Bagikan:

JAKARTA - Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menolak menyerah dengan hasil Pilpres 2014. Keduanya merasa belum kalah dari pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Kehadiran dugaan kecurangan sistematis dan masif jadi muaranya.

Opsi mengajukan sengketa Pemilu ke Mahkamah Konstitusi( MK) dipilih. Nama mentereng disiapkan jadi saksi ahli. Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Ahli Hukum Tata Negara itu minta MK bertindak selaras dengan nilai konstitusional. MK jangan jadi Mahkamah Kalkulator. Istilah apa itu?

Banyak yang meramalkan pesta demokrasi Pilpres 2014 berlangsung dengan gegap gempita. Partai kuat mulai mencari kandidatnya masing-masing. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menetapkan pilihan kepada Jokowi-JK.

Kandidat lainnya muncul dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mengusung Prabowo-Hatta. Keduanya kandidat mulai berkampanye keliling Indonesia. Janji-janji politik tepat guna mulai disiapkan.

Gedung Mahkamah Konstirusi. (Antara)

Jokowi mengusung Revolusi Mental. Prabowo mengusung Revolusi Putih yang menitikberatkan kepada pembangunan bangsa karakter bangsa yang sehat kuat. Mesin-mesin poilitik dari partai pengusung pun dioptimalkan.

 Semuanya dilakukan untuk menjangkau banyak suara. Jual-beli program pun dilakukan. Apalagi, dalam debat Capres-Cawapres. Pucuk dicinta ulam tiba. Hari pemungutan suara pun tiba pada 9 Juli 2014. Segenap rakyat Indonesia lalu berbondong-bondong datang ke TPS untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk masa bakti 2014-2019.

 Seisi Indonesia pun sudah menjatuhkan pilihannya. Lembaga survei mulai bekerja merilis hasil hitungan cepatnya. Jokowi-JK didaulat sebagai pemenang. Prabowo-Hatta berang. Mereka tak ingin mengakui hasil hitungan cepat.

Satu-satunya hasil yang mereka tunggu adalah hasil resmi penghitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli 2014. Hasil yang keluar justru membenarkan hasil hitungan cepat. Jokowi unggul 53.15 persen, sedang prabowo hanya dapat 46.85 persen. Kubu Prabowo pun tak terima dan mengajukan sengketa Pemilu ke MK.

“Semestinya Prabowo memusatkan perhatian pada langkah hukum. la perlu tenaga ekstra untuk membuktikan tuduhan kepada KPU, yang selalu diulang-ulangnya bagai mantra: telah terjadi kecurangan masif, sistematis, dan terstruktur dalam pemilihan presiden 2014.”

“Klaim mendatangkan sepuluh truk barang bukti, mengerahkan 2 ribu pengacara. Mereka ingin mendatangkan ribuan saksi ke Mahkamah Konstitusi, serta mengerahkan 30 ribu pendukung barangkali penting baginya demi meyakinkan konstituen,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Kawal Sidang Tanpa Kekerasan (2014).

Istilah Mahkamah Kalkulator

Kubu Prabowo-Hatta menganggap penghitungan suara yang dilakukan menciderai demokrasi. KPU diyakini telah melakukan kecurangan. Suatu kecurangan yang membuat Prabowo-Hatta kalah hingga 8,4 juta suara.

Genderang perang kepada KPU pun dibunyikan. Kubu prabowo mengajukan permohonan perselisihan antara KPU dan peserta Pemilu (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden ke MK. Saksi ahli yang mempuni dilibatkan. Yusril Ihza Mahendra, salah satunya.

Ahli Hukum Tata Negara itu justru mewanti-wanti MK terlebih dahulu. Ia meminta MK supaya jangan menjadi Mahkamah Kalkulator. Pandangan itu karena MK dianggapnya sering kali menyederhanakan masalah jadi cuma urusan hitungan suara belaka.

Yusril menginginkan MK bertindak dengan melihat kecurangan yang dilakukan KPU secara keseluruhan. MK harus memeriksa terkait kecurangan KPU urusan manipulasi data Data Pemilih Tetap (DPT), praktek uang, suara raib, hingga kecurigaan terkait Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb). Namun, jauh panggang dari api.

MK menolak seluruh permohonan PHPU terkait Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta. Kondisi itu membuat MK erat kaitan dengan istilah Mahkamah Kalkulator.

Para hakim di Mahkamah Konstitusi. (Antara/Asprilla Dwi Adha)

Semuanya karena cara-cara MK menangangi sengketa Pemilu hanya melirik urusan angka belaka. MK dalam koridor itu hanya jadi kalkulatornya KPU saja, tak lebih.

“Jadi, bukan persoalan perselisihan angka-angka belaka. Masalah substansial dalam Pemilu sesungguhnya adalah terkait dengan konstitusional dan legalitas pelaksanaan Pemilu itu sendiri.”

“Tanpa itu, siapapun presiden dan wakil presiden terpilih akan berhadapan dengan krisis legitimasi yang akan berakibat terjadinya instabilitas di negara ini. Sebaiknya pemeriksaan PHPU presiden dan wakil presiden ini Mahkamah melangkah ke arah itu,” kata Yusril dalam kesaksian di gedung MK sebagaimana dikutip laman Hukum Online, 15 Agustus 2014.