan dan penyitaan wajib dilakukan dengan berbekal izin dari dewan tersebut.
Stigma negatif soal dewan yang diketuai oleh Tumpak Hatorangan Panggabean dan empat anggota lainnya yaitu Albertina Ho, Artidjo Alkostar, Syamsuddin Haris, dan Hardjono ini makin menjadi-jadi setelah kasus korupsi yang menjerat eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Mereka berlima dianggap menjadi biang lambatnya KPK melakukan penggeledahan di sejumlah tempat yang diduga berkaitan dengan kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) DPR RI.
Ketua Dewan Pengawasa Tumpak Hatorangan meluruskan, setiap tindakan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tak memakan waktu lama seperti bayangan publik. Sebab, proses penandatanganan dilakukan 1x24 jam setelah surat diajukan.
Dia mencontohkan, proses pemberian izin penggeledahan kantor Wahyu Setiawan di gedung KPU, jalan Imam Bonjol, hanya beberapa jam saja dan tidak memakan waktu lama. Menurutnya, tudingan Dewan Pengawas memperlambat proses pemberantasan kasus korupsi adalah omong kosong.
"Enggak usah khawatir. Omong kosong orang bilang dewas itu memperlama (kerja KPK). Enggak ada itu, enggak ada. Contohnya (penggeledahan) di KPU cuma beberapa jam saja," kata Tumpak kepada wartawan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Januari sambil menambahkan keberadaan dewan pengawas di tubuh lembaga antikorupsi ini sebenarnya menjaga mereka agar tetap bekerja sesuai prosedur.
BACA JUGA:
Dia juga mengatakan, Dewan Pengawas sudah menemui Deputi Penindakan KPK dan jaksa penuntut umum (JPU) untuk membahas soal pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Tumpak menambahkan, walau libur, dia dan koleganya siap memberikan surat izin jika memang diperlukan.
"Kita sudah sepakati bagaimana prosedur meminta izin, bagaimana mengeluarkan izin dan itu sama sekali tidak menghambat," tegasnya.
Bekas komisioner KPK jilid I ini menjelaskan, mekanisme penerbitan surat izin itu hanya selembar dengan dituliskan lokasi penggeledahannya. Surat ini pun dia pastikan bersifat rahasia dan tak akan bocor ke luar.
"Oleh karena itu harapan saya teman-teman, jangan tanya-tanya apakah Dewan Pengawas sudah mengeluarkan izin atau belum," ungkapnya.
Dewan Pengawas memastikan tak akan menghambat kerja KPK dalam mengusut kasus korupsi. Mereka berencana memangkas jalur birokrasi dengan membuat aplikasi yang bisa digunakan untuk pengajuan izin dari penyidik.
"Kami akan membuat lagi nanti aplikasi melalui IT sehingga bisa memudahkan antar kami dengan penyidik, walaupun dia di Papua sana bisa berhubungan dengan kami," kata Tumpak.
Tudingan ICW
Tudingan soal Dewan Pengawas yang memperlambat kerja KPK ini muncul dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, penyebab lambannya kinerja KPK dalam melakukan penggeledahan adalah karena penyidik perlu izin dari dewan pengawas sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 37B ayat 1.
"KPK faktanya terbukti lambat dalam melakukan penggeledahan di kantor PDIP," kata Kurnia lewat keterangan tertulisnya yang diterima VOI pada Minggu, 12 Januari.
Lambatnya proses administrasi permintaan izin itu, juga dianggap Kurnia bisa menjadi salah satu celah untuk menyembunyikan dan bahkan melenyapkan barang bukti. Karena, cukup aneh baginya jika dalam penggeledahan, lembaga antirasuah itu harus meminta izin dari pihak lain termasuk Dewan Pengawas KPK.
"Bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas?" tanyanya.
Berkaca dari proses itu, ICW kembali mendesak agar Presiden Jokowi segera menerbitkan Perppu KPK untuk membatalkan UU Nomor 19 Tahun 2019.
"Presiden Joko Widodo agar tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK baru. Penerbitan Perppu harus menjadi prioritas utama dari Presiden untuk menyelematkan KPK," tegas Kurnia.