JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan beberapa perbaikan pada tata kelola lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk memberikan efek jera yang lebih kuat dan mencegah terjadinya korupsi.
"Tata kelola lapas merupakan suatu urgensi yang harus segera diperbaiki demi memitigasi risiko korupsi," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Selasa, 9 Mei.
Ali menerangkan rekomendasi KPK terbagi dalam dua segmen, yakni rekomendasi jangka pendek dan jangka menengah.
Adapun rekomendasi jangka pendek yakni:
1. Membuat dan menyepakati Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pengembalian tahanan yang habis dasar penahanannya kepada pihak penahan yang dilakukan Kementerian hukum dan HAM bersama-sama dengan penegak hukum terkait.
2. Mengubah sistem pemberian remisi dari positive list menjadi negative list dengan memanfaatkan Sistem Database Pemasyarakatan (SDP).
a. Mengubah mekanisme pemberian remisi dari "positive list" menjadi "negative list". Artinya narapidana yang tidak melakukan pelanggaran secara otomatis berhak mendapatkan remisi, sedangkan narapidana yang melakukan pelanggaran akan dimasukkan ke dalam register F dan tidak berhak mendapat remisi.
b. Pemberian remisi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel supaya bisa mengurangi jumlah napi dalam rutan dan lapas akibat "overcrowded" dan "overcapacity", serta menutup celah suap menyuap dari pola interaksi petugas dan narapidana untuk ‘membeli’ remisi.
3. Melengkapi pedoman teknis SDP dan melaksanakan pelatihan SDP bagi operator secara intensif.
4. Membuat mekanisme bon penerimaan untuk bahan makanan dan melakukan "review" atas kinerja vendor.
5. Membangun sistem pengawasan internal di level wilayah.
6. Membangun mekanisme "Whistle Blower System" yang efektif dan terintegrasi dengan inspektorat.
7. Membangun koneksi SDP dengan Sistem Informasi Penanganan Perkara (SIPP).
Sedangkan rekomendasi jangka menengah yakni:
1. Dilakukan revisi PP 99 tahun 2012 terkait pemberian remisi pada kasus narkoba.
2. Membuat mekanisme diversi untuk kasus tindak pidana ringan dan pengguna narkotika dengan mengoptimalkan peran Badan Pemasyarakatan.
3. Menempatkan atau memindahkan napi korupsi ke Nusakambangan.
Ali mengatakan pemenjaraan para pelaku tindak pidana, termasuk korupsi, merupakan salah satu pelaksanaan instrumen penegakan hukum dalam memberikan efek jera bagi para pelakunya.
"Dengan demikian pengelolaan lapas sudah seharusnya dilakukan sesuai dan taat terhadap ketentuan dan aturan yang berlaku," ujarnya.
KPK telah melakukan identifikasi terhadap pengelolaan lapas yang diduga merupakan salah satu sektor rentan terjadinya tindak pidana korupsi.
Bahkan KPK pernah melakukan kegiatan tangkap tangan terhadap Kepala Lapas Sukamiskin atas dugaan suap dan pemberian fasilitas mewah bagi penghuni di lapas.
KPK telah menerima sejumlah aduan masyarakat soal modus korupsi dalam lapas, mulai pungutan liar (pungli) dan suap menyuap, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, hingga pengadaan barang atau jasa.
KPK melalui pendekatan upaya pencegahan pernah melakukan kajian yang menemukan berbagai permasalahan dalam pengelolaan lapas di antaranya:
1. Kerugian negara akibat permasalahan "overstay".
2. Lemahnya mekanisme "check and balance" pejabat dan staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) rutan/lapas dalam pemberian remisi kepada warga binaan lapas.
3. Diistimewakannya napi tipikor di rutan atau lapas.
4. Risiko penyalahgunaan kelemahan Sistem Data Pemasyarakatan (SDP).
5. Risiko korupsi pada penyediaan bahan makanan.