Bagikan:

JAKARTA - Pengangkatan Dewas Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa jadi bumerang bagi pemberantasan tindak kejahatan rasuah walau Presiden Joko Widodo telah melantik sejumlah nama yang disebut berintegritas seperti mantan Hakim Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar. Sebab, ada sejumlah kecacatan sistemik sudah dicatat oleh para pegiat antikorupsi dan para pakar hukum.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar misalnya menyebut Dewan Pengawas KPK ini bisa saja menggerogoti lembaga itu dari dalam. Sebab, ada aturan yang luput untuk diterapkan dalam tubuh dewan yang baru pertama kali ada di dalam lembaga antirasuah tersebut.

Adapun aturan yang disoroti Fickar adalah tak adanya larangan bagi dewan pengawas untuk menemui pihak yang berperkara. Padahal, dalam kewenangannya, Dewas KPK adalah pihak yang menyetujui adanya penyadapan, penyidikan, dan penyitaan.

"Sistemnya yang lemah. Kalau di dalam UU KPK komisioner saja bertemu orang yg diperiksa pihak KPK, dia bisa dihukum 5 tahun. Tapi dewas ini dia bebas. Tidak ada larangan apa-apa," kata Fickar saat ditemui di kawasan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 Desember.

Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK yang mengatur soal Dewan Pengawas KPK, memang tidak mencantumkan adanya larangan bagi dewan tersebut untuk menemui pihak berperkara.

Ini berbeda dengan aturan bagi pimpinan KPK, sebab, jika ditilik dalam UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, ada larangan bagi pimpinan untuk bertemu pihak yang diduga terlibat dalam kasus yang diusut KPK dengan alasan apapun. Aturan ini ada di dalam Pasal 36a. Tak hanya pimpinan, Pasal 66a pun juga melarang para pegawai lembaga antirasuah untuk melakukan hal yang sama.

Sehingga bisa saja, dikemudian hari ketika Dewan Pengawas KPK berganti jika sistem ini tak dibenahi maka dewan tersebut bisa melakukan penyelewengan tersebut.

"Kalau orang-orang yang duduk dalam dewas itu tidak punya integritas, seperti yang sekarang, nukan hal mustahil, dewas akan disalahgunakan," tegas Fickar.

Tak hanya itu, Fickar juga meminta publik agar tak terlena dengan nama-nama mereka yang mengisi jabatan itu. Sebab, bisa saja, nama-nama itu justru menjadi jebakan baru bagi KPK karena ketidakbecusan sistem.

"Jangan sampai narasi baik tentang orang-orang yang menduduki dewas ini menjadi jebakan 'batman'. Karena yang keliru adalah sistemnya," ungkapnya.

BACA JUGA:


Selain soal tak adanya aturan bagi dewan pengawas KPK untuk bertemu dengan pihak berperkara, Fickar juga menyoroti status pimpinan KPK yang bukan lagi penegak hukum dan tak punya kewenangan untuk menyetujui penyadapan, penyidikan, penyitaan, dan penggeledahan.

"Kewenangan itu diambil oleh dewas, dewas sendiri oleh UU KPK baru tidak ditempatkan sebagai penegak hukum. Di situ saya sebut problematik sistemnya," kata Fickar.

Dia juga mengungkapkan, dengan undang-undang yang ada sekarang maka posisi dewan pengawas berada di atas pimpinan KPK bukan hanya mengawasi namun masuk ke ranah penegak hukum. Padahal dalam aturannya, tak ada disebutkan dewan tersebut punya fungsi sebagai jaksa dan penuntut umum.

Sehingga, berdasarkan aturan tersebut pimpinan KPK periode 2019-2023 kini hanya bertugas mengurus manajerial bukan menjadi penentu pengusutan kasus korupsi dan hal ini kemudian bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian ke depan.

"Pimpinan KPK sekarang hanya pembina administratif, ya, itu dilematis," tegasnya sambil menambahkan Jokowi harus segera mengganti UU KPK baru dengan UU KPK sebelumnya yang tak mengatur soal dewan pengawas.

Perlambat pengungkapan kasus korupsi

Keberadaan Dewan Pengawas yang kini menjadi penentu boleh atau tidaknya penyadapan, penyidikan, penggeledahan, dan penyitaan ini, juga dianggap menjadi penghambat laju pemberantasan korupsi.

Hal ini diungkap oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Indra. Dia menganggap keberadaan dewan justru memperlambat pengusutan suatu kasus korupsi yang ritmenya cepat. Selain itu, Dewas KPK juga dianggap bisa berpotensi melakukan intervensi terhadap pengusutan kasus termasuk dalam hal penyadapan.

"Kita tidak ingin ada pelemahan KPK. Bentuk pelemahan yang menurut kami jadi bagian instrumen yang bisa dilemahkan adalah ketika umpama hak penyadapan itu diintervensi," kata Indra, Sabtu, 21 Desember.

Menurut Indra, keberadaan dewan pengawas juga tak begitu penting. Sebab, pengawasan terhadap KPK selama ini sudah dilakukan oleh Komisi III anggota DPR RI. Sehingga, keberadaan dewan ini justru dianggap bisa mengintervensi kerja KPK.

Apalagi, perlunya KPK meminta izin kepada dewan yang diketuai oleh Tumpak Hatorangan Panggabean ini bisa membuat pengungkapan kasus korupsi terlewat dan semakin panjang prosesnya. Padahal, tindak pidana korupsi atau suap berlangsung cepat.

"Kita tahu tindak pidana korupsi itu kejadiannya bisa sangat cepat. Orang disuap bisa jadi dengan perencanaan bisa juga tidak dengan perencanaan. Kalau dengan izin dulu ternyata tindakannya, peristiwa penyuapannya terlewatkan, peristiwa padanya tidak bisa kita dapatkan," tutupnya.